Sabtu, 30 Maret 2013

Kesesatan Haddadiyyah dan Sururiyyah

(sumber: darussalaf.or.id)

Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu
Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah

Diantara perkara yang telah disepakati umat ini, bahwa tidak seorang pun di kalangan para ulama yang terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Namun seorang mujtahid – apabila dia telah berusaha mengeluarkan fatwa untuk mencocoki al-haq dan berjalan di atas rel Al-Qur’an dan As-Sunnah – lalu ternyata setelah itu terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan. Maka sikap seorang muslim terhadap kesalahan tersebut agar tidak bersikap ifrath (berlebih-lebihan) hingga sampai merendahkan kedudukan seorang alim tersebut, apalagi menghajrnya (mengucilkannya, red). Seyogyanya pula seorang muslim tidak bersikap tafrith (meremehkan, red), menerima setiap apa yang keluar dari pendapatnya (mujtahid tersebut), tanpa peduli salah atau tidak, tanpa memperhatikan dalil yang dibawakannya. Walau demikian selayaknya kita tetap mengakui adanya kekeliruan, tanpa harus mencerca dan merendahkan kedudukannya sebagai seorang ‘alim. Sebab seorang mujtahid, tetap akan diganjar pahala oleh Allah Azza wa Jalla dengan ijtihadnya, baik ijtihad tersebut benar atau pun salah.

Inilah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash dan juga datang dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang hakim ingin menetapkan hukum, lalu dia berijtihad, (apabila) benar maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia memberi hukum lalu berijtihad namun salah, maka dia mendapat satu pahala.” (Muttafaq ‘alaihi). Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah Ta’ala berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331). Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala berkata: “Dan mereka berkata: “Pendapat inilah yang ma’ruf dari para Shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan para imam agama, bahwa mereka tidak mengkafirkan, juga tidak menyatakan fasiq, tidak pula menganggap berdosa seseorang dari kalangan mujtahid yang keliru, baik dalam permasalahan amalan maupun keyakinan”. (Minhajus Sunnah: 5/87). Berbeda halnya dengan seorang yang mengikuti sesuatu dengan hawa nafsu – bukan seorang mujtahid -, akan tetapi membangun amalannya di atas sikap fanatik terhadap sesuatu, apakah fanatik terhadap seseorang, atau madzhab tertentu atau kelompok tertentu. Ataukah seseorang yang ingin mencari mana fatwa yang lebih ringan (tidak keras) atau yang semisalnya, maka amalan yang semacam inilah yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al Baqoroh: 170). Dan firman-Nya: “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS Al Baqoroh: 145). Dan firman-Nya: “…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. [QS Al Maaidah: 48]. Dan firman-Nya: "dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik" (QS Al Maaidah: 49). Dan firman-Nya: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Maaidah: 77). Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih sangat banyak.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala: “Orang yang mengikuti sesuatu dari kalangan manusia ada dua bagian. Bagian pertama: seorang yang alim yang membahagiakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Beliau adalah yang mengenal kebenaran dengan dalil bukan dengan taqlid dan mengajak manusia untuk mengenal kebenaran dengan dalilnya, bukan untuk taqlid kepadanya. Bagian kedua: orang yang membinasakan dirinya sendiri dan membinasakan orang lain, dia adalah orang yang taqlid kepada orang tuanya, kakeknya, terhadap apa yang mereka yakini dan yang mereka anggap baik dan meninggalkan untuk menimbang sesuatu dengan akalnya. (Dia) mengajak manusia untuk taqlid kepadanya, orang buta tidak dapat menuntun orang yang buta pula. Maka apabila taqlid terhadap para tokoh tercela, bukan perkara yang dibolehkan dalam perkara aqidah, maka taqlid terhadap kitab-kitab pun -lebih pantas dan lebih utama – tercelanya. Sesungguhnya hewan yang digiring lebih baik daripada seorang muqallid (yakni orang yg mengekor, red) yang ikut (tanpa dalil). Sesungguhnya ucapan para ulama dan orang shalih bertentangan dan berselisih dalam banyak perkara. Maka memilih dan mengikuti (pendapat) salah satu darinya dengan tanpa dalil adalah batil, sebab itu adalah menguatkan sesuatu tanpa ada (alasan) yang menguatkan dan ini bertentangan.” (Qowa’id at-Tahdits, Al-Qasimi: 360).

Dari apa yang telah kita jelaskan ini, maka kita mengetahui bahwa terjadi perbedaan hukum antara seorang mujtahid dengan seorang pengekor hawa nafsu, yang mengikuti ucapan seseorang tanpa hujjah. Seorang mujtahid bila keliru, tidak menyebabkan dia tercela, apalagi untuk dihajr dan dihukumi mubtadi’. Berbeda akan halnya seorang muqollid – yang mengikuti hawa nafsunya – dalam keadaan dia memiliki kemampuan untuk melihat permasalahan secara jernih, namun disebabkan karena hawa (nafsunya) yang lebih mendominasi, maka orang yang demikian ini sudah sepantasnya mendapat celaan. Apabila kita telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa apa yang disebutkan oleh Al-Akh Abdullah bin Taslim dalam makalahnya, ketika menjelaskan tentang perselisihan ulama dalam hal berhubungan dengan Yayasan Ihya At-Turots: “Kalau seandainya masalah ini menyebabkan seseorang dicela, maka mestinya para ulama yang membolehkan mengambil bantuan tersebut yang harus lebih dahulu dicela. Karena orang-orang yang mengambil bantuan tersebut menyandarkan hal ini kepada fatwa para ulama tersebut!”, demikian ucapan beliau (Jawaban dari pertanyaan Abah Umair, Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE) – artikel ID 338, alinea ke 7, baris ke 13).

Semestinya Al-Akh Abdullah bin Taslim –semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan kepada kita semua- mengetahui bahwa seorang alim, yang keliru dalam berijtihad tidak dapat disamakan dengan seorang yang mengikuti hawa nafsunya, lalu lebih memilih cara taqlid buta, tanpa peduli apa yang akan menjadi akibat dari perbuatannya tersebut. Seorang yang nikah mut’ah karena mengikuti hawa nafsunya, harus dicela walaupun dengan alasan dia mengikuti pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sebab telah sampai kepadanya hujjah dan hadits yang melarang hal tersebut. Dan ini tidak menyebabkan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma lebih berhak untuk dicela hanya karena beliaulah yang menfatwakannya. Seorang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah harus dicela dan ditahdzir saat telah sampai kepadanya ilmu tentang hal tersebut. Walaupun dia beralasan mengikuti perbuatan Aisyah radhiallahu anha, Tholhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam radhiallahu anhuma dalam peristiwa Perang Jamal. Atau beralasan mengikuti pendapat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma dalam Peristiwa Shiffin. Dan ini tidak menyebabkan mereka (para shahabat radhiallahu anhum) harus dicela dan ditahdzir, disebabkan karena kesalahan mereka tersebut dibangun di atas ijtihad. Dan masih banyak lagi perkara yang lain yang dapat diqiyaskan kepada apa yang telah kita sebutkan ini.

Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah Ta’ala: “Ketahuilah bahwa keumuman para pengikut madzhab, sangat besar keinginan dalam diri mereka untuk mau memeriksa dalil-dalil imam mereka, lalu mereka pun mengikuti pendapat imamnya. Maka seseorang sepantasnya untuk melihat kepada ucapannya, bukan kepada orang yang mengucapkannya. Sebagaimana yang diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu kepada Harits bin Abdullah Al-A’war, ketika ia (Harits) berkata kepadanya: “Apakah engkau menyangka bahwa Thalhah dan Zubair berada di atas kebatilan?”. Beliau menjawab: ”Wahai Harits, sesungguhnya tersamarkan olehmu (perkara ini). Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal dengan para tokoh, (namun) kenalilah kebenaran, niscaya engkau mengetahui pemiliknya.” (Qawa’id At-Tahdits: 357). Demikian pula tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan perbedaan antara kaum bughat (pemberontak) dengan kaum Khawarij, bahwa tidak setiap orang yang bughat disebut sebagai kaum Khawarij. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu membedakan antara kesalahan yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu anha bersama para shahabat yang lainnya – tatkala mereka menentang Ali radhiyallahu anhu karena menuntut darah Utsman radhiallahu anhu dari para pembunuhnya – dengan kaum Khawarij yang melakukan sikap penentangan dan pemberontakan terhadapnya. Silahkan lihat jawaban rinci dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah jilid: 35, hal: 54-57.

Sikap Ahlussunnah dalam menyikapi kesalahan seorang alim, antara sikap berlebihan ‘kaum Haddadiyyah’ dan sikap meremehkan ‘kaum Sururiyyah’. Kaum Haddadiyyah yang getol menyerang para ulama serta menyikapi kesalahan mereka, seperti penyimpangan yang dilakukan oleh para pengekor hawa nafsu. Haddadiyyah, nisbah kepada seorang asal Mesir yang bernama Mahmud Al-Haddad Al-Mishri, yang dahulu pernah tinggal di Madinah. Awal munculnya gerakan ini dimulai dengan mengkritik Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dalam majelis-majelisnya, lantas dia mengajak manusia untuk menghukuminya (kedua imam tersebut) sebagai seorang mubtadi’. Lalu kemudian berlanjut hingga mencela siapapun dari kalangan para ulama yang dianggapnya memiliki kesalahan –menurut persangkaannya- seperti Syaikh Bin Baaz rahimahullah, Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah, Syaikh Al-Luhaidan hafidhahullah, Syaikh Al-Albani rahimahullah dan yang lainnya. Bagi siapa yang ingin mengetahui, Syaikh Rabi’ hafidzahullah telah menyebutkan dalam tulisan beliau “Manhaj Al-Haddadiyyah” 12 poin dari pemikiran Al-Haddadiyyah, yang ringkasannya sebagai berikut:
  1. Kebenciannya terhadap para ulama Salafi di zaman sekarang, menisbahkan/mencap kesesatan pada mereka dan merendahkan kedudukan mereka.
  2. Menuduh mubtadi’ (ahli bid’ah) terhadap setiap orang yang jatuh ke dalam bid’ah.
  3. Menuduh mubtadi’ terhadap orang yang tidak mau mentabdi’ (mencap mubtadi) orang yang terjatuh ke dalam bid’ah.
  4. Mengharamkan untuk mendo’akan rahmat kepada ahli bid’ah.
  5. Mentabdi’ orang yang mendo’akan rahmat kepada ulama seperti Abu Hanifah, Asy-Syaukani.
  6. Permusuhan yang sengit terhadap Salafiyyin, walaupun terhadap orang yang telah bersungguh-sungguh dalam memerangi hizbiyyah dan kesesatannya.
  7. Bersikap berlebih-lebihan terhadap Mahmud Al-Haddad dan mengangkatnya sebagai seorang yang alim.
  8. Menodai kehormatan ulama Salafiyyin, baik yang di Madinah dan yang lainnya, serta menuduh mereka sebagai pendusta.
  9. Mereka punya kebiasaan melaknat, meremehkan, menteror sampai pada tingkatan mengancam untuk memukul Salafiyyin.
  10. Mereka melaknat secara ta’yin, hingga diantara mereka ada yang melaknat Abu Hanifah, bahkan mengkafirkannya.
  11. Bersifat sombong dan suka membangkang yang akhirnya menjurus kepada penolakan terhadap al-Haq.
  12. Mereka selalu menyandarkan ucapannya kepada Imam Ahmad, namun setelah dijelaskan sikap Imam Ahmad yang menyelisihi Al-Haddad, maka mereka pun menuduh dan mengingkari penisbatan tersebut kepada Imam Ahmad. Lalu Al-Haddad mengatakan: “… walaupun itu benar dari Imam Ahmad, maka kita tidak bertaqlid kepadanya.” (Lihat: Manhaj Al-Haddadiyyah, tulisan Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkhali).

Sebaliknya, kebalikan dari Al-Haddadiyyah, mereka yang disebut sebagai Sururiyyah. Kelompok ini berciri khas bersikap bermudah-mudahan dalam memberi gelar kepada orang yang dianggap tokohnya, berusaha membelanya dan menyelamatkannya dari berbagai tuduhan. Seperti Sayyid Quthb, Yusuf Al-Qaradhawi dan yang semisalnya dari para penyeru kesesatan. Walaupun seakan-akan mereka menghargai para ulama dan fatwanya, namun dari sisi lain mereka melakukan sindiran terhadap beberapa masyaikh Ahlus Sunnah di zaman sekarang. Ada yang menuduh sebagian ulama dengan tuduhan tidak mengerti fiqhul waqi’, ada yang menuduh sebagian mereka memiliki pemikiran Murji’ah, ada lagi yang menuduh bahwa Syaikh Rabi hafidzahullah Ta’ala diusir dari Madinah, sehingga keadaan Kota Madinah sudah semakin kondusif dengan kepergian beliau, atau ucapan yang semisalnya berupa tuduhan dan fitnah yang dilontarkan kepada para ulama Ahlus Sunnah. Insya Allah -bila ada waktu – pada edisi mendatang akan kita jabarkan sedikit tentang hal ini. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka berada pada sikap pertengahan, mereka mengakui bahwa para ulama bukanlah orang yang ma’shum – setinggi apapun kedudukan dan ilmu yang mereka miliki-. Namun kewajiban bagi seorang muslim adalah, memuliakan mereka, tidak melecehkan, ataupun merendahkan kedudukan mereka, apalagi sampai mencelanya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala: “Wajib atas kaum muslimin –setelah bersikap loyal terhadap Allah Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam – untuk bersikap loyal terhadap kaum mukminin, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, khususnya para Ulama – orang-orang yang telah menjadi pewaris para nabi – yang Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka memiliki kedudukan seperti bintang-bintang, (bintang) yang dijadikan sebagai pembimbing dalam kegelapan di darat dan lautan. Sungguh telah sepakat kaum muslimin atas hidayah dan pengetahuan mereka. Tatkala setiap umat–sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam-, meyakini maka ulama merekalah yang paling jahat. Berbeda dengan kaum muslimin, maka sesungguhnya Ulama mereka adalah orang-orang pilihan diantara mereka. Sebab mereka – para ulama – adalah para pengganti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam pada umatnya. Mereka berupaya menghidupkan apa yang telah mati dari Sunnahnya. Bersama merekalah al-Kitab ditegakkan dan dengan Al-Qur’anlah mereka tegak, bersama mereka al-Kitab dinyatakan dan dengan al-Kitab sajalah mereka menyatakan (sesuatu). Dan hendaklah diketahui bahwa tidak seorangpun dari kalangan para mam –yang diterima di kalangan umat dengan penerimaan secara umum- yang sengaja menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terhadap sesuatu dari sunnahnya, baik yang samar maupun yang jelas. Sesungguhnya mereka – para ulama – seluruhnya sepakat dengan kesepakatan yang meyakinkan atas wajibnya mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dan setiap orang dari manusia bisa diambil dan bisa ditolak kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Akan tetapi jika didapati ucapan salah seorang dari mereka, dimana telah datang hadits yang shahih menyelisihinya, maka harus diberi udzur (sebab) dia meninggalkan (hadits tersebut) (Raf’ul Malaam ‘an al-Aimmatil A’laam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: 8-9).

Dan beliau juga berkata: “Adapun para shiddiq, syuhada, orang-orang shalih, mereka bukan ma'shum (terpelihara dari kesalahan). Dan dalam hal dosa-dosa yang jelas. Adapun apa yang mereka berijtihad padanya, maka terkadang mereka benar dan terkadang pula mereka keliru. Maka jika mereka berijtihad lalu benar maka mereka mendapat dua pahala dan jika mereka berijtihad lalu keliru, maka mereka mendapat satu pahala atas ijtihadnya. Dan kesalahan mereka diampuni. Adapun orang yang sesat maka mereka menjadikan kesalahan dan dosa sebagai perkara yang menjadi keharusan antara keduanya“ (Majmu’ al-Fatawa: 35/69). Beliau juga berkata: “Sesungguhnya orang yang mulia yang di dalam Islam memiliki peranan yang baik dan pengaruh yang baik dan dia – di mata Islam dan pemeluknya – memiliki kedudukan yang tinggi. Terkadang ia memiliki kesalahan dan kekeliruan. Maka padanya diberi udzur, bahkan mendapat pahala, dan tidak boleh diikuti dalam hal itu, dengan tetapnya kedudukan dan harga dirinya dalam hati kaum mukminin” (al-Fatawa al-Kubra: 3/178). Berkata Imam Dzahabi rahimahullah Ta’ala tatkala menjelaskan biografi Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Yahya Al-Utsmani yang terjatuh ke dalam pemikiran Asy’ariyyah: “Dan kami cinta kepada Sunnah dan pemeluknya. Dan kami cinta kepada seorang alim atas apa yang dimilikinya dari sifat yang terpuji, namun kami tidak suka apa yang diperbuatnya dari perbuatan bid’ah dengan ta’wil yang ditolerir. Sesungguhnya yang dipandang adalah kebaikannya yang banyak.” (Siyar A’laam an-Nubalaa, biografi mufti Muhammad bin Ahmad bin Yahya: 20/45-46).

Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan tentang biografi Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullah Ta’ala: “Kalau sekiranya kita, setiap imam salah dalam ijtihadnya dalam beberapa perkara berupa kekeliruan yang diampuni, lalu kita menyikapinya, mentabdi’nya dan menghajrnya, maka tidak ada yang selamat bagi kita, tidak Ibnu Nashr, tidak pula Ibnu Mandah, dan tidak pula yang lebih besar dari keduanya. Dan Allah yang memberi hidayah kepada manusia kepada kebenaran, Dialah Dzat yang Maha Pengasih. Maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan kekerasan” (Siyaru A’laam an-Nubalaa’, biografi Muhammad bin Nashr Al-Marwazi: 14/40). Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan biografi Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah Ta’ala: “Dan kalau sekiranya setiap orang yang keliru dalam ijtihadnya, dengan keimanannya yang benar dan usahanya dalam mengikuti al-Haq, kita membuang (kebaikannya) dan mentabdi’nya, maka sedikit orang yang selamat dari para imam. Semoga Allah merahmati semuanya dengan anugerah dan kemuliaannya.” (As-Siyar, biografi Ibnu Khuzaimah: 14/376).

Dan beliau juga berkata, tatkala menjelaskan biografi Qotadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullah Ta’ala: “Semoga Allah memberi udzur kepada orang-orang yang semisalnya yang (amalannya) dicampuri dengan bid’ah, yang dia menginginkan untuk mengagungkan sang Pencipta, dan mensucikannya dan mengerahkan segala kemampuannya. Dan Allah adalah hakim yang Maha Adil, Pengasih terhadap para hamba-Nya. Dia tidak ditanya terhadap apa saja yang dilakukan-Nya. Seorang yang besar dari para imam – apabila banyak kebenarannya dan diketahui usahanya dalam mencari kebenaran, luas ilmunya, nampak kepandaiannya, diketahui keshalihan, sikap wara’ (kehati-hatiannya, red) dan ittiba’nya – maka diampuni kekeliruannya. Dan kita tidak menyesatkannya, lalu kita membuangnya dan lupa akan kebaikan-kebaikannya. Iya, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya dan kita mengharapkan taubat dari hal tersebut.” (As-Siyar: 5/271). Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala: “Diantara kaidah syariat dan hikmahnya pula, bahwa siapa yang banyak dan melimpah kebaikannya dan memiliki pengaruh yang nampak dalam Islam, maka sesungguhnya dia diberi udzur (dengan sesuatu yang tidak diberi udzur terhadap yang lainnya) dan dimaafkan baginya (sesuatu yang tidak dimaafkan bagi yang lainnya). Sesungguhnya kemaksiatan itu najis dan air apabila telah mencapai dua qullah, maka tidak terpengaruh dengan adanya najis tersebut, berbeda dengan dengan air yang sedikit, tidak mampu memikul sedikit pun najis (yang bercampur dengannya).” (Miftahu Dar as-Sa’adah: 1/218).

Demikian pula ketika Lajnah Daimah ditanya: “Apa pendirian kita dari para Ulama yang menta’wil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi, Ibnul Jauzi dan selain mereka. Apakah kita menganggapnya dari para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau bagaimana? Apakah kita mengatakan bahwa mereka keliru dalam penakwilan, ataukah mereka orang-orang yang sesat?” Maka Lajnah menjawab: “Pendirian kami dari Abu Bakar Al-Baqilani, Al-Baihaqi, Abul Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakaria An-Nawawi, Ibnu Hajar dan yang semisal mereka, dari orang-orang yang menta’wil sebagian sifat-sifat Allah Ta’ala, atau yang mentafwidh pada asal maknanya, – mereka menurut pandangan kami – termasuk pembesar ulama kaum muslimin yang Allah memberi manfaat kepada umat dengan ilmu mereka. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan terhadap apa yang telah ia berikan kepada kita. Dan mereka termasuk dari Ahlus Sunnah terhadap apa yang mereka mencocoki para Shahabat radhiallahu anhum dan para Imam Salaf – pada tiga kurun yang telah disaksikan oleh Rasulullah dengan kebaikan-. Dan bahwa mereka bersalah terhadap apa yang mereka ta’wil dari nash-nash sifat dan menyelisihi pendahulu umat ini dan para Imam Sunnah rahimahumullah. Sama saja apakah mereka menta’wil sifat Dzatiyyah dan sifat Fi’liyyah atau sebagiannya.” (Lajnah Daimah no 5082: 3/178. Al-Adillah Asy-Syar’iyyah, Abu Abdis Salaam Hasan bin Qasim: 156-157).

Lajnah juga ditanya: “Apakah kekufuran pada sifat-sifat Allah? Apakah ada perbedaan antara seorang alim dengan seorang pembangkang dan yang mentakwil dalam hal tersebut?” Mereka menjawab: “Pertama, kekufuran dalam sifat-sifat Allah adalah mengingkari apa yang telah diketahui sesuatu yang tsabit (benar) setelah disampaikan kepadanya (hujjah), atau mengingkarinya dengan cara merubahnya dari asalnya – tidak ada syubhat – yang dengannya orang itu diberi udzur. Kedua, barangsiapa yang menyelisihi kebenaran dalam hal itu dengan cara membangkang setelah adanya penjelasan dan penegakan hujjah, maka dia kafir dan tidak ada udzur. Dan barangsiapa yang menyelisihi hal tersebut dengan menta’wil karena adanya syubhat – yang seseorang diberi udzur dengannya-, maka dia keliru dan dia mendapat pahala atas ijtihadnya.” (Fatawa Lajnah Daimah no 9272: 1/128. Al-Adillah Asy-Syar’iyyah: 157).

Demikian pula Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Ta’ala tentang dua Hafidz yakni Ibnu Hajar dan An-Nawawi rahimahumallah. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya dua hafidz (An-Nawawi dan Ibnu Hajar), keduanya memiliki andil dari amalan yang shalih dan manfaat yang besar pada umat Islam, walaupun terjadi pada keduanya kesalahan dalam mentakwil sebagian nash-nash sifat. Sesungguhnya itu tertutupi dengan apa yang dimiliki keduanya dari berbagai keutamaan dan manfaat yang banyak. Dan kita tidak menyangka tentang (kesalahan) yang ada pada keduanya melainkan muncul dari sebab ijtihad, dan adanya sisi penta’wilan walaupun menurut pendapat keduanya. Dan aku berharap kepada Allah agar termasuk diantara kesalahan yang diampuni. Dan apa yang keduanya telah menyumbangkan kebaikan dan manfaat dari amalannya yang disyukuri. Pada keduanya (Al-Hafid Ibnu Hajar dan Imam Nawawi) diterapkan firman Allah: “Sesungguhnya kebaikan menghapuskan kesalahan” (QS. Hud: 114). Pandangan kami bahwa keduanya termasuk dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan yang menjadi saksi atas hal tersebut, usaha keduanya dalam mendukung sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Serta semangatnya untuk menjernihkan apa yang dinisbahkan kepada Sunnah dari berbagai kotoran, dan menetapkan secara teliti apa yang telah ditunjukkan atasnya dari hukum-hukum. Namun keduanya menyelisihi ayat-ayat sifat dan haditsnya, atau sebagiannya dari metode Ahlus Sunnah, berdasarkan ijtihad yang keduanya telah keliru padanya. Maka kita berharap agar Allah memberi ampunan padanya.” (Kitab Al-Ilmu, kumpulan Nashir bin Fahd: 212-223).

Berkata pula Syaikh Al-Fauzan hafidzahullah Ta’ala: “Siapa yang memiliki kesalahan dalam ijtihad yang dia menta’wil padanya, seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi dan apa yang kadang terjadi pada keduanya – dalam hal menta’wil sebagian sifat – maka tidak dihukumi dia sebagai ahli bid’ah. Namun dikatakan: yang terjadi pada keduanya adalah kesalahan yang diharapkan ampunan bagi keduanya, berdasarkan apa yang telah disumbangkannya berupa dukungan yang besar terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Maka keduanya adalah imam yang mulia, yang dipercaya di kalangan ahli ilmu.” (Al-Muntaqa: 2/181). Sungguh benar ucapan seorang penyair:

          Jika seorang tercinta melakukan satu dosa,
          kebaikannya datang dengan seribu syafa’at

Apabila kita telah memahami hal ini –semoga Allah senantiasa memberi rahmat dan anugerahnya kepada kita sekalian-, maka seorang muslim wajib untuk menghormati ulamanya, mengenal kedudukan yang mulia yang Allah berikan kepada mereka. (Akan tetapi) bukan berarti mengharuskan seseorang untuk meninggalkan nasehat bagi kaum muslimin, tatkala terlihat adanya penyimpangan, kesalahan harus (diluruskan), agar kaum muslimin tetap berjalan di atas agamanya yang lurus, dengan petunjuk dan bimbingan Allah Azza wa Jalla, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para ulama Salafus Shalih. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala: “Agama Islam dapat sempurna dengan dua perkara: Pertama, mengenal keutamaan para imam, hak-hak mereka, kedudukan mereka dan meninggalkan sesuatu yang mengantarkan celaan terhadap mereka. Kedua, nasehat bagi Allah Azza wa Jalla, kitab-Nya, rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin. Dan menjelaskan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla berupa penjelasan dan hidayah. Dan tidak ada pertentangan –insya Allah- antara dua poin tersebut bagi orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah Azza wa Jalla. Hanya saja yang merasa sempit dadanya salah satu dari dua orang: seorang yang jahil tentang kedudukan dan udzur yang diberikan kepada mereka dan seorang yang jahil tentang syari’at dan prinsip-prinsip dalam hukum (Islam).” (al-Fatawa al-Kubra: 3/177-178).

Ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti tentang hakikat dakwah Ahlus Sunnah, lalu melontarkan berbagai tuduhan kepada Ahlus Sunnah dengan gelar “Dakwah Haddadiyyah”, lalu mentahdzir kaum muslimin darinya. Namun sebaliknya mereka memberikan pujian kepada para pembela Ihya At-Turots, mentazkiyahnya, bahkan menggelarinya dengan gelar “Buku Emas”. Hal ini disebabkan karena orang yang menuduh tersebut tidak mengerti tentang prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sendiri. Semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya.


Minggu, 17 Maret 2013

Pembahasan Tentang Hadits Ahad

(sumber: www.salafy.or.id)

Pendapat Pertama

Khabarul ahad bisa dijadikan ilmu sepenuhnya dan tanpa ada pembatasan. Menurut pendapat pertama ini, bahwa khabarul ahad bisa dijadikan ilmu dan berlaku pada setiap riwayat yang dibawa oleh setiap rawi. Al Amidi (wafat 631 H) menjelaskan hal ini dan menisbahkan pendapat ini pada sebagian ulama dari kalangan Dhahiri dan Imam Ahmad Bin Hanbal (wafat 241 H) dalam satu dari dua riwayat yang dinisbahkan beliau berkenaan tentang hal ini (Buka Al Ihkam (I/234) karya Al Amidi, Al Burhan Fi Ushulil Fiqh (I/606) karya Abu Ma’ali Al Juwayni, dan At Taqrir Wat Tahbir (II/268) karya Ibnu Amirul Haj). Maka jawaban (bantahan) terhadap pendapat ini adalah, satu yang tidak dapat dibayangkan bila seseorang yang memiliki ‘aql akan menyetujui semua yang ia dengar, padahal kita tahu bahwa disana ada orang-orang yang pendusta, ada orang-orang yang pelupa, dan yang saling bertentangan satu sama lain pada apa yang mereka riwayatkan.


Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) berkata: ”Sejak tidak ada seorang pun dari kalangan ahlul ‘aql yang tidak berkata bahwa riwayat dari setiap rawi bisa dipakai sebagai ilmu (tanpa dipilah-pilah), maka banyak orang (ulama) yang telah mengerahkan diri-diri mereka untuk membantah pernyataan ini” (Al Muswaddah Fi Ushulil Fiqh hal. 244 karya Ibnu Taimiyah). Sedangkan dari kalangan madzhab Dhahiri, maka Imam mereka, yaitu Abu Muhammad Ibnu Hazm (wafat 456 H) telah dengan jelas menyatakan bahwa setiap riwayat dari rawi yang tsiqah, maka semuanya itu kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebenaran yang pasti, yang wajib diterapkan pada amal dan ilmu (Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam (I/14) karya Ibnu Hazm).


Sedangkan pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal, maka perkataan beliau dalam hal Al Jarh wat Ta’dil sudah sangat ma’ruf, bahwa beliau menolak khabar-khabar dari dhu’afa (rawi-rawi lemah), yang perkataannya dalam hal itu sangat banyak. Sedangkan pendapat Al Amidi, dan yang lainnya dari kalangan Ahlul Kalam dan Ushuliyyin, seperti yang telah dijelaskan, hanyalah membuat awan mendung dan menyebabkan kekhawatiran yang keliru tentang hal ini. Oleh karena itu, khabarul wahid akan dihukumi apakah dia itu benar atau salah tergantung pada penilaian terhadap rawi-rawinya itu sendiri. Hal itu bisa menjadi jelas bahwa dia (perawi) itu berbohong, bisa juga kelihatannya seperti bohong sehingga dalam menghukuminya menjadi tidak jelas, apakah riwayat itu shahih atau tidak. Di lain pihak, hal ini menjadi jelas bahwa riwayat ini benar walaupun tanpa harus menyatakannya dengan jelas, atau hal ini sungguh pasti benar yang tidak ada keraguan tentangnya. Semua itu tergantung pada bukti. Maka hal ini bukanlah menjadi alasan bahwa khabar-khabar dari setiap rawi bisa dijadikan ilmu (tanpa penelitian terlebih dahulu), seperti juga tidak diperbolehkannya untuk tidak membatasinya bahwa khabarul ahad bisa menjadi ilmu (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/359-360) oleh Ibnu Qayyim).


Pendapat Kedua


Khabarul ahad bisa dijadikan ilmu dengan disertai syarat-syarat. Menurut pendapat kedua, yaitu bahwa khabarul ahad bisa menjadi ilmu dengan disertai dengan syarat-syarat. Dan inilah yang benar. Syarat-syaratnya itu adalah khabarul ahad itu mempunyai qara’in. Qara’in adalah jamak dari qarinah, yaitu hal yang mengindikasikan apa yang diharapkan dan benar, terutama ditekankan pada hal yang dimaksud (At Ta’rifat hal. 183 karya Al Jurjani). Qarinah ini bisa menjadi sesuatu yang berhubungan dengan khabarnya, dan bisa juga pada rawinya, atau bisa juga pada keduanya. Dimasukkan juga dalam hal ini yaitu khabar mustafid, yang asalnya diriwayatkan oleh satu rawi yang kemudian diteruskan oleh banyak rawi-rawi lainnya, sehingga menjadi masyhur. Juga bisa dimasukkan dalam hal qarinah ini yaitu khabar yang diterima oleh ummat, atau yang diterima oleh ulama Ahlul Hadits, seperti apa-apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari atau Muslim dan yang selainnya. Dan bisa juga dimasukkan dalam qarinah ini, yaitu khabar dengan isnad yang mereka itu (perawi) adalah imamnya dalam hal ketelitian dan ingatan, contoh: Malik meriwayarkan dari Nafi’, Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar. Maka khabar seperti ini dan yang lainnya, bisa dijadikan sebagai ilmu menurut pendapat dari jumhur ulama Ahlul Hadits, Ahlul Ushul, Ahlul Kalam dan sebagian Fuqaha dari ummat ini, yang tidak ada ketidaksetujuan di antara mereka tentang hal ini (Raf’ul Malam ‘Anil A’imatil A’lam (hal. 63) karya Ibnu Taimiyah, Fathul Mughits (I/51) karya Al Hafidh As Sakhawi).


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: ”Untuk jenis kedua dari khabar, yaitu yang telah diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah dan yang lainnya, walaupun dalam matan dan maknanya bukanlah mutawatir (maksudnya adalah khabarul ahad), tetapi bila ummat telah menerimanya, beramal dengannya atau menyetujuinya, maka hal ini adalah merupakan ilmu yaqini seperti yang telah dipahami oleh ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Untuk kalangan salaf, maka tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini, begitu pun pula di kalangan khalaf, dan hal ini adalah merupakan madzhab dari para ulama yang berasal dari pengikut empat madzhab. Permasalahan ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab Malikiyyah, Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim dalam Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/372-373), dan Majmu’ul Fatawa VIII/41). Ibnu Qayyim meriwayatkan dari Ibnu Khawazimdad (seorang ulama Malikiyyah), dia menjelaskan bahwa khabarul ahad tidaklah diriwayatkan kecuali oleh satu atau dua orang, kemudian dia berkata: ”Dan melalui jenis khabar ini, al-ilmu dururi bisa dicapai, dan Malik telah secara tertulis menyatakan hal ini” (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/362-363) dan At Tamhid Lima Fil Muwatha’ Minal Ma’ni Wal Asanid (I/ karya Ibnu Abdil Bar, Al Ihkam (I/132) karya Ibnu Hazm).


Al Imam Asy Syaukani berkata dalam Irsyadul Fuhul hal. 48: ”Ibnu Khawazimdad telah meriwayatkannya dari Malik bin Anas, dan membahasnya secara panjang lebar.” Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852 H) berkata: ”Al Qadhi Abu Nashr ‘Abdul Wahhab Al Maliki menjelaskan dengan pasti bahwa riwayat itu shahih, yang berarti hal itu diterima (An Nukat I/373). Al Imam Asy Syafi’i (wafat 204 H) berkata: ”Jika rawi yang tsiqah meriwayatkan dari rawi yang tsiqah lainnya, maka hal itu dikembalikan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan hal ini adalah tsabit berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Al Umm VII/177). Ibnu Qayyim mengutip perkataan Imam Asy Syafi’i: ”Dan apa yang diriwayatkan oleh satu rawi ke satu rawi yang lainnya, kemudian kita tahu hal itu shahih bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, yaitu berdasarkan pada kebenaran ucapan rawi tersebut pada kita” (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/365-366).


Al Qadhi Abu Ya’ala (wafat 345 H) meriwayatkan dari Abu Bakr Al Marudhi yang berkata: ”Aku berkata pada Abu ‘Abdullah (yaitu Imam Ahmad) bahwa ada orang yang berkata bahwa khabarul ahad hanya diwajibkan pada amalan saja tapi tidak diwajibkan pada ilmu. Maka ia menolaknya dan berkata: ’Aku tidak tahu tentang hal (perkataan) ini’”. Abu Ya’la berkata: ”Apa yang telah nyata dari hal ini bahwa dia (Imam Ahmad) menyatakan bahwa khabarul ahad sama-sama diwajibkan pada ilmu dan amal” (At Taqyid wal ‘Iddah hal. 2). Imam Ahmad berkata mengenai hadits tentang Ar Ru’yah (melihat Allah di hari akhir): ”Kami beriman pada hal itu dan yaqin bahwa hal itu adalah benar”, Abu Ya’la berkata: ”Demikian apa yang beliau nyatakan dengan jelas bahwa hal itu (hadits ahad) bisa dijadikan ilmu. Dan apa yang nyata dari kalimat itu adalah perkataan dari sekelompok shahabat kita yang menyatakan bahwa khabarul wahid dalam hal syari’ah diwajibkan pula pada ilmu, dan hal ini, menurutku, adalah benar dari perkataan Imam Ahmad dan hal ini diwajibkan pada ilmu berdasarkan istid-lal, bukan berdasarkan pada dururah”.


Al Majd berkata: ”Dan ada riwayat dari Ahmad yang menunjukkan bahwa hal ini (khabarul ahad) bisa menjadi qath’iy jika shahih. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh shahabat kita”. Syihab berkata: ”Dan hal ini telah didukung oleh Al Qadhi Abu Ya’la dalam Al Kifayah”. Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata: ”Abu Sulaiman Daud Adh Dhahiri, Al Hasan bin ‘Ali Al Karabisi dan Al Harits bin ‘Asad Al Muhasibi dan yang lainnya telah menyatakan bahwa khabarul wahid yang diriwayatkan dari rawi yang tsiqah, maka hal itu dikembalikan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengharuskannya pada amalan dan ilmu. Dan ini adalah ucapan kami juga”. Abu Muhammad mendukung pendapat ini, membahasnya dengan panjang lebar dan membantah syubhat-syubhat yang berlawanan dengan apa yang dia pegang ini.


Abu ‘Amr Ibnush Shalah (wafat 643 H) menjelaskan dalam Muqaddimah-nya: ”Bahwa hadits yang Al-Bukhari dan Muslim bersetuju diatasnya, adalah qath’iy tsubut (pasti shahihnya) dan merupakan al-ilmul yaqini an-nadhari, hal ini adalah sebagai bantahan terhadap perkataan orang-orang yang menolak hadits ahad, yang mencari-cari pembuktian bahwa hal ini hanyalah dhan saja, dan kalaupun ummat menerima hal ini maka hal ini disebabkan karena mereka beramal berdasarkan pada dhan saja padahal dhan bisa saja salah. Aku dulunya berpegang pada pendapat ini dan berfikir inilah yang benar. Tapi kemudian ini menjadi nyata bagiku bahwa pendapat yang sebelumnya (tentang hadits yang disetujui oleh Al-Bukhari dan Muslim) adalah yang benar. Sebab dhan dari seseorang yang terlindungi dari kesalahan, tidak bisa disebut salah. Dan ijma’nya ummat terlindung dari kesalahan. Inilah yang benar dan bermanfaat. Dan pelajaran yang dapat diambil dari hal ini adalah khabar-khabar yang diriwayatkan sendiri oleh Al-Bukhari, sendiri oleh Muslim, maka jatuhnya hal itu pada pernyataan qath’iy. Sebab ummat telah menerima kedua kitabnya, kecuali untuk beberapa perkataan, yang para ulama telah berbicara (mengkritik) tentangnya oleh para Huffadh, seperti Ad Daraquthni dan yang lain-lain, yang sudah ma’ruf bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang (hadits) ini”.


Ibnu Taimiyah berkata (ketika menjelaskan pokok khabarul ahad yang bisa menjadi ilmu): ”Maka Abu ‘Amr Ibnush Shalah telah menjelaskan pada perkataannya yang pertama (bahwa hadits yang disetujui oleh Al-Bukhari dan Muslim bisa dijadikan ilmu) dan dia menyepakatinya dan menyatakan bahwa hal itu adalah benar. Namun, dia tidak mengetahui bahwa sebenarnya banyak orang yang berpegang dengan pendapat ini, dalam artian hal ini dikuatkan oleh mereka meskipun harus didasarkan pada keshahihan khabar yang diminta”. Oleh karena itu As Sakhawi (wafat 902 H) berkata dalam Fathul Mughits (I/51): ”Setelah dia (Ibnush Shalah) mendahului perkataan tentang khabar ahad maka perkataannya itu telah disetujui oleh jumhur, dari kalangan Muhadditsin, Ushuliyyin dan sebagian besar salaf. Kemudian hal yang sama telah dinyatakan juga oleh yang lainnya berdasarkan khabar-khabar yang terkandung dalam dua kitab shahih”.


Al ‘Iraqi (wafat 806 H) mengindikasikan bahwa sebenarnya Ibnush Shalah telah didahului mengenai khabarul ahad ini oleh Al Hafidh Abu Fadl Muhammad bin Thahir Al Maqdisi dan Abu Nashr ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Khaliq bin Yusuf, yang keduanya sama-sama berkata: ”Hadits ahad adalah qath’iy”. Abu ‘Amr Ibnush Shalah juga telah disepakati oleh sekelompok ulama setelah jamannya, seperti As Sakhawi, Syaikhul Islam Al Balqini dalam Al Mahasinul Istilah Wa Tadamin Kitab Ibnush Shalah (hal. 101), Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam An Nukat ‘Ala Ibnish Shalah (I/371), Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Ba’itsul Hatsits Syarh Ikhtishar Ulumil Hadits (hal. 37) dan Al Hafidh Jalaluddin As Suyuthi (wafat 911 H) dalam Tadribur Rawi (I/134).


Syaikh Ahmad Syakir berkata: ”Dan yang terbukti benar berdasarkan pada dasar yang shahih, yaitu apa yang dipegang oleh Ibnu Hazm dan yang lainnya yang sependapat dengannya, bahwa hadits yang shahih bisa menjadi ilmul qath’iy, baik yang ada pada dua kitab shahih atau lainnya. Ilmul yaqini ini adalah llmun nadhari burhani. Ilmu ini tidaklah diketahui, kecuali oleh para ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadits, yang mempunyai pengetahun yang banyak tentang kondisi dari para rawi dan kelemahan-kelemahannya” (Al Ba’itsul Hatsits hal. 39).


Bukti akan benarnya pendapat yang kedua ini sangatlah banyak, Alhamdulillah, hanya saja bukan disini tempatnya untuk menjelaskan semuanya. Diantara bukti atau dalil akan benarnya hal ini adalah:


1. Pembedaan antara khabar mutawatir dengan khabar ahad dengan tujuan supaya khabarul ahad tidak bisa dijadikan ilmu, adalah sesuatu hal yang baru, yang tidak pernah dicontohkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tidak diketahui dari kalangan shahabat atau tabi’in. Yang benar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang telah disetujui oleh ummat berdasarkan pada apa yang telah beliau sampaikan, tanpa ada atau perlunya hal itu telah diberitakan oleh jumlah mutawatir (Ar Risalah hal. 436 karya Imam Asy-Syafi’i). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mempercayai apa yang telah diberitakan oleh para shahabat pada beliau, begitu pun pula sebaliknya, para shahabat pun saling percaya satu sama lainnya berdasarkan pada apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada di kalangan mereka yang berkata: ”Khabarmu itu ahad, jadi tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali, sampai khabarmu itu menjadi mutawatir”. Memang di kalangan para shahabat pun kadang-kadang tidak langsung menerima khabar yang disampaikan dalam hal-hal tertentu sampai didukung oleh khabar dari shahabat lainnya, namun hal ini bukanlah merupakan dalil untuk menolak hadits ahad (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/361) karya Ibnu Qayyim). Begitu pun juga tabi’in, baik secara berkelompok maupun perorangan, yang bertemu dengan shahabat, mereka menimba ilmu dari shahabat dan mempercayainya, tanpa berfikir apakah itu mutawatir atau bukan. Begitu juga pada setiap imam atau ulama yang duduk dan mengajari murid-muridnya, para muridnya percaya pada apa yang dikatakannya, sedangkan mereka (para imam atau ulama bersendirian). Maka ucapan-ucapan yang menyatakan bahwa khabarul ahad tidak dapat dijadikan sebagai ilmu, maka hal itu akan menghancurkan baik masalah agama maupun dunia, dan hal ini akan mengoyak-ngoyak sampai hancur ijma’ para shahabat, tabi’in dan yang datang setelah mereka dari kalangan ahlul ilmi (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/362) dan Al Ihkam (I/150-151).


2. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengirim shahabat secara orang per orang kepada raja-raja dan penguasa untuk menyampaikan darinya firman Allah. Jika khabar dari para shahabat itu tidak bisa dijadikan sebagai ilmu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengirim mereka, dan hal ini adalah kesia-siaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlepas dari hal semacam itu.


3. Bahwa kaum muslimin pada waktu itu shalat fajr di Masjid Quba yang kemudian diberitahu oleh seseorang bahwa qiblahnya telah dirubah menjadi menghadap Ka’bah, dan mereka menerima pemberitahuan ini. Ini adalah merupakan bukti nyata walaupun pada sebelumnya mereka berada pada suatu yang qath’iy, namun mereka merubah qiblahnya kepada qiblahnya yang baru dalam rangka mentaati perintah Allah dan rasul-Nya (yang juga merupakan suatu yang qath’iy), walaupun hal ini diberitahukan oleh satu orang. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengecam hal itu, malah mereka dipuji oleh beliau karena perbuatannya itu (Ar Risalah hal. 406-408, Al Muswaddah hal. 247. Riwayat tentang qiblah ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari VIII/174).


Pendapat Ketiga


Khabarul ahad tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali. Menurut pendapat ketiga ini, yaitu hadits ahad tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali, walaupun disertai dengan qarinah ataupun tidak. Ini adalah pendapatnya sebagian dari kalangan Ahlul Kalam dan Ushuliyyin, seperti Abu Ma’alai Al Juwayni (wafat 478 H) dalam Al Burhan Fi Ushulil Fiqh (I/599), Al Ghazali (wafat 505 H) dalam Al Mustasfa (I/145), Abu Manshur Al Baghdadi (wafat 462 H) dalam Al Farqu Bainal Firaq (hal. 325-326) dan Ushuluddin (hal. 12), Al Baqilani (wafat 403 H) dalam At Tamhid Fi Radd ‘Alal Mulhidah Mu’athilah War Rafidhah Wal Khawarij Wal Mu’tazilah (hal. 164). Dan semua itu dinukil oleh Ibnul Hajib (wafat 555 H) dalam At Taqrir Wat Tahbir (II/268) dengan menyatakan bahwa hal itu adalah ijma’ dari jumhur ulama Ahlul Fiqh dan Ahlul Hadits. Dan pernyataannya ini perlu diuji kembali kebenarannya, berdasar pada apa yang telah dibahas sebelumnya (pendapat kedua) dan berdasarkan pada pembahasan yang akan datang, insya Allah.


Dan hal ini juga diriwayatkan atau dinukilkan satu dari dua perkataan yang dinisbahkan pada Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) yang diriwayatkan oleh Al ‘Atsram dalam Ma’ani’ul Atsar, dimana beliau (Imam Ahmad) berkata: ”Ketika datang khabar (yaitu khabar ahad) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan isnad yag shahih, yang didalamnya terkandung ahkam atau sesuatu yang diwajibkan, maka aku beramal padanya dan menjadikannya sebagai bagian dari dienku terhadap Allah. Tapi, aku tidak menyatakan kesaksian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan yang demikian” (Al Muswaddah hal. 241, Al ‘Iddah III/898 karya Abu Ya’la. Abu Ya’la berkata: ”Ini jelas bahwa beliau menyatakan ini (khabar ahad) bukan qath’iy”).


Juga dinisbahkan padanya bahwa beliau berkata: ”Dan kami tidak memberikan kesaksian tentang seseorang dari Ahlul Qiblah, yang dia berada di neraka dikarenakan dosa yang dia lakukan, maupun dosa besar yang menjadikan dia durhaka, bila didasarkan pada hadits seperti itu (hadits ahad), walaupun kami menyetujuinya dan mempunyai ilmu tentang hal itu, tapi kami tidak memberikan kesaksian. Begitu pun pula kami tidak memberikan kesaksian bahwa seseorang itu berada di surga berdasarkan pada amal shalihnya, ataupun karena kebaikan yang telah dia lakukan, kecuali berdasarkan pada khabar seperti itu (khabar ahad). Maka kami tetap menyatakan hal ini seperti yang diriwayatkan tapi kami tidak menetapkannya” (Al ‘Iddah III/899, Abu Ya’la berkata: ”Dan pengertian yang ada padaku, wallahu a’lam, bahwa beliau tidak mengatakan bahwa khabarul ahad itu adalah qath’iy).


Maka jawaban (bantahan) terhadap riwayat Al ‘Atsram itu ada beberapa hal:


1. Al ‘Atsram bersendirian dalam meriwayatkan khabar ini. Ini tidak ditemukan dalam kitabnya Al Masa’il, ataupun As Sunnah. Malah ini dinukilkan oleh Abu Ya’la yang menyatakan bahwa khabar ini dia temukan di kitab Ma’ani’ul Atsar (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah II/370).


2. Al ‘Atsram tidak menjelaskan bahwa dia mendengar secara langsung khabar ini dari Imam Ahmad, bisa saja yang dia dengar ini berasal dari seseorang yang telah salah dan keliru dalam meriwayatkannya, sebab tidak ada dari murid-muridnya Imam Ahmad dan shahabatnya yang meriwayatkan hal ini darinya (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah II/370-371).


3. Apa yang benar yang telah diriwayatkan dari Imam Ahmad adalah kebalikannya, seperti beliau menyatakan kesaksian akan hal-hal Al-‘Asyarah Al-Mubasyarah (sepuluh surga yang dijanjikan), padahal riwayat tentang hal itu adalah khabarul ahad (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah II/371). Persaksian Imam Ahmad tentang Al-‘Asyarah Al-Mubasyarah dapat ditemukan pada kitab Thabaqatul Hanabilah (I/289) oleh Ibnu Abi Ya’la.


4. Boleh jadi apa yang dinyatakan oleh Imam Ahmad itu dalam rangka kehatian-hatian. Hal ini sering beliau lakukan dalam menyatakan sesuatu apakah itu dilarang atau diwajibkan, dan beliau selalu berhati-hati dan menahan diri dari menggunakan istilah haram atau wajib. Maka beliau akan berkata “aku membencinya” atau “aku menganjurkannya” (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah II/371).


Ibnu Taimiyah mengomentari riwayat yang kedua yang dinisbahkan pada Imam Ahmad, beliau berkata: ”Kata ‘menetapkan’ adalah sudah ma’ruf. Pengertiannya adalah kita tidak bersaksi dengan berdasarkan pada keterangan orang (tanpa menyelidikinya). Kemudian, beliau (Imam Ahmad) juga berkata ‘kami telah mempunyai seperti yang diriwayatkan ini’, maka perkataannya ini adalah merupakan bukti bahwa hal itu bisa menjadi ilmu. Dan dari prinsip ini juga beliau bersaksi akan sepuluh surga yang dijanjikan itu berdasarkan pada khabar tentang hal itu, padahal riwayatnya adalah ahad. Kemudian beliau juga berkata ‘aku menyatakan kesaksian’ dan ‘aku telah mempunyai ilmu’, pengertiannya adalah satu dan sama saja, dan ini adalah bukti bahwa beliau mengatakan kesaksian berdasarkan pada khabar ahad” (Al Muswaddah Fi Ushulil Fiqh hal. 242).


Imamul Haramain Abu Ma’ali Al-Juwayni menjelaskan dalam Al-Irsyad (hal. 416-417), yang penjelasannya adalah kebalikan dari apa yang dia jelaskan di kitabnya yang lain, dia berkata: ”Dan setiap khabar yang tidak mencapai tingkatan mutawatir, maka hal itu tidak bisa dijadikan sebagai ilmu, kecuali kalau disertai dengan qarinah yang menyatakan kuatnya hal itu, sebagai contoh, hal itu didukung oleh dalil ‘aqli atau hal ini didukung oleh peristiwa ajaib (mu’jizat) yang menguatkan hal itu, dan demikian pula jika ummat menerima riwayat itu dan menjadikannya ijma’, maka kami tahu bahwa hal itu adalah benar adanya”. Maka perkataannya ini adalah kebalikan dari apa yang telah dijelaskan di kitab-kitabnya yang lain yang menjelaskan bahwa khabarul ahad tidak bisa dipakai sebagai ilmu sama sekali.


Dan Abu Manshur Al-Baghdadi menyatakan bahwa khabarul mustafid (yaitu riwayat yang minimal diriwayatkan oleh tiga rawi pada sanadnya) bisa dijadikan sebagai ilmu dan tidak ada keraguan bahwa khabar mustafid bukanlah khabar mutawatir, kemudian dia membagi alasan penerimaannya itu menjadi empat hal, diantaranya adalah “khabar wahid itu diterima oleh ummat”, kemudian dia berkata lagi “dan setiap amalan dan ilmu bisa memakai khabar mustafid” (Ushuluddin hal. 12-13).


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan setelah menjelaskan posisi dari jumhur ulama salaf dan khalaf tentang bisa dipakainya hadits ahad sebagai ilmu, dan menjelaskan yang pertama kali mengatakan hal itu adalah Ibnush Shalah, kemudian beliau berkata: ”Dan siapa saja yang keberatan akan hal ini, dari kalangan syaikh yang mempunyai ilmu dien, tapi tidak mempunyai ilmu yang cukup tentang hadits, kemudian mereka berfikir bahwa hal ini hanyalah perkataan Ibnush Shalah saja, dan tidak menganggapnya dari jumhur ulama. Maka mereka itu tidak mempunyai bukti akan perkataanya itu. Sebenarnya perkataan mereka itu hanyalah taqlid pada perkataannya Ibnul Hajib. Yang jika diurut ke atas lagi maka Ibnu Hajib ini mengikuti perkataannya Syaifuddin Al-Amidi (wafat 631 H) dan juga Ibnul Khaththab Abu ‘Abdullah Al-Fakhrurrazi (wafat 510 H). Dan bila lebih ke atas lagi, mereka itu mengikuti pendapatnya Al-Ghazzali (wafat 505 H), Al-Juwayni (wafat 478 H) dan Al Baqilani (wafat 403 H)” (Dinukil oleh Ibnu Qayyim dalam Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah II/373-374).


Dan diantara para ulama yang keberatan dengan perkataanya Ibnush Shalah dan menyangkalnya adalah Al-‘Izz bin Abdussalam (wafat 660 H) dalam Tadribur Rawi (I/132), Ibnu Burhan (wafat 518 H) dalam Muqaddimah Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi (I/20). Ibnu Burhan adalah Abul Fath Ahmad bin ‘Ali bin Burhan, dikenal dengan sebutan Ibnul Jami, seorang faqih dari Baghdad. Dia belajar fiqh pada Ibnu ‘Aqil dan ahli dalam Madzhab Ahmad, kemudian dia mengkritik Ibnu ‘Aqil pada beberapa masalah dan akhirnya ia beralih pada Madzhab Syafi’i, dan berhubungan erat dengan Al-Ghazzali dan Asy-Syasyi. Dia lahir pada tahun 479 H dan meninggal 518 H (Al Bidayah wan Nihayah XII/194 karya Ibnu Katsir, Al A’lam I/167 karya Az-Zarkali). Dan satu lagi yang menentang Ibnush Shalah adalah An Nawawi (wafat 676 H) yang berkata setelah menukil ucapannya Ibnush Shalah: ”Dan kebanyakan dari ulama muhaqiqqin yang utama telah berbeda pendapat dengan dia (Ibnush Shalah)” (At Taqrib I/132 karya An Nawawi, dan Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi I/20).


Al-Balqini berkata: ”Apa yang telah dikatakan oleh An-Nawawi dan Ibnu Abdissalam serta yang lainnya yang mengikuti mereka, maka perkataanya bukanlah suatu masalah” (Mahasinul Istilah hal. 101). Kemudian ia menukil ucapan Ibnu Taimiyah yang menjelaskan posisi dari kalangan Salaf dan Khalaf mengenai hal ini, dan dari mereka adalah ahlul hadits imamnya dari kalangan pengikut empat madzhab dan mayoritas ahlul kalam (Hal ini seperti yang ternukil di Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah II/373-374, An Nukat I/376-377, dan Al Ba’itsul Hatsits hal. 3).


Sumber: Manhajul Istid-lal ‘Ala Masa’ilil I’tiqad ‘Inda Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (1/115-129).


Selasa, 12 Maret 2013

Kesesatan Jamaah Tabligh

(oleh: Al-Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi, Lc dalam Majalah Asy Syariah)

Jamaah Tabligh tentu bukan nama yang asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih bagi mereka yang menggeluti dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding sebagai 'biang pemecah belah umat', membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan. Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya: ”Mas, Jamaah Tabligh, ya?” atau “Mas, karkun, ya?” Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung dihukumi sebagai Jamaah Tabligh. Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jamaah yang berkiblat ke India ini? Kajian kali ini adalah jawabannya.

Pendiri Jamaah Tabligh

Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang Sufi dari Tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut Madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin Al-Jisyti. Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).

Latar Belakang Berdirinya Jamaah Tabligh

Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah 'Abirah I’tibariyyah Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama'atut Tabligh Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal. 19). Merupakan suatu hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke makam Rasulullah (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 3).

Markas Jamaah Tabligh

Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14). Yang lebih mengenaskan, mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka, di mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah (Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh, karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri, hal. 12).

Asas dan Landasan Jamaah Tabligh

Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut:

Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 4). Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55). Adapun makna merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid: al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75).

Oleh karena itu, Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara 'keistimewaan' Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada Maturidiyyah mereka lebih dekat” (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah At-Tablighiyyah, hal. 46).

Sifat Kedua: Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri

Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 5- 6).

Sifat Ketiga: Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir

Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu. Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan ringkas).

Sifat Keempat: Menghormati Setiap Muslim

Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut 'alim rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8).

Sifat Kelima: Memperbaiki Niat

Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9).

Sifat Keenam: Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah Subhanahu wata'ala

Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen) bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, pen) yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9).

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7). Asy-Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, Syaikh mereka yang ada di Bangladesh (maksudnya India, pen) (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 6).

Aqidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya

Jamaah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah1. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah aqidah adalah2:

1. Keyakinan tentang wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini) (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).

2. Sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib (Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).

3. Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya mereka dalam hal ini (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).

4. Keyakinan bahwa para syaikh Sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).

5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara ghaib atau batin (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).

6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh telah membai’atnya di atas Tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).

7. Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat Tarekat Sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 12).

8. Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i (Fadhail A’mal, bab Fadhail Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).

9. Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jamaah (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).

10. Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal. 70).

11. Banyaknya cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.

Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah Tabligh

1. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku (Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu, yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan mereka maka tidak boleh”.

2. Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, pen), karena jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya, mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan mereka, dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka telah tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen), dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat Sufi yang padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.

3. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasanya organisasi ini (Jamaah Tabligh, pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu -insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.

4. Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah Sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka sedikit pun tidak mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada”.

5. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang Tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, pen)”. Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.


Jumat, 01 Maret 2013

Kesalahan-Kesalahan Rakyat Terhadap Pemerintah

(oleh: al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf dalam Majalah Asy Syariah)

Berikut ini beberapa keyakinan dan tindakan yang keliru terkait hubungan seorang muslim dengan pemerintahnya.

1. Sebagian orang mengatakan bahwa tidak ada ketaatan dan keharusan taat kepada pemerintah, dengan alasan hadits-hadits yang memuat tentang perintah mendengar dan taat hanyalah ditujukan kepada imam yang global dan kekuasaannya meliputi seluruh dunia atau yang biasa diistilahkan dengan khalifah yang satu. Tidak diragukan, pernyataan ini adalah pernyataan yang batil menyelisihi kesepakatan ahlul ilmi.  Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah telah menukil kesepakatan dari Ibnu Baththal rahimahullah, yang mengatakan, “Para fuqaha telah sepakat akan wajibnya taat kepada pemerintah yang berkuasa dan berperang bersamanya. Bahkan, ketaatan kepadanya jauh lebih baik daripada memberontak terhadapnya.” (Fathul Bari).

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Para ulama dari seluruh mazhab telah sepakat bahwa siapa saja yang berkuasa di sebuah negeri, maka statusnya dianggap sebagai imam dalam seluruh perkara. Jika tidak seperti ini, maka dunia tidak akan tegak karena manusia sejak zaman dahulu sebelum al-Imam Ahmad rahimahullah hingga hari ini, mereka tidak berkumpul di bawah satu imam. Tidak pernah diketahui ada seorang ulama yang menyebutkan sesuatu dari hukum yang menyatakan bahwa tidak sah kecuali dengan adanya imam terbesar.” (ad-Duraras-Sunniyyah fi Ajwibati an-Najdiyyah). Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah juga mengemukakan, “Seperti telah diketahui bahwa di setiap satu daerah/wilayah ada pemerintahnya. Demikian pula di daerah atau wilayah-wilayah lainnya. Tidak mengapa dengan berbilangnya pemerintahan, wajib bagi penduduk setiap daerah dan wilayah itu untuk memberikan ketaatan kepada pemerintahnya masing-masing setelah berbaiat kepadanya. Siapa yang mengingkari hal ini, dia pembohong. Dia tidak pantas diajak bicara dengan dalil, karena dia tidak dapat memahaminya” (as-Sailal-Jarrar). 

Adapun asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Umat Islam telah terpisah-pisah sejak zaman sahabat. Seperti yang telah diketahui, sahabat Abdullah bin Zubair di Makkah, yang lainnya ada di Syam, di Mesir, bahkan di Yaman, dan seterusnya. Kaum muslimin meyakini bahwa baiat diberikan kepada penguasa tempat mereka tinggal. Kemudian penguasa itu disebut amirul mukminin. Tak ada seorang pun yang mengingkari hal ini. Siapa yang mengingkarinya berarti hendak memecah belah kesatuan kaum muslimin dari sisi tidak komitmennya dengan baiat dan penyelisihannya dengan kesepakatan kaum muslimin sejak dahulu.” (al-Fatawaas-Syar’iyyah fial-Qadhaya al-’Ashriyyah). 


Pada kesempatan lain, beliau kembali mengatakan, “Sejak zaman dahulu, zaman para ulama, manusia sudah terpisah-pisah tempat tinggalnya menjadi beberapa bagian (wilayah/negara). Tiap-tiap bagian (wilayah/negara tersebut) ada pemerintahannya yang didengar dan ditaati dengan kesepakatan kaum muslimin. Tidak ada seorang pun yang mengatakan, tidak wajib taat, kecuali kepada pemimpin yang menyeluruh meliputi seluruh negeri kaum muslimin (satu khalifah). Tidak mungkin bagi siapa pun untuk mengatakan hal itu. Kalau sampai ada yang mengatakan demikian, berarti tidak akan ada pemimpin bagi kaum muslimin sekarang ini, dan semua manusia akan mati dalam keadaan mati jahiliah. Karena itu, pemimpin (pemerintah) ada di setiap tempat dan daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.” (Syarh Riyadhus Shalihin).

Kemudian beliau menegaskan kembali, “Imam adalah pemimpin tertinggi di sebuah negara, tidak disyaratkan dia menjadi pemimpin bagi seluruh kaum muslimin. Sebab, imam yang menyeluruh yang meliputi seluruh negeri kaum muslimin sudah tidak ada sejak dahulu. Para tokoh Islam tetap meyakini untuk memberikan loyalitas dan ketaatan kepada pihak yang menjadi pemimpin di wilayahnya, meskipun tidak memiliki pemerintahan yang umum (meliputi seluruh wilayah muslimin).” (asy-Syarhul Mumti’).

2. Ada sekelompok orang yang membuat sebuah komunitas (jamaah) kemudian setiap anggota jamaah tersebut dituntut untuk mendengar dan taat kepadanya (sebagai pimpinannya) atau setiap anggota jamaah memberikan baiat kepadanya untuk senantiasa taat dan mendengar. Sementara itu, pemerintah yang sah ada di tengah-tengah mereka. Dengan tindakannya tersebut, mereka memposisikan diri sebagai waliyyul amri yang memiliki kekuasaan dan pemerintahan. Ini adalah sebuah kesalahan besar dan dosa yang besar pula. Siapa yang melakukan ini berarti telah menentang Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya serta menyelisihi nash-nash yang syar’i. Karena itu, tidak wajib menaatinya, bahkan haram, sebab pada dasarnya yang bersangkutan tidak memiliki kekuasaan. Tidak pula pemerintahan sama sekali. Jadi atas dasar apa harus didengar dan ditaati layaknya pemerintahan yang telah tegak dan jelas?!

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang datang kepada kalian, sedangkan pengaturan urusan kalian ada di bawah seseorang yang menjadi pemimpin kalian, dan dia datang hendak memecah belah kesatuan kalian, penggallah lehernya.” (HR. Muslim). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada pemimpin-pemimpin yang sudah ada dan diketahui, yang mereka itu memiliki pemerintahan dan kekuasaan untuk mengatur urusan manusia. Bukan taat kepada yang tidak ada dan tidak diketahui. Bukan pula kepada yang tidak memiliki pemerintahan dan kekuasaan sama sekali.” (Majmu’ul Fatawa).

3. Adapula orang yang mengatakan tidak harus taat kepada peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah, seperti peraturan lalu lintas, keimigrasian, dan lain-lain. Alasannya, menurut mereka, peraturan-peraturan tersebut tidak ada landasan syar’inya sedangkan ketaatan kepada pemerintah hanyalah terkait dengan perkara-perkara yang syar’i saja, dalam hal yang mubah dan bersifat anjuran tidaklah wajib! Perkataan seperti ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh sedikitnya ilmu. Al-Allamah al-Mubarakfuri mengatakan, “Pemimpin, apabila memerintahkan kepada sesuatu yang mubah dan bersifat anjuran, wajib ditaati.” (Tuhfatul Ahwadzi). Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Ini adalah kebatilan dan kemungkaran. Yang benar adalah wajib mendengar dan taat dalam perkara-perkara yang tidak mengandung kemungkaran di dalamnya. Peraturan-peraturan itu ditetapkan pemerintah untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk itu, wajib tunduk, mendengar dan taat, karena termasuk dari perkara yang ma’ruf yang bermanfaat untuk kaum muslimin.” (Nashihah Muhimmah).

4. Anggapan bolehnya memberikan baiat kepada pemimpin organisasi di samping kepada pemerintah. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menegaskan, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk memberikan dua baiat, yaitu baiat kepada pemerintah setempat dan baiat kepada pemimpin organisasi yang diikutinya. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkait dengan perintah mengangkat pemimpin kepada tiga orang yang melakukan safar, tidaklah berarti bahwa mereka harus memberikan baiat kepada yang diangkat jadi pemimpinnya. Namun, maksudnya adalah hendaknya ada satu orang di antara mereka yang dapat menyatukan kalimat-kalimat mereka (membuat keputusan), sehingga mereka tidak berselisih. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pintu menuju perselisihan harus senantiasa ditutup dari segala arah.” (Transkrip ceramah berjudul Tha’atu Wulatil Umur).

5. Tidak berbaiat kepada pemerintah menjadi alasan untuk tidak mendengar dan taat. Inilah sikap tidak terpuji yang diperlihatkan oleh sebagian orang kepada pemerintah. Akibatnya, mereka tidak merasa bersalah ketika harus berseberangan dan menyelisihi aturan-aturan yang telah ditetapkan, sekalipun aturan-aturan tersebut menyangkut keagamaan. Sebaliknya, mereka lebih manut dan taat kepada pimpinan organisasinya atau “jamaah”-nya, karena merasa telah memberikan baiat kepadanya. Padahal semua itu hanyalah gambaran dari kebodohan dan omong kosong belaka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya perintahkan berupa taat kepada pemerintah dan menyampaikan nasihat kepadanya adalah wajib bagi setiap orang, meski tidak memberikan janji kepadanya dan memberikan sumpah setia (baiat) kepadanya.” (Majmu’ul Fatawa). Adapun asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Apabila kaum muslimin bersatu di bawah seorang pemimpin, maka wajib bagi semuanya untuk taat, walaupun secara individu tidak berbaiat kepadanya. Para sahabat dan kaum muslimin tidak semuanya berbaiat kepada sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Hanya yang berada di Madinah yang berbaiat dan tuntutan dari baiat tersebut berlaku untuk semua.” (Tha’atu Wulatil Umur).

6. Berdemonstrasi adalah termasuk wasilah dakwah dan upaya untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Tidak samar bagi siapa pun, demonstrasi di negeri ini menjadi budaya yang terus dihidupkan dan dikembangkan, seolah-olah ia menjadi senjata ampuh untuk keluar dari sebuah permasalahan. Siapa yang tidak ada keinginan untuk itu dicap sebagai pengecut dan tidak ada kemauan untuk memperbaiki keadaan. Lalu, benarkah demo menjadi solusi untuk bisa keluar dari kesulitan dan masalah? Kalau mau jujur, akibat yang ditimbulkan dari berdemonstrasi jauh lebih rusak dan mengerikan dibandingkan problem yang terjadi. Anda lihat, bagaimana aksi-aksi yang dilakukan para demonstran akhir-akhir ini, sungguh di luar kewajaran dan melampaui batasan, seperti aksi jahit mulut hingga aksi bunuh diri. Aksi-aksi ini akan terus berlangsung, bahkan bisa jadi semakin mengerikan. Nas’alullah as-salamah.

Siapa yang rugi? Apakah masalah selesai setelah itu? Justru masalah kian membesar dan akan bertambah. Kondisi seperti ini diperparah dengan adanya fatwa-fatwa dari pihak yang tidak bertanggung jawab dengan menyatakan bahwa demonstrasi adalah wasilah dakwah, bagian dari bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saya tidak melihat aksi demonstrasi dengan berjalan kaki atau longmarch sebagai solusi. Justru, saya melihatnya hanya sebagai sebab timbulnya fitnah dan kejelekan serta sebab tindakan zalim dan aniaya kepada sebagian pihak. Cara yang disyariatkan adalah mengirim surat, menyampaikan nasihat dan berdakwah kepada kebaikan dengan metode yang syar’i yang telah diuraikan oleh para ulama. Jadi, dengan mengirim tulisan (surat), berbicara langsung kepada pemimpin/ pemerintah, atau melalui telepon, dan menyampaikan nasihat. Tidak mengumbar kejelekan-kejelekan pemerintah di atas mimbar-mimbar. Wallahulmusta’an.” (Fatawa al-’Ulama al-Akabir).

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang wajib bagi kita adalah menasihati pemerintah sesuai kemampuan. Adapun aksi turun ke jalan dan melakukan protes secara terang-terangan, maka ini menyelisihi petunjuk para salaf, dan aksi-aksi tadi sama sekali tidak nyambung dengan syariat. Tidak pula dengan upaya perbaikan. Semua itu hanyalah kemudaratan. Tidak boleh mendukung aksi demonstrasi dan semisalnya, karena upaya perbaikan dapat dilakukan dengan selain itu.” (Fatawa al-Ulama al-Akabir). Di lain kesempatan, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menegaskan, “Penting kiranya untuk memahami manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah, jangan sampai kesalahan pemerintah dijadikan celah untuk memprovokasi manusia dan menjauhkannya dari pemerintah karena ini adalah kerusakan dan satu penyebab utama munculnya fitnah. Berpalingnya hati dari pemerintah akan mendatangkan fitnah, kejelekan, dan kekacauan. Begitu pun berpalingnya hati dari para ulama akan mendatangkan sikap meremehkan para ulama dan lebih jauhnya lagi meremehkan syariat. Maka, yang wajib adalah melihat apa yang telah ditempuh oleh para salaf dalam menghadapi pemerintahnya. Seseorang harus berhati-hati dan selalu melihat apa akibat yang akan timbul. Penting diketahui bahwa orang yang gemar melakukan provokasi pada hakikatnya sedang membantu musuh-musuh Islam. Yang jadi patokan bukanlah dengan provokasi, bukan pula dengan menampakkan emosi yang meluap-luap. Akan tetapi, patokannya adalah adanya hikmah, dan saya tidak memaksudkan kata hikmah berarti mendiamkan kesalahan, namun memperbaiki kesalahan agar hukum/keadaan menjadi lebih baik.” (Mu’amalatul Hukkam).