Kamis, 28 Februari 2013

Menemani Anak Berteman

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran dalam Majalah Asy Syariah)

Anak-anak tak selamanya berada dalam buaian orang tua. Seiring dengan tumbuh kembangnya, dia pun akan merambah ke dunia yang lebih luas. Pada saatnya, dia mulai memiliki teman. Entah di lingkungan rumah atau sekolahnya. Ketika mulai berteman, anak mungkin akan bertemu dengan anak lain yang memiliki karakter dan latar belakang yang berbeda dengan dirinya. Terkadang, hal ini membawa ketidakcocokan yang berujung perselisihan. Maklum, anak-anak belum cukup matang jiwa dan akalnya untuk menolerir perbedaan itu.

Begitu pula egosentrisme yang memang ada pada anak. Sifat yang membuat seorang anak belum bisa tepa salira, toleransi dengan yang lain. Karena sifat ini, seringkali anak belum bisa memahami orang lain dan belum mengerti akibat sikap dan perbuatannya terhadap diri orang lain. Sementara itu, dia harus berhadapan dengan hak-hak temannya. Membawa pulang mainan teman, misalnya. Terkadang jika kita telusuri, dia tak punya maksud sama sekali untuk mencuri. Dia hanya ingin memenuhi hasrat hatinya untuk bermain dengan mainan itu di rumahnya. Dia tidak menyadari perasaan temannya yang kehilangan dan tidak memahami bahwa itu terlarang. Contoh yang lain, anak memukul teman yang enggan membagi makanan miliknya. Terkadang sumbernya adalah pikiran kanak-kanaknya bahwa si teman melarangnya untuk mencicipi makanan yang membuatnya berselera itu. Dia belum tahu, makanan itu adalah hak milik temannya. Ujung-ujungnya, keributan terjadi.

Demikianlah… Ternyata tugas kita belum selesai. Sebagai orang tua atau pendidik di sekolah, kita harus bisa menemani mereka, memberi bimbingan dan arahan agar mereka tak salah bersikap terhadap teman. Tentu, arahan yang kita pakai adalah tuntunan syariat yang mulia. Yang perlu kita ingat, anak-anak belum sempurna akalnya dan belum mapan jiwanya. Kadang hari ini kita ajari atau kita beri peringatan, besok dia ulangi lagi. Oleh karena itu, dia selalu butuh bimbingan kita. Terus-menerus arahan kita berikan agar adab-adab yang baik itu melekat dan terwujud dalam pribadinya.

Mengarahkan Anak untuk Berteman dengan Teman yang Baik

Meniru. Ini adalah perilaku yang amat menonjol pada anak. Sering sepulang bermain ada tingkah atau kata-kata ‘aneh’ yang tak biasanya dia lakukan atau ucapkan. Usut punya usut, ternyata dia meniru teman bermainnya. Hal seperti ini harus kita waspadai. Tanggung jawab kita sebagai orang tua dan pendidik untuk mengoreksinya jika memang hal itu adalah suatu kejelekan. Rasulullah bersabda: “Barang siapa melihat suatu kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49). Awal kali tentunya dengan kelemahlembutan. Kadang peringatan ini harus datang berkali-kali manakala si anak mengulanginya lagi. Jika sekian kali masih berulang, dibutuhkan peringatan yang lebih keras. Apabila kita mengetahui ada di antara teman yang sering memberikan pengaruh buruk pada anak, kita beri mereka arahan untuk tidak berteman dengannya. Hendaknya kita bisa memberikan pengertian kepada mereka tentang jeleknya perilaku temannya itu. Selanjutnya, mereka dibimbing dan diarahkan untuk memilih siapa di antara teman-temannya yang pantas dijadikan teman.

Pengawasan akan hal ini amatlah penting apabila kita ingin anak-anak menjadi anak yang saleh. Rasulullah bersabda: “Seseorang itu berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap orang melihat siapa yang dia jadikan teman.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 127). Beliau juga memberikan permisalan: “Permisalan teman yang baik dan teman yang jelek seperti pembawa minyak wangi dan pandai besi. Adapun pembawa minyak wangi, bisa jadi dia akan memberimu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mencium bau yang wangi. Sementara itu, pandai besi, bisa jadi dia membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang tidak enak.” (HR. al-Bukhari no. 2101 dan Muslim no. 2628). Anak dengan akal yang belum sempurna belum mampu selektif memilih teman. Oleh karena itu, dia amat membutuhkan bantuan kita untuk memilihkan teman yang baik bagi dirinya.

Mengajari Anak untuk Mencintai Temannya

Seorang muslim harus mencintai saudaranya sesama muslim. Banyak keutamaan yang Allah dan Rasul-Nya janjikan manakala dia mencintai saudaranya. Di antaranya adalah kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah yang disampaikan oleh Abu Hurairah: “Kalian tidak akan masuk surga hingga beriman, dan tidak sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim no. 54). Oleh karena itu, anak harus diajari untuk mencintai teman-temannya, terutama teman yang baik, dengan harapan dia akan meraih nilai-nilai keutamaan. Di samping itu, dia akan senantiasa membina hubungan baik dengan temannya.

Bisa pula kita tuturkan kepada mereka kisah yang dinukilkan oleh Abu Hurairah dari Rasulullah: “Ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di negeri lain. Allah mengutus malaikat di belakangnya. Tatkala malaikat itu sampai kepadanya, bertanyalah malaikat, ‘Engkau mau kemana?’ Orang itu menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di negeri itu.’ Malaikat itu bertanya lagi, ‘Apakah ada utang budi (atau harta) yang engkau inginkan darinya?’ Dia menjawab, ‘Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah.’ Malaikat itu pun berkata, ‘Aku adalah utusan Allah yang diutus kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintai temanmu di jalan-Nya’.” (HR. Muslim no. 2567).

Mengucapkan Salam Ketika Bertemu Teman

Ini adalah satu hal yang banyak dilupakan oleh anak-anak kaum muslimin. Saat datang atau bertemu teman, jarang ditemui mereka saling mengucapkan salam. Bahkan, kadang justru lebih terbiasa dengan sapaan lain, seperti ‘hai’, ‘halo’, dan sebagainya. Padahal ini bukan dari ajaran Islam, ini kebiasaan orang kafir. Alangkah baiknya jika kita hidupkan syiar Islam ini. Kita dorong anak-anak mengucapkan salam ketika bertemu teman. Hal seperti ini juga akan menambah kecintaan di antara mereka. Abu Hurairah menyampaikan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Maukah aku tunjukkan kalian satu amalan yang jika kalian amalkan niscaya kalian akan saling mencintai? (Yaitu) sebarkan salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54). Mengucapkan salam adalah amalan yang mudah dilakukan, bahkan oleh anak-anak sekalipun. Abu Hurairah pernah mengatakan: “Orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil untuk mengucapkan salam.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 795, “Shahihul isnad mauqufan wa shahha marfu’an”). Hendaknya anak diajari pula agar memberi salam kepada teman yang lebih tua. Begitu pula jika dia sedang berjalan melewati teman-temannya. Demikian yang diajarkan oleh Rasulullah dalam ucapan beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah: “Yang kecil memberi salam kepada yang besar, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.” (HR. al-Bukhari no. 6234 dan Muslim no. 2160).

Menghindari Hasad Terhadap Teman

Melihat teman memiliki mainan baru atau sesuatu yang menarik, terkadang menimbulkan rasa iri pada anak. Rasa iri atau hasad yang terpendam itu kadang muncul dalam bentuk perilaku negatif. Bisa jadi, dengan mencela mainan si teman, atau bahkan sampai merusak mainan tersebut. Tak jarang, anak dicap sebagai anak nakal karena perilakunya yang seperti ini. Tentu kita tak ingin anak-anak memupuk sifat tercela seperti ini. Sifat hasad amat dibenci oleh syariat. Allah banyak menyebutkan tercelanya sifat ini dalam Kitab-Nya yang mulia.

Sebelum anak menindaklanjuti rasa hasad yang mucul di hatinya, ketika melihat gejala-gejala hasad muncul pada perilaku anak, hendaknya kita mengingatkannya tentang kenikmatan-kenikmatan Allah yang telah diberikan kepadanya. Misalnya, dia memiliki mainan lain yang bagus pula. Diingatkan pula tentang temannya yang lain yang tidak memiliki mainan sebagaimana yang dimilikinya. Diajarkan anak untuk bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Demikian yang dituntunkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah: “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat kepada orang yang ada di atas kalian, karena hal ini lebih layak agar kalian tidak mengingkari nikmat Allah.” (HR. Muslim no. 2963). Seiring dengan itu, kita ajari anak agar turut merasa senang dengan segala sesuatu yang dimiliki temannya, karena hal itu adalah tanda kesempurnaan iman seseorang.

Mengingatkan Anak Agar Tidak Mengganggu Teman

Terkadang, ada saja tingkah anak yang dia perbuat untuk mengganggu teman, bisa jadi dengan perbuatan atau ucapan. Akhirnya hubungan dengan teman-temannya pun terganggu. Mereka bertengkar, saling mendiamkan dan berjauhan, atau bahkan berkelahi. Kita harus selalu berusaha mengingatkan mereka untuk tidak mengganggu temannya. Rasulullah telah mengingatkan kita dalam sabdanya: “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Muslim).

Membantu Kesulitan Teman

Menyaksikan teman jatuh saat lari-lari atau memanjat, melihat teman diusili teman yang lain, terkadang anak tidak bereaksi. Si teman mengaduh atau menangis, mereka hanya menjadi penonton. Mengetahui keadaan semacam itu, hendaknya kita bisa mendorong anak mengulurkan bantuan dan pertolongan kepada temannya. Kita ingatkan mereka, jika kita menolong teman, Allah akan menolong kita di saat kesulitan. Rasulullah telah menjanjikan hal itu dalam sabda beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan satu kesulitan dunia dari orang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesulitan hari kiamat. Barang siapa memudahkan orang yang kesulitan, pasti Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim no. 2699).

Begitu pula jika suatu ketika anak bercerita melihat ada teman yang kekurangan. Hendaknya kita bisa mendorong mereka untuk memberikan apa yang dibutuhkan si teman apabila memungkinkan. Jika mereka membantu teman, niscaya Allah akan memberikan ganti dari apa yang dia berikan. Demikian yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa beliau bersabda: “Tidak ada suatu hari yang dimasuki oleh seorang hamba melainkan pada hari itu ada dua malaikat yang turun. Salah seorang dari mereka berdoa, ‘Ya Allah, berikan ganti pada orang yang menginfakkan hartanya.’ Yang lainnya berdoa, ‘Ya Allah, berikan kemusnahan harta pada orang yang tidak mau memberi’.” (HR. al-Bukhari no. 1442). Sikap seperti ini juga akan menumbuhkan kedermawanan dalam diri anak dan mengikis sifat bakhil dari dirinya.

Memberikan Hadiah kepada Teman

Suatu saat, mungkin anak kita memiliki kue, cokelat, atau barang yang berlebih. Kita bisa memberi gagasan kepadanya untuk memberikan hadiah kecil untuk temannya. Kita jelaskan pula bahwa yang seperti ini akan membuat dia dicintai teman-temannya. Rasulullah pernah bersabda: “Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Baihaqi, dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3004).

Memberikan Pengertian kepada Anak tentang Hak Milik Orang Lain

Anak harus mengerti, tak semua yang dia inginkan harus dia dapatkan. Khususnya jika berkaitan dengan milik orang lain. Sesuatu yang bukan miliknya tak boleh dia ambil seenaknya, baik dengan maksud memiliki maupun hanya main-main. Dia harus meminta izin kepada pemiliknya. Rasulullah  telah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari Abdullah bin as-Sa’ib bin Yazid dari ayahnya dari kakeknya: “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik untuk main-main maupun sungguhan. Siapa yang mengambil tongkat saudaranya, hendaknya dia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud no. 5003, dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud). Begitu pula jika dia meminjam sesuatu, dia harus menjaga barang pinjaman itu sebaik-baiknya dan mengembalikannya. Ini adalah perwujudan sikap amanah pada dirinya, sebagaimana yang Allah perintahkan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (an-Nisa’: 58). Demikianlah, masih panjang tugas kita sebagai orang tua sekaligus pendidik anak-anak kita. Tugas berat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Rabb seluruh alam. Karena itulah, kita senantiasa berendah hati menerima tuntunan syariat dalam menjalankan tugas mulia ini. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.


Saat Cinta Bersemi Di Hati

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin dalam Majalah Asy Syariah)

Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Cinta adalah kepergian hati mencari yang dicinta, seraya lisannya terus-menerus menyebut yang dicinta. Adapun lisan senantiasa menyebut yang dicinta, tak ragu lagi karena dirinya tengah dirundung cinta yang teramat sangat, maka ia akan banyak menyebutnya.” (Madariju as-Salikin, 3/15). Cinta yang merasuk ke dalam diri akan mendorong seseorang berkiprah. Melangkah mencari yang dicinta. Berupaya untuk senantiasa memenuhi apa yang diinginkan oleh cintanya. Berusaha agar selalu menuai ridha dari kekasih. Cinta mendorong seseorang untuk berbulat tekad mempersembahkan apa yang dimiliki. Apatah hendak dikata, kala cinta telah meluap di hati. Sikap dan perilaku pun akan terbingkai karenanya. Tanpa cinta, hidup terasa hambar. Tiada bermakna, bagai pohon yang tak pernah disirami air kehidupan. Cinta nan bertumpu kebenaran mengantarkan hidup seseorang pada jalan yang lurus.

Beribadah kepada Allah harus dilandasi cinta (mahabbah) pula. Tentu pula selain itu, dilandasi dengan sikap takut (khauf) dan mengharap (raja’). Tiga hal ini harus terkumpul dan tak boleh sirna salah satu di antaranya. Karena, barang siapa yang beribadah hanya dengan dilandasi sikap takut, maka ia beribadah di atas jalan kaum Khawarij. Mereka beribadah kepada Allah hanya dilandasi sikap khauf, mengambil nash-nash yang berisi ancaman, sedangkan nash-nash yang berisi janji, ampunan (maghfirah), dan rahmat ditinggalkan. Adapun yang beribadah hanya dilandasi dengan sikap raja’, maka ia beribadah di atas jalan yang ditempuh oleh kaum Murji’ah. Mereka beribadah atas dasar mengharap tanpa ada landasan rasa takut dari berbuat dosa dan maksiat. Karena, bagi kalangan Murji’ah, iman cukup hanya di hati. Amal perbuatan tidak terangkum dalam iman. Adapun orang yang beribadah hanya dilandasi dengan sikap cinta (mahabbah) saja, ia beribadah di atas landasan kaum Sufi. Tidak ada hakikat ibadah melainkan didasari oleh tiga hal di atas. Satu di antaranya adalah cinta.

Perlu ditelisik bahwa cinta (mahabbah) ada empat macam:

Pertama, mahabbah syirkiyah adalah cinta kepada berhala, patung, dan segala sesuatu yang disembah (diibadahi) selain Allah. “Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (al-Baqarah: 165).

Kedua, mahabbah muharramah adalah mencintai sesuatu yang Allah memurkainya. Mencintai hal yang dicegah, dilarang, dan diharamkan, seperti mencintai orang musyrik dan kafir.

Ketiga, mahabbah thabi’iyah adalah cinta seseorang terhadap anak-anaknya, kedua orang tuanya, istrinya, dan teman-temannya.

Keempat, mahabbah wajibah adalah mencintai para wali Allah, mencintai karena Allah, dan berloyalitas karena Allah (Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah, Ba’dhu Fawaid Surah al-Fatihah, hlm. 185—194).

Cinta nan tulus akan mengarahkan seorang hamba pada ibadah yang murni. Cinta nan tulus menjadi salah satu faktor yang mengantarkan seorang hamba meraih kelezatan manisnya iman. Rasulullah bersabda: “Tiga hal yang apabila ada pada diri seorang hamba, niscaya dia akan merasakan manisnya iman: barang siapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya; seseorang yang mencintai saudaranya, tidaklah dia mencintai melainkan karena Allah; seseorang yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana dia tidak suka jika dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim no. 43 dari Anas bin Malik).

Demikian pula, keimanan seorang hamba tidak akan bisa sempurna dan baik manakala tidak melebihkan takaran cintanya kepada Rasulullah. Cinta kepada Rasulullah harus lebih tinggi dibandingkan dengan cinta yang diberikan kepada keluarga, harta, dan segenap manusia. Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang di antara kalian beriman hingga dia menjadikan aku lebih dia cintai dari keluarganya, hartanya, dan segenap manusia.” (HR. Muslim no. 44 dari Anas bin Malik). Al-Qadhi bin ‘Iyadh mengatakan bahwa termasuk mencintai Rasulullah adalah menolong sunnahnya, membela syariat (yang dibawanya). Tidaklah sempurna iman seseorang melainkan dengan hal itu. Tidak sah pula cinta seseorang kecuali dengan meninggikan kedudukan Nabi atas orang tua dan anak (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/205).

Dalam kerangka cinta itu pula, sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai amalan apa saja yang paling dicintai Allah. Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah: “Amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Rasulullah menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa?” “Berbuat baik kepada kedua orang tua.” “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” (HR. al-Bukhari no. 5970). Dorongan cinta telah melambungkan semangat beramal untuk sesuatu yang lebih baik, lebih dicintai, dan lebih utama. Saat cinta bersemi di hati, hasrat untuk meraup pahala sedemikian membumbung tinggi. Cinta telah membasuh hati dan menjadikannya jernih saat menatap hidup, karena cinta telah melumpuhkan gejolak syahwat nan membinasakan. Akhirnya, yang ada hanyalah menghaturkan segenap amal hanya bagi Allah  semata. Tiada bagi selain-Nya. Yang ada hanyalah bagi-Nya. Seraya amal itu dititi di atas ittiba’ terhadap Rasul-Nya.

Ibnu Katsir menuturkan perihal sifat orang yang memiliki kedudukan tertinggi dengan firman-Nya: “Mereka memberikan makanan yang disukainya….” (al-Insan: 8). “… dan memberikan harta yang dicintainya….” (al-Baqarah: 177). Sungguh, mereka adalah orang-orang yang menyedekahkan sesuatu yang mereka cintai. Walaupun kadang mereka membutuhkannya, tetapi hal itu tidak dipentingkannya. Mereka lebih mengutamakan orang lain dibandingkan dengan diri mereka sendiri. Yang termasuk dalam kedudukan tertinggi ini adalah Abu Bakr ash-Shiddiq. Beliau menyerahkan segenap harta yang dimilikinya. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah yang telah engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.” (HR. at-Tirmidzi no. 3675).

Begitu pula dengan air minum yang ditawarkan kepada ‘Ikrimah dan para sahabatnya saat Perang Yarmuk. Masing-masing lebih mendahulukan teman lainnya padahal mereka dalam keadaan terluka. Mereka sangat memerlukan air, semuanya. Saat air minum tersebut diserahkan kepada salah satu dari mereka, lantas orang ini melihat temannya yang membutuhkan air. Air itu lalu diberikan kepada teman lainnya. Saat teman yang membawa air ingin meminumnya, dia melihat ada teman lainnya yang membutuhkan air pula hingga dia memberikan air tersebut kepada teman yang lainnya. Sampai akhirnya, air minum tersebut hendak disampaikan kepada yang lain, tetapi orang tersebut telah meninggal. Ketiga orang yang terluka tersebut seluruhnya meninggal dunia dan tidak ada seorang pun yang sempat meminum air tersebut.

Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, berilah saya makanan.” Beliau kemudian mengutusnya ke rumah istrinya, tetapi di rumah ternyata tidak ditemukan makanan. Nabi bersabda, “Adakah seseorang yang mau menjamu tamu pada malam ini? Semoga Allah merahmatinya.” Seseorang dari kalangan Anshar berdiri kemudian ia menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Laki-laki Anshar itu pulang dan menemui istrinya seraya berkata, “Ini adalah tamu Rasulullah. Jangan remehkan dia.” Istrinya menukas, “Demi Allah, aku tidak memiliki makanan selain yang tersisa untuk anak-anak.” Suaminya berkata, “Jika anak-anak menginginkan makan malam, tidurkanlah mereka. Kemarilah, padamkan lampu. Biarkan perut-perut kita tak terisi makanan pada malam ini.” Malam itu mereka tak menyantap makanan untuk makan malam. Keesokan harinya, laki-laki itu menjumpai Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah telah takjub—atau tertawa—terhadap fulan dan fulanah.” Kemudian turunlah ayat: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan ini). Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9) (HR. al-Bukhari no. 4889. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, VII/42—43).

Dalam riwayat Muslim, laki-laki Anshar yang dimaksud adalah Abu Thalhah. Di zaman yang telah dipengaruhi pemahaman individualis ini, masih adakah bentuk perilaku di atas? Perilaku para sahabat yang mulia yang senantiasa mendahulukan teman, meski mereka sendiri membutuhkannya, tidak berarti harus memelihara sikap kikir. Sungguh beruntung orang yang terjaga dari sikap kikir dan bakhil. Firman-Nya: “Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9). Cinta juga mendorong seseorang untuk menggerus sifat individualis dan menunjukkan sikap kebersamaan. Hadits Abu Hurairah menggambarkan hal ini. Ada seorang lelaki mengunjungi temannya di satu desa. Allah lalu memerintahkan malaikat mendatangi lelaki tersebut di tengah perjalanannya. Saat bertemu, malaikat itu bertanya kepada si lelaki, “Kemana engkau hendak pergi?” Jawab lelaki itu, “Aku akan mengunjungi saudaraku di jalan Allah di desa ini.” Malaikat bertanya lagi, “Apakah engkau merasa berutang budi atas kebaikannya?” Lelaki itu menjawab, “Tidak. Aku berkunjung semata-mata lantaran mencintainya karena Allah.” Malaikat pun berkata, “Sesungguhnya, aku adalah utusan Allah kepadamu bahwa Allah mencintaimu seperti halnya engkau mencintai saudaramu itu karena Allah.” (HR. Muslim).

Oleh karena itu, Islam mendorong setiap pemeluknya untuk senantiasa memerhatikan keadaan orang-orang yang kurang mampu. Tidak luput pula, setiap muslimah hendaknya membelanjakan harta yang dimilikinya. Rasulullah bersabda: “Wahai kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar (memohon ampun kepada Allah). Sungguh, aku telah melihat kebanyakan dari kalian adalah penghuni neraka. Lantas, ada seorang wanita menukas dengan bertanya, ‘Mengapa kami (kaum wanita) kebanyakan menghuni neraka?’ Nabi menjawab, ‘Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami’.” (HR. Muslim no. 79).

Islam adalah agama yang menebar rahmat. Hak-hak individu tetap dijaga, tetapi tidak lantas menjadi individualis. Kepekaan terhadap fenomena sosial tetap ditumbuhkan pada diri seorang muslim. Kepedulian terhadap fakir, miskin, dan anak-anak yatim menjadi barometer kualitas keagamaan. Semakin tajam seseorang menghayati dan memahami Islam, semakin tajam pula tingkat kepedulian sosialnya. Hal ini karena ajaran agama Islam tidak hanya dalam tataran teori, lebih dari itu harus diawalkan dalam kehidupan nyata. Memberi sedekah, menyantuni anak yatim, dan memberi makan orang miskin merupakan amalan yang dijunjung tinggi dalam Islam. Firman Allah: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.” (al-Ma’un: 1—3). Firman-Nya: “Adapun terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Sedangkan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardik.” (adh-Dhuha: 9—10).

Oleh karena itu, sangat tidak terpuji sekali apabila ada seseorang yang memupuk sikap ego yang tinggi. Hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau peduli terhadap sesama. Memupuk egoisme akan merusak tatanan sosial, bisa menimbulkan kecemburuan sosial, dan kehidupan bermasyarakat. Akhirnya, kriminalitas yang membahayakan merajalela. Lantaran terjadi ketimpangan sosial, tidak mustahil terlahirlah dunia hitam: premanisme, pelacuran, dan kejahatan lainnya, wal ‘iyyadzubillah. Mendistribusikan sesuatu yang bernilai kepada sekelompok masyarakat yang tidak mampu merupakan langkah bijak memupus kesenjangan sosial. Rasulullah dan para sahabat yang mulia telah memberikan teladan perihal tersebut. Dalam sebuah hadits Abdullah bin ‘Umar disebutkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Kemudian ‘Umar mendatangi Nabi. ‘Umar hendak meminta pendapat perihal tanah tersebut kepada Nabi. ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Tidaklah aku dapati harta yang lebih berharga darinya, menurutku. Saran apa yang engkau berikan terkait tanah ini?” Nabi bersabda, “Jika engkau mau, tetapkanlah tanah tersebut sebagai barang sedekah.” ‘Umar lalu menyedekahkan tanah tersebut dengan status tanah itu tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. ‘Umar bin Khaththab menyedekahkan tanah tersebut (yang hasilnya) diperuntukkan bagi orang-orang fakir, karib kerabat, para budak sahaya, orang yang berada di jalan Allah, ibnu sabil, dan tamu (HR. al-Bukhari no. 2737).

Apa yang diperbuat ‘Umar bin Khaththab merupakan langkah nyata memupus egoisme dan sikap bakhil. Tindakan ‘Umar bin al-Khaththab merupakan teladan dalam menumbuhkan kepedulian sosial. Para ulama menjadikan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar di atas sebagai landasan wakaf. Barang yang disedekahkan ‘Umar bin al-Khaththab adalah jenis barang yang bisa dimanfaatkan dalam kurun waktu yang lama. Ini tergambar dalam hadits Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi bersabda: “Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 4199). Karena itu, yang menjadi salah satu syarat sah wakaf, barang yang diwakafkan tergolong yang bisa dimanfaatkan secara terus-menerus dan tahan lama (baqa’). Wakaf menjadi tidak sah manakala barang yang diwakafkan tersebut musnah/habis setelah diambil manfaatnya seperti makanan (Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Mulakhkhas al-Fiqhi, hlm. 165).

Memberikan sesuatu yang berharga yang menjadi milik sendiri adalah termasuk prinsip kebaikan. Allah berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177).

Agar apa yang disedekahkan benar-benar menjadi kebaikan yang bernilai guna, syariat membimbing seseorang untuk tidak mengungkit-ungkit sedekah yang telah diberikan. Hal ini bisa melenyapkan pahala sedekahnya. Apalagi diiringi dengan menyakiti perasaan penerima. Sungguh, hal seperti ini merupakan tindakan yang tidak terpuji. Allah telah memperingatkan melalui firman-Nya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 264). Dari Abi Dzar, Rasulullah bersabda: “Tiga macam orang yang Allah tidak akan berbicara dengannya pada hari kiamat, tak akan melihat mereka dan membersihkannya. Mereka mendapatkan siksa yang pedih. Yaitu, orang yang mengungkit-ungkit apa yang telah diberikan, orang yang memanjangkan kainnya hingga melebihi mata kaki, dan orang yang menuntut tambahan harga (dari) barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah dusta.” (HR. Muslim no. 171).

Sedekah yang diiringi dengan mengungkit-ungkit apa yang telah diberikan akan sangat mengerikan. Sedekah yang telah dilakukan menjadi batal, pahala yang hendak dituai pun menjadi sirna. Bahkan, di akhirat kelak Allah tidak akan berbicara dengannya, melihat, dan membersihkannya. Allah akan menghukumnya dengan siksa yang pedih. Wal ‘iyadzu billah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘Allah tidak akan berbicara pada mereka’ adalah berbicara dalam rangka keridhaan. Karena Allah pun berbicara dengan para penghuni neraka—dan mereka sudah berada di neraka—sebagaimana firman Allah: “Allah berfirman, ‘Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan-Ku’.” (al-Mu’minun: 108).

Ini ditujukan pada mereka (penduduk neraka), akan tetapi bukan dalam kerangka jalan yang diridhai. Adapun ‘Allah tidak akan melihat mereka’, maksudnya tidak melihat kepada mereka dengan pandangan khusus, yaitu pandangan penuh rahmat. Adapun memandang secara umum, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat terhadap segala sesuatu. Sedangkan ‘Allah tidak membersihkan mereka’, maksudnya tidak membersihkannya dan memuji mereka dalam kebaikan. Bahkan, Allah berbuat yang sebaliknya pada mereka. Nas’alullaha al-‘afiyah (at-Ta’liq ‘ala Shahih Muslim, 1/349—350). Karenanya, ikhlaskanlah segala sesuatu yang telah diserahkan di jalan Allah. Dengan itu, diharapkan Allah membalas segenap kebaikan yang telah diamalkan. Tanpa harus mengungkit-ungkit dan menyakiti orang yang menerima pemberian sedekah tersebut. Wallahu a’lam.


Kaidah Memperlakukan Orang Lain

(Sumber: Majalah Asy Syariah)


Al-Hakim berkata, “Ketulusan dalam hal bergaul dengan makhluk adalah engkau senang apabila mereka memperlakukanmu sebagaimana engkau memperlakukan mereka.”

Abu Bakr bin ‘Ayyasy mengatakan, “Raihlah keutamaan dengan cara engkau mengutamakan orang lain. Sesungguhnya, manusia memperlakukan dirimu sebagaimana engkau memperlakukan mereka.”

Umar ibnul Khaththab berkata, “Ada tiga hal yang akan membuat kecintaan saudaramu kepadamu menjadi tulus: engkau mengucapkan salam ketika bertemu dengannya, melapangkan majelis untuknya, dan memanggilnya dengan nama yang paling disenanginya.”

(Adabul ‘Isyrah wa Dzikru ash-Shuhbah wal Ukhuwwah, Abul Barakat al-Ghazzi).


Kesesatan Asy'ariyah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak dalam Majalah Asy Syariah)

Setelah kita menelusuri sosok Imam Abul Hasan al-Asy’ari, ternyata beliau adalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, bahkan dengan tegas beliau menyatakan berakidah seperti akidah al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Sekarang masih ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab, yaitu benarkah Asy’ariyah termasuk golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah? Untuk menjawab masalah ini kita harus mengetahui hakikat kelompok ini dan pemikiran-pemikirannya.

Siapakah Asy’ariyah?

Kelompok Asy’ariyah adalah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan menganut paham al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Benarkah pengakuan mereka? Karena banyak yang mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah, padahal akidahnya jauh dari akidah Ahlus Sunnah. Allah berfirman: “Datangkanlah bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 111). Kata pepatah Arab: Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila. Padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya.

Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah

Telah kita ketahui bahwa bibit pemikiran Asy’ariyah muncul ketika Abul Hasan al-Asy’ari mengkritisi pemikiran Mu’tazilah ayah tirinya yakni Abu Ali al-Jubba’i, padahal itu terjadi jauh setelah masa generasi utama berakhir, bahkan setelah zaman Imam Ahlus Sunnah al-Imam Syafi’i. Berarti, di zaman sahabat, tabiin, tabiut tabiin, bahkan di zaman al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan al-Imam Syafi’i, belum ada yang namanya paham Asy’ariyah. Telah kita ketahui pula bahwa Abul Hasan al-Asy’ari sendiri telah rujuk dari pendapatnya, menegaskan bahwa beliau di atas akidah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi siapakah panutan Asy’ariyah, jika imam yang empat saja tidak mengenal paham mereka?!

Sumber Ilmu Asy’ariyah

Asy’ariyah adalah satu kelompok ahlul kalam, yakni mereka yang berbicara tentang Allah dan agama-Nya tidak berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka mengutamakan ra’yu (akal) mereka dalam membahas perkara agama. Oleh karena itu, kita akan mendapatkan penyimpangan mereka dalam ber-istidlal (pengambilan dalil). Di antara prinsip mereka yang menyimpang dalam berdalil:

1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah mutawatir, bukan hadits-hadits ahad, karena hadits ahad bukanlah hujah dalam masalah akidah. Ar-Razi berkata dalam Asasut Tadqis, “Adapun berpegang dengan hadits ahad dalam mengenal Allah tidaklah diperbolehkan.”

2. Mendahulukan akal daripada dalil. Hal ini telah disebutkan oleh al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, dan lainnya. Sebagai contoh: Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika nash bertentangan dengan akal maka harus mendahulukan akal.”

3. Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dhaniyatud dalalah (kandungannya hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan kepastian.

4. Menakwil nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang nama-nama dan sifat Allah.

5. Sering menukil ucapan falasifah (orang-orang filsafat), ini kental sekali dalam kitab-kitab mereka seperti Ihya Ulumudin (Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyairah).

Penyimpangan-Penyimpangan Asy’ariyah

Allah menjelaskan bahwa jalan kebenaran hanya satu, Allah berfirman: “Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia.” (al-Anam: 153). Rasulullah menjelaskan bahwa jalan tersebut adalah jalannya dan jalan yang telah ditempuh para sahabatnya, beliau bersabda: “Umatku terpecah menjadi 73 golongan: 72 di neraka dan 1 yang selamat. Mereka adalah al-jama’ah.” dalam riwayat lain: ”(mereka adalah yang berjalan) di atas jalanku dan jalan sahabatku”. Merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Hadits.

Ketika Asy’ariyah menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah maka mereka pun terjatuh dalam penyimpangan-penyimpangan dalam prinsip agama. Di antara penyimpangan mereka:

1. Dalam masalah tauhid

Asy’ariyah menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan berbilangnya pencipta… sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat tauhid hanya sebatas tauhid rububiyah, yaitu tidak ada pencipta atau tidak ada yang bisa mencipta selain Allah. Mayoritas mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah. Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada tiga: tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat. Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid adalah kewajiban pertama atas seorang hamba, terkhusus tauhid uluhiyah, karena untuk itulah manusia diciptakan. Allah berfirman: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariat: 56).

2. Dalam masalah iman

Asy’ariyah dalam masalah iman di atas mazhab Murji’ah Jahmiyah. Mereka menyatakan iman hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran dengan hati). Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan amalan anggota badan. Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Adapun Ahlus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, bisa bertambah dan berkurang. Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.

3. Dalam masalah asma wa sifat

Asy’ariyah memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna yang ditetapkan Ahlus Sunnah. Kemudian ditambah oleh seorang tokoh mereka yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak menetapkan satu pun sifat fi’liyah bagi Allah (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dan lainnya). Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan semua nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa tahrif, takwil (penyelewengan), dan tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).

4. Dalam masalah al-Qur’an

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Dalil-dalil tentang masalah ini sangatlah banyak. Allah berfirman: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah (yakni al-Qur’an).” (at-Taubah: 6). Rasulullah bersabda: “Adakah kaum yang mau membawa dan melindungiku, karena sesungguhnya Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalam Rabbku (al-Qur’an).” Dalam masalah inilah para ulama Ahlus Sunnah dizalimi. Al-Imam Ahmad dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya mendapatkan cobaan yang dahsyat. Orang-orang Mu’tazilah berhasil menghasut penguasa ketika itu sehingga menjadikan paham Mu’tazilah sebagai akidah resmi dan memaksa semua orang untuk mempunyai keyakinan ini. Berapa banyak para ulama Ahlus Sunnah meninggal dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah dan sebagian lainnya terzalimi (di antaranya dengan dipenjara).

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa semua yang tertulis dalam mushaf, dihafal di dada adalah al-Qur’an. Ahlus Sunnah meyakini bahwa kalamullah adalah dengan huruf dan suara, dapat didengar dan dapat dimengerti. Al-Imam Ahmad berkata, “Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Jangan engkau lemah untuk mengatakan, ‘Bukan makhluk.’ Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah, dan sesuatu yang berasal dari Dzatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan golongan lafzhiyah (ahlul bid’ah yang mengatakan, ‘Lafadzku ketika membaca al-Qur’an adalah makhluk’) dan lainnya atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini yang berkata, ‘Aku tidak tahu al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, tetapi yang jelas al-Qur’an itu adalah kalamullah’. Orang ini (yang tawaquf) adalah ahlul bid’ah sebagaimana halnya orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ketahuilah, (keyakinan Ahlus Sunnah adalah) al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.” (Lihat Ushulus Sunnah).

Mu’tazilah telah sesat dalam masalah ini dan lainnya. Kesesatan Mu’tazilah karena mereka menyatakan al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah. Adapun penyimpangan Asy’ariyah karena mereka mencocoki Ahlus Sunnah dari satu sisi dan menyepakati Mu’tazilah dari sisi lainnya. Kaum Asy’ariyah berkata, “Al-Qur’an maknanya adalah kalamullah, adapun lafadznya adalah hikayat (ungkapan) dari kalamullah, artinya lafadz al-Qur’an, menurut mereka, adalah makhluk.” Hal ini karena dalam pandangan Mu’tazilah, Allah tidak berbicara, dan dalam pandangan Asy’ariyah Allah berbicara tapi hanya dalam jiwanya, tidak terdengar.

5. Dalam masalah takdir

Mereka jabriyah dalam masalah takdir, hanya menetapkan iradah (kehendak) kauniyah dan tidak menetapkan iradah syar’iyah. Menurut mereka, seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa), mereka hanya menetapkan kemampuan dan qudrah seorang hamba ketika berbuat saja, mereka menafikan adanya qudrah hamba sebelum berbuat. Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya iradah kauniyah dan syar’iyah, menetapkan masyiah dan qudrah bagi hamba.

6. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah takwil/penyelewengan

Sebagai contoh, ar-Razi dan al-Amidy menakwilkan makna istiwa menjadi: menguasai, mengalahkan, serta pasti terjadinya takdir dan hukum ilahiyah (Asasut Taqdis dan Ghayatul Maram). Contoh lain, menakwilkan sifat wajah. Al-Baghdadi berkata, “Yang sahih menurut kami yang dimaksud wajah adalah dzat.” (Ushuluddin). Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa takwil yang ada di tengah-tengah manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil tersebut adalah takwil yang bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah (Lihat Majmu Fatawa: 5/23).

7. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah illat (sebab/hikmah) dalam perbuatan Allah. Mereka tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah. Adapun Ahlus Sunnah menyatakan semua yang Allah lakukan mengandung hikmah yang sangat tinggi.

8. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali al-Juwaini mengingkari bahwa Allah di atas makhluk-Nya.

9. Mereka memperluas permasalahan karamah hingga menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin saja terjadi atas para wali.

10. Menetapkan Allah dilihat tanpa dari arah. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah di akhirat).

11. Menyatakan akal tidak bisa menetapkan baik buruknya sesuatu.

12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu (Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal Asya’irah).


Mengatasi Problematika Remaja

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran dalam Majalah Asy Syariah)

Setiap manusia pasti melalui jenjang-jenjang usia dalam rentang waktu kehidupannya. Mulai dari bayi neonatus (baru lahir), lalu memasuki masa batita, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, kemudian masa tua. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Kemudian Kami keluarkan kalian sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampai pada kedewasaan, di antara kalian ada yang diwafatkan, dan (ada pula) di antara kalian yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” (al-Hajj: 5).

Saat seseorang beranjak dari masa kanak-kanak menuju dewasa, tepatnya pada masa remaja, banyak perubahan yang terjadi pada dirinya, baik fisik maupun psikis. Ini semua ditetapkan oleh Allah sebagai persiapan bagi dirinya untuk memasuki dunia dewasa. Di antaranya, mulai tumbuh kecenderungan jiwanya terhadap lawan jenis. Ironinya, masih banyak orang tua yang belum mengerti apa yang harus dilakukan ketika menghadapi hal ini. Apalagi, pergaulan yang bebas antara anak laki-laki dan perempuan makin dianggap sesuatu yang lumrah. Ikhtilath (campur baur lelaki dan perempuan), bahkan khalwat (berduaan dengan lawan jenis) tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu dikhawatirkan menurut mereka. Toh cuma sekadar teman biasa, begitu pikir mereka.

Lebih-lebih lagi berbagai teori psikologi Barat turut melegalkan pergaulan semacam ini. Bahkan, hal ini dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial remaja. Akibatnya, orang tua merasa semakin ‘bisa mengerti dunia anak remajanya’ dengan cara membebaskan mereka ber-ikhtilath. Lebih jauh lagi, mereka menjadi sponsor dan fasilitator bagi anak mereka yang ingin berpacaran. Nas’alullah as-salamah (kita memohon keselamatan kepada Allah). Padahal senyatanya, dari sanalah justru pangkal segala kerusakan. Makin berjalan waktu, pergaulan yang bebas antara anak laki-laki dan perempuan makin dianggap wajar. Pemisahan antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai gaya hidup kolot dan tempo doeloe.

Akan tetapi, akibatnya kian memiriskan hati. Remaja adalah masa mulai bergejolak naluri seksual. Namun, alih-alih mendapatkan sesuatu yang meredakan sehingga tersalurkan dengan benar, situasi dan kondisi di sekeliling justru mendorong pelampiasannya secara salah. Jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan, tinggallah si remaja menjadi kambing hitam. Sementara itu, orang tua seringkali tak merasa bersalah sama sekali. Alangkah baiknya jika kita mendengar dan tunduk kepada syariat Allah. Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan tentang haramnya ikhtilath dan khalwat. Bukankah sesuatu yang haram pasti berujung pada kejelekan, kerusakan, dan kebinasaan? Bukankah lebih baik mencegah kejelekan, kerusakan, dan kebinasaan dengan melaksanakan syariat Allah daripada di belakang hari menuai penyesalan?

Untuk itu, alangkah baiknya jika kita simak bimbingan seorang alim yang telah puluhan tahun menghabiskan hidupnya sebagai seorang pendidik. Beliau memberikan arahan kepada kita—orang tua—tentang cara menghadapi problematika remaja yang tengah bergejolak naluri seksualnya. Beliau, asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, menuliskan hal ini di tengah lembaran-lembaran kitab kecil yang beliau susun, Kaifa Nurabbi Auladana. Beliau katakan, “Sesungguhnya solusi paling utama bagi problematika remaja ini adalah menikah, jika memang hal ini memungkinkan dan jalannya pun mudah, seperti tersedianya mahar. Hal ini sebagai pengamalan sabda Rasul: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu, hendaknya dia menikah, karena hal itu akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu, hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu tameng baginya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Tameng di sini maksudnya meredakan syahwat (keinginan) untuk jima’.

Jangan sampai pernikahan terhalang oleh keinginan menyelesaikan pendidikan, jika memang si pemuda itu dari keluarga kaya dan memiliki orang tua yang dapat mencukupi kebutuhannya, atau dia sendiri memiliki kekayaan/pekerjaan. Begitu pun orang tua. Seyogianya mereka tidak menunda pernikahan anaknya ketika telah mencapai usia baligh, apabila memang mereka ini kaya. Ini lebih baik daripada membiarkan anaknya membujang sehingga terseret untuk berbuat keji dan merusak nama baik atau kehormatan orang tuanya. Ujungnya, si anak berbuat dosa, baik pada dirinya maupun orang tuanya. Di sisi lain, si anak hendaknya meminta dengan lemah lembut kepada orang tuanya agar diizinkan menikah, jika memang orang tuanya adalah ‘orang yang berada’. Dia pun hendaknya bersemangat mencari ridha orang tuanya dan senantiasa bersikap baik kepada mereka. Sebaliknya, sang ayah hendaknya membantu sejauh kemampuannya agar hal ini terwujud.

Hendaknya setiap orang menyadari bahwa Allah tidaklah mengharamkan sesuatu melainkan pasti menghalalkan hal lain yang dapat menggantikannya. Contohnya, Allah mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli, Allah mengharamkan zina dan menghalalkan pernikahan. Menikah adalah solusi terbaik bagi problematika para pemuda. Namun, jika belum ada kemudahan untuk menikah, mungkin karena fakir sehingga tak memiliki sesuatu untuk mahar atau nafkah, solusi yang terbaik adalah: Melaksanakan Puasa Sesuai Ajaran Syariat. Hal ini sebagai pengamalan hadits di atas: “Barang siapa belum mampu, hendaknya ia berpuasa karena puasa itu tameng baginya.” Maksudnya, puasa itu akan menjaga si pemuda karena akan meredakan syahwatnya.

Puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, namun mencakup pula menahan diri dari melihat segala yang haram, bercampur dengan wanita, menyaksikan film-film porno, bacaan-bacaan cabul, dan berinteraksi dengan lawan jenis. Hendaknya seorang pemuda juga bisa menjaga pandangannya untuk tidak melihat wanita. Allah menjadikan kesehatan dengan sebab menjaga diri. Allah menjadikan sakit dan berbagai musibah lain dengan sebab mengikuti syahwat yang tak bisa dia kendalikan. Tidak boleh syahwat itu disalurkan melainkan melalui jalan yang dibenarkan baginya, dan jalannya adalah menikah. Pernikahan itu akan menjaga kehormatannya dan memberi pengaruh yang baik kepadanya.

Melakukan Aktivitas Rohani

Para ahli jiwa menyatakan bahwa gejolak seksual dalam diri seseorang dapat diredakan. Jika seseorang belum mampu menikah, hendaknya jangan sampai mendekati perbuatan keji. Hendaknya dia berlomba dengan dirinya sendiri untuk melaksanakan berbagai aktivitas rohani, seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, hadits nabawi, biografi, dan sebagainya. Bisa pula dia menyibukkan diri bekerja, sibuk mengadakan penelitian, mengisi waktu dengan menggambar dan berbagai kesibukan, seperti menggambar panorama sungai, pepohonan, pegunungan tanpa gambar manusia, atau yang lainnya.

Olahraga

Ini adalah aktivitas jasmani. Melakukan olahraga, memerhatikan latihan tubuh, bergabung dengan klub-klub yang bebas ikhtilath, semua ini akan mengalihkan pikirannya dari gejolak seksualnya. Selain itu, hal-hal ini juga akan menjauhkannya dari zina yang akan membahayakan fisik, akhlak, dan agamanya. Saat seorang pemuda merasakan gejolak seksual, dia harus melakukan aktivitas jasmani untuk menyalurkan energinya. Ia bisa melakukan lari jarak jauh, angkat berat, gulat, berlomba, belajar memanah, berenang, mengikuti perlombaan ilmiah, dan sebagainya yang dapat meredakan syahwatnya.

Membaca Buku-Buku Agama

Yang terpenting adalah membaca al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits nabawi serta kitab-kitab tafsir. Kemudian berusaha menghafal al-Qur’an dan hadits, membaca sejarah hidup Nabi, biografi al-Khulafa ar-Rasyidin dan para ulama, mendengarkan ceramah ilmiah dan keagamaan, serta mendengarkan bacaan al-Qur’an dari Idza’atul Qur’anil Karim (radio siaran milik pemerintah Saudi Arabia, pen.) atau yang lainnya. Singkatnya, solusi yang paling bermanfaat bagi para pemuda adalah menikah. Jika ternyata belum mampu, bisa dengan berpuasa, melakukan aktivitas rohani, olahraga, menekuni ilmu yang bermanfaat—yang merupakan penenang dan sesuatu yang kuat yang dapat memberi manfaat tanpa merugikan—kemudian menjaga pandangan dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah, dan memohon hanya kepada Allah terutama di malam hari agar Allah memudahkan mereka untuk menikah.” (Dinukil dari Kaifa Nurabbi Auladana hlm. 30—32). Wallahu ta’ala a’lam.


Muslihat Perempuan

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dalam Majalah Asy Syariah)

Wanita, diakui atau tidak, sarat dengan muslihat. Meski kaum pria juga tidak lepas dari yang demikian, perilaku ini lebih lekat kepada kaum hawa. Suka melemparkan kesalahan kepada orang lain, pintar berdalih, dan susah diajak antre adalah contoh sederhana yang banyak kita jumpai. Mengetahui dan memahami sifat pasangan hidup termasuk perkara yang sudah sepantasnya. Suami mengetahui dan memahami sifat istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri mengerti dan memahami sifat suaminya. Selain sifat dan tabiat yang bersifat individu, perlu pula masing-masing pihak mengetahui sifat atau tabiat umumnya seorang lelaki ataupun umumnya seorang wanita. Tujuannya tentu agar masing-masingnya dapat mengambil sikap yang tepat dan semestinya.

Seorang suami harus mengerti bahwa wanita umumnya memiliki muslihat. Walaupun laki-laki juga demikian namun wanitalah yang lebih dominan dalam hal ini. Yang dimaukan dengan muslihat di sini adalah si wanita menampakkan satu perkara namun sebenarnya ia menyembunyikan perkara lain yang justru diinginkannya. Terkadang ia melakukan suatu kesalahan namun ia melemparkannya kepada orang lain. Hal ini tampak jelas pada kisah Nabi Yusuf dengan istri Al-Aziz seperti yang diceritakan dalam Al-Qur`anul Karim. Kita baca bagaimana istri Al-Aziz berbuat kesalahan besar namun Nabi Yusuf yang menjadi “kambing hitam”. Allah berfirman: “Dan wanita (istri Al-Aziz) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan ia menutup pintu-pintu, seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku (suami si wanita) telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud melakukan perbuatan itu dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud demikian dengan wanita itu andaikan ia tidak melihat tanda dari Rabbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati suami wanita itu di depan pintu. Wanita itu berkata, ‘Apa gerangan balasan yang pantas diberikan kepada orang yang bermaksud berbuat jelek dengan istrimu, kalau bukan dipenjarakan atau dihukum dengan siksaan yang pedih?’.” (Yusuf: 23-25).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Allah mengabarkan tentang keadaan Yusuf dan istri Al-Aziz tatkala keduanya berlomba-lomba menuju pintu. Yusuf hendak lari menghindarkan diri dari si wanita sementara si wanita mengejar meminta Yusuf agar kembali ke ruangan itu. Maka si wanita berhasil menyusul Yusuf lalu menarik gamis Yusuf dari belakang hingga koyak besar. Yusuf terus lari meninggalkan si wanita sementara wanita tersebut menyusul di belakangnya. Keduanya pun mendapati suami si wanita di sisi pintu. Ketika itu keluarlah makar dan tipu daya si wanita, ia berkata kepada suaminya untuk menimpakan tuduhan dusta kepada Yusuf, ‘Apa gerangan balasan yang pantas diberikan kepada orang yang bermaksud berbuat jelek dengan istrimu’, yaitu berbuat fahisyah/zina, ‘kalau bukan dipenjarakan atau dihukum dengan siksaan yang pedih’, yaitu dipukul dengan pukulan keras yang menyakitkan”. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 4/266). Demikianlah muslihat yang dilakukan istri Al-Aziz untuk menimpakan kesalahan kepada Yusuf.

Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dalam Shahih keduanya mengeluarkan sebuah hadits dari Aisyah. Aisyah berkata: Rasulullah berkata saat sakitnya, “Perintahkan Abu Bakr agar shalat mengimami orang-orang.” Aisyah berkata, “Sungguh Abu Bakr itu bila berdiri di tempatmu biasa berdiri (sebagai imam dalam shalat), ia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang (makmum) karena isak tangisnya. Karenanya, perintahkanlah Umar agar shalat mengimami orang-orang.” Aisyah berkata, “Aku berkata kepada Hafshah, ‘Katakanlah kepada Rasulullah: ‘Sungguh Abu Bakr itu bila berdiri di tempatmu biasa berdiri (sebagai imam dalam shalat), ia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang (makmum) karena isak tangisnya. Karenanya perintahkanlah Umar agar shalat mengimami orang-orang.’ Hafshah melakukan permintaan Aisyah, maka Rasulullah pun bersabda, “Diamlah, sungguh kalian ini adalah shawahib Yusuf. Perintahkan Abu Bakr agar shalat mengimami orang-orang.” Hafshah berkata kepada Aisyah, “Tidaklah aku pernah mendapat kebaikan darimu1.” (HR. Al-Bukhari no. 679 dan Muslim no. 940).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan, “Shawahib adalah bentuk jamak dari shahibah (teman wanita). Yang dimaksudkan adalah mereka itu sama dengan shawahib Yusuf dalam menzahirkan perkara yang sebenarnya berbeda dengan apa yang di dalam batin. Kemudian yang menjadi sasaran pembicaraan Rasulullah dengan kata ‘Kalian ini (antunna)’ walaupun lafaznya jamak adalah satu orang saja yaitu Aisyah. Sebagaimana lafadz shawahib dengan bentuk jamak namun yang dimaukan hanya Zulaikha saja (istri Al-Aziz). Sisi persamaan antara keduanya2 adalah Zulaikha mengundang para wanita dan menampakkan pada mereka bahwa ia ingin memuliakan mereka dengan perjamuan, namun yang menjadi tujuannya lebih dari itu yakni agar mereka dapat menyaksikan ketampanan Yusuf sehingga mereka dapat memaklumi kenapa ia mencintai Yusuf3. Sementara Aisyah menampakkan pada Rasulullah, ia ingin ayahnya jangan dijadikan sebagai imam karena ayahnya tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada makmum disebabkan tangisnya. Namun sebenarnya maksud Aisyah lebih dari perkara tersebut, yaitu agar orang-orang tidak menganggap sial terhadap ayahnya.” (Fathul Bari, 2/199).

Hal ini dinyatakan sendiri oleh Aisyah: “Sungguh aku menyanggah Rasulullah dalam masalah itu (dengan mengusulkan yang lain dari apa yang diinginkan beliau, pent.) dan tidak ada yang mendorongku untuk berulang kali menyanggah beliau, kecuali bahwa tidak terbetik di hatiku orang-orang akan mencintai seseorang setelah beliau yang berdiri pada tempat beliau selama-lamanya. Tidak pula aku memandang tidak akan ada seseorang yang berdiri pada tempat beliau, kecuali orang-orang akan menganggap sial/tidak baik dengan orang (yang menggantikan tempat beliau) itu. Maka aku ingin Rasulullah memalingkan hal itu dari Abu Bakr.” (HR. Al-Bukhari no. 4445 dan Muslim no. 938). Dalam riwayat Muslim (no. 939) disebutkan ucapan Aisyah: “Demi Allah, tidak ada alasan bagiku (untuk menyanggah keinginan Rasulullah agar ayahku, Abu Bakr, menggantikan posisi beliau sebagai imam, pent.) kecuali aku tidak suka manusia menganggap sial dengan orang yang pertama kali menempati tempat Rasulullah (di dalam shalat sebagai imam, pen.).”

Masih berita dari Aisyah: Nabi biasanya bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Dalam satu safar, undian jatuh pada Aisyah dan Hafshah. Bila tiba malam hari dalam safar tersebut, Nabi berjalan mengiringi unta Aisyah dan berbincang dengan Aisyah. Maka berkatalah Hafshah kepada Aisyah, “Tidakkah malam ini engkau ingin menunggangi untaku dan aku gantian menunggangi untamu, hingga engkau dan aku bisa melihat pemandangan yang lain.” Menanggapi tawaran tersebut, Aisyah berkata, “Tentu aku mau.” Aisyah pun menunggangi unta Hafshah. Pada malam hari, datanglah Nabi ke unta Aisyah sementara di atasnya (dalam sekedup) Hafshah. Nabi mengucapkan salam kepadanya, kemudian berjalan mengiringi unta Aisyah tersebut hingga rombongan singgah di suatu tempat. Aisyah merasa kehilangan Nabi. Maka ketika mereka telah singgah di suatu tempat, Aisyah turun dari unta yang ditungganginya dan memasukkan kedua kakinya di antara semak-semak seraya berkata, “Wahai Rabbku, kuasakanlah seekor kalajengking atau ular agar menyengatku dan aku tidak kuasa mengatakan apa-apa kepada Nabi-Mu.” (HR. Al-Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 6248).

Hafshah memperdaya Aisyah agar dapat jalan beriringan di malam hari bersama suami yang sama-sama mereka cintai, Rasulullah. Ketika menyadari kekeliruannya mengiyakan usulan Hafshah, Aisyah menyesali dirinya sendiri. Karena kecemburuan yang sangat, ia melakukan apa yang dilakukannya dan mendoakan kematian untuk dirinya (Fathul Bari 9/387, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 15/206). Ada kalanya muslihat yang dilakukan wanita untuk perkara kebaikan sebagaimana kisah Asma` bintu Abi Bakr yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 5657). Dalam hadits itu disebutkan setelah Asma` menceritakan khidmatnya kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam, Asma` berkata: Maka datanglah kepadaku seorang lelaki yang fakir, ia berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan/teduhan rumahmu.” Asma` menjawab, “Kalau aku memberi keringanan bagimu (mengizinkanmu), biasanya Zubair keberatan. Karenanya, marilah engkau minta kepadaku dalam keadaan Zubair menyaksikan.” Laki-laki itu pun datang seraya berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan/teduhan rumahmu.” Asma menjawab, “Apakah tidak ada rumah lain bagimu di Madinah ini selain rumahku?” Zubair menegur istrinya, “Kenapa engkau melarang seorang yang fakir untuk berjualan?” Dengan izin tersebut, lelaki itu mulai berjualan hingga ia memperoleh penghasilan/keuntungan. Maka aku menjual seorang budak perempuan kepadanya. Masuklah Zubair dalam keadaan harga/uang penjualan budak tersebut masih berada dalam pangkuanku. Zubair berkata, “Hibahkanlah kepadaku.” Asma` berkata, “Aku sungguh telah menyedekahkannya.” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Hafshah mengucapkan demikian karena ia mendapati pengingkaran Rasulullah hingga ia marah kepada Aisyah disebabkan Aisyah-lah yang menyuruhnya berkata demikian kepada Rasulullah. Dan mungkin pula Hafshah teringat dengan perkaranya bersama Aisyah juga dalam peristiwa Rasulullah minum madu yang dikatakan oleh Aisyah berbau maghafir (Fathul Bari, 2/200).
2 Hingga Rasulullah sampai mengatakan, “Sungguh kalian ini shawahib Yusuf.”
3 Sebagaimana Allah kisahkan untuk kita dalam ayat-ayat-Nya: “Dan wanita-wanita di kota tersebut berkata, ‘Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya kepadanya. Sungguh cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam. Sungguh kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata’. Maka tatkala istri Al-Aziz mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan masing-masing mereka diberikan sebuah pisau (untuk memotong jamuan). (Ketika para wanita itu telah hadir dan menghadapi jamuan yang telah disiapkan), istri Al-Aziz berkata kepada Yusuf, ‘Keluarlah, nampakkan dirimu kepada mereka.’ Maka tatkala wanita-wanita itu melihat Yusuf, mereka terkagum-kagum dengan keelokan rupanya sehingga mereka tidak sadar telah melukai jari-jari tangan mereka (dengan pisau hidangan), dan mereka berkata, ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.’ Istri Al-Aziz berkata, ‘Itulah dia orangnya yang kalian mencelaku karena tertarik kepadanya….’ (Yusuf: 30-32).


Rabu, 27 Februari 2013

Meninjau Ulang Emansipasi Perempuan

(Sumber: Majalah Asy Syariah)

Masalah kewanitaan dalam Islam menjadi tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis perempuan dan kalangan feminis. Dari soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang “rendah” karena posisinya yang dianggap “subordinat”, hingga poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang sama alias sejajar dengan pria. Seolah-olah dalam agama ini terjadi pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan wanita.

Adalah sebuah kenyataan, wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan sebagainya. Makanya syariat pun memayungi perbedaan ini dengan adanya fiqh yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dan fiqh yang dikhususkan bagi perempuan.


Secara fisiologis, misalnya, wanita mengalami haid hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan atasnya. Sementara dari kejiwaan, pria umumnya lebih mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara wanita cenderung mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, wanita patut menjadi ibu yang mana punya ikatan yang kuat dengan anak. Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin sekaligus menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.


Hal-hal di atas bersifat kodrati, bukan label sosial yang dilekatkan (sebagaimana sering didalilkan kaum feminis). Semuanya itu merupakan tatanan terbaik yang diatur Sang Pencipta, Allah. Kelebihan dan kekurangan masing-masing akan saling melengkapi sehingga pria dan wanita bisa bersenyawa sebagai suami istri. Namun tatanan ini nampaknya hendak dicabik-cabik oleh para penjaja emansipasi yang mengemasnya sebagai ”kesetaraan” jender, yang mana hal itu telah diklaim sebagai simbol kemajuan di negara-negara Barat.


Para feminis dan aktivis perempuan itu seolah demikian percaya bahwa kemajuan terletak pada segala hal yang berbau Barat. ”Akidah” ini, sekaligus merupakan potret dari sebagian masyarakat Islam sekarang. Di mana busana, kultur, sistem politik (demokrasi) hingga makanan ’serba Barat’ telah demikian kokoh menjajah ’gaya hidup’ sebagian kaum muslimin.


Demikian juga emansipasi. Propagandanya telah memperkuat citra yang rendah terhadap ibu rumah tangga -yang jamak ditekuni oleh sebagian besar muslimah-, bahwa berkutatnya wanita dalam wilayah domestik dianggap keterbelakangan sebelum bisa menapaki karir.


Falsafah ini kian diperparah dengan paham yang mendewakan kecantikan fisik. Alhasil, ada wanita yang tidak mau menyusui, hanya mau melahirkan lewat jalan operasi, dan sebagainya, (konon) demi semata menjaga ”bentuk tubuh”. Sedemikian rusaknya pandangan ini, hingga anak pun dianggap sebagai penghambat kemajuan (karir).


Sejatinya, jika mau jujur, emansipasi tak lebih dari “produk gagal” dari industri peradaban Barat. Hanya karena kemasan alias silau terhadap kemajuan (fisik) Barat kemudian lahirlah pemahaman bahwa kemunduran negara-negara Islam disebabkan tidak mengikuti Barat, seakan menjadi harga mati.


Padahal kalau kita menilik sejarah, bukan teknologi atau tatanan pergaulan ala Barat sekarang yang membuat Islam jaya di masa silam. Apa arti teknologi jika tidak diimbangi keimanan. Yang terjadi, teknologi justru kemudian digunakan untuk membunuh, mengeksploitasi alam, menjajah negara lain apalagi hanya dengan dalih menangkap gembong teroris, memainkan perannya sebagai polisi dunia, serta menjerat negara berkembang dengan hutang plus (intervensi politik).


Negara Barat seakan tutup mata dengan keroposnya sendi-sendi masyarakat mereka karena tingginya angka perceraian, meratanya seks bebas, meningkatnya homoseksualitas (karena dilegalkan), kentalnya praktik rasial (terhadap warga non kulit putih),  dan sebagainya.