(oleh: al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi dalam Majalah Asy Syariah)
Poligami adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mempunyai istri lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Dalam Bahasa Arab, poligami disebut ta’addud az-zaujat. Bagi kaum pria, pembahasan tentang poligami acap kali menjadi bunga hati. Cobalah amati saat mereka bergumul membicarakan masalah yang satu ini. Bukankah mayoritas mereka mengikutinya dengan antusias? Seakan jiwa mereka terfitnah (baca: terfitrah) dengan poligami. Meskipun pada praktiknya, tidak semua pria siap menjalaninya.
Berbeda halnya dengan kaum wanita, khususnya para istri. Kata poligami tergolong sensitif bagi mereka. Bahkan untuk mendengarnya saja berat, apalagi dipoligami. Mungkin karena persepsi mereka bahwa poligami adalah monopoli kaum pria atau diskriminasi terhadap hak-hak kaum wanita. Tak heran, bila poligami sering dijadikan bahan curhat (curahan hati) di antara kaum hawa. Semakin runyam, manakala gerakan para ulama Islam terkemuka menyatakan bahwa di antara keindahan Islam dan perhatiannya yang besar terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan serta penanganannya terhadap berbagai problematika umat adalah adanya syariat poligami (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 21/248).
Emansipasi wanita dan hak asasi manusia mulai merebak di tengah umat. Akibatnya, berbagai syubhat (kerancuan berpikir) antipoligami pun menjadi konsumsi harian para istri. Karena itu, tak sedikit para istri yang dipoligami merasa jengkel dan tersulut emosi. Ibarat api dalam sekam. Baranya terus menjalar, perlahan namun pasti. Luapan kemarahan akhirnya menjadi solusi. Para suami dihujat dan digugat. Tak sedikit dari mereka yang tercemar nama baiknya bahkan terempas dari kedudukannya. Seakan telah melakukan dosa besar yang tak bisa diampuni lagi. Lain masalah ketika para suami itu berbuat serong, punya wanita idaman lain (WIL) yang tak halal baginya alias selingkuh. Reaksi sebagian istri justru tak sehebat ketika dipoligami.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang diam seribu bahasa. Yang penting tidak dimadu! Itulah sekira letupan hati mereka. Tak heran, bila di antara para suami “bermasalah” itu lebih memilih berbuat selingkuh daripada poligami. Bisa jadi karena pengalaman mereka bahwa selingkuh itu “lebih aman” daripada poligami. Sampai-sampai ada sebuah pelesetan, selingkuh itu “selingan indah keluarga utuh”. Padahal selingkuh itu menjijikkan. Selingkuh adalah zina. Selingkuh diharamkan dalam agama dan tak selaras dengan fitrah suci manusia. Demikianlah di antara ragam fakta unik yang terjadi dalam ranah sosial kemasyarakatan kita. Memang aneh, tapi nyata.
Sejarah Poligami
Menilik sejarahnya, poligami bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan umat manusia. Sejak dahulu kala umat manusia telah menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Bahkan, di antara mereka adalah para nabi dan rasul yang mulia. Cobalah ingat kembali sosok Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bukankah beliau berpoligami?! Dari Sarah istri beliau yang pertama, lahir Nabi Ishak ‘Alaihissalam yang menurunkan para nabi dan rasul di kalangan Bani Israil. Adapun dari Hajar istri beliau yang kedua, lahir pula Nabi Isma’il ’Alaihissalam yang menurunkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sepenggal kisah dari kehidupan mereka yang mulia telah diabadikan dalam beberapa surat dari al-Qur’an.
Demikian pula Nabi Dawud ’Alaihissalam dan Nabi Sulaiman ’Alaihissalam serta sejumlah nabi yang lain, mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Ketika orang-orang mulia dari kalangan nabi dan rasul telah menjalaninya, berarti poligami itu tidaklah tercela. Kalaulah poligami itu tercela dan berefek negatif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, pasti Allah Subhanahu wata’ala melarangnya. Para pembaca yang mulia, dari sejarah poligami di atas dapat diambil pelajaran berharga bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah rasul pertama yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Demikian pula agama Islam yang beliau bawa, bukan yang mengawali syariat poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Bedanya, syariat poligami yang terdapat dalam agama Islam tertata, adil, dan jauh dari perbuatan zalim. Pada zaman dahulu, jumlah istri dalam praktik poligami tidak dibatasi. Siapa saja boleh memperbanyak istri tanpa ada batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, jumlah itu dibatasi, maksimal empat orang istri saja. Pada zaman dahulu, orang bebas berpoligami sekehendak hatinya. Dengan hanya modal semangat pun bisa. Setelah kedatangan Islam, orang yang berpoligami tidak cukup hanya dengan modal semangat, tapi juga harus dengan pertimbangan yang matang. Bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja. Pada zaman dahulu, amalan poligami dijalani berdasarkan “kebijakan” suami. Setelah kedatangan Islam, amalan poligami harus dijalani berdasarkan aturan syariat. Yaitu, dengan menegakkan prinsip keadilan dan kehati-hatian terkait dengan hak para istri dalam hal: nafkah, tempat tinggal, waktu menginap (giliran bermalam), dan kewajiban lainnya.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi telah berpoligami dengan sembilan orang istri. Allah Subhanahu wata’ala menjadikan mereka bermanfaat bagi umat. Melalui merekalah sejumlah ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia, dan budi pekerti luhur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (terutama saat berada di tengah-tengah keluarganya, pen.) dapat tersampaikan kepada umat. Nabi Dawud ’Alaihissalam dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam juga telah berpoligami dengan para istri yang banyak jumlahnya dengan seizin Allah Subhanahu wata’ala. Demikian pula tidak sedikit dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi setelah mereka yang berpoligami. Sungguh, amalan poligami ini telah dijalani oleh umat terdahulu yang telah mencapai kemajuannya, sebagaimana pula telah dijalani oleh Bangsa Arab jahiliah sebelum Islam. Datanglah Islam dengan memberikan berbagai batasan padanya dan menentukan jumlah maksimal untuk umat Islam dengan empat orang istri, sedangkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dibolehkan lebih dari empat orang istri sebagai kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam karena hikmah, rahasia, dan maslahat di balik itu semua.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 21/239).
Ada Apa dengan Poligami?
Poligami tergolong topik yang kontroversial di tengah umat. Tarik ulur bahkan perdebatan sengit sering terjadi seputarnya. Setiap pihak berbicara sesuai dengan strata/tingkatannya. Mulai kelas bawah yang “kampungan”, seperti “satu istri saja nggak habis, apalagi banyak.” Yang lain menimpali, “satu istri saja enak, apalagi banyak.” Hingga kelas atas yang pembicaraannya bernuansa ilmiah, seperti poligami itu syariat ilahi yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Dan jika kalian takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’: 3). Rasulullah selaku teladan terbaik umat manusia, menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami, sebagaimana yang dikisahkan dalam sirahnya. Demikian pula para sahabat beliau yang mulia, tidak sedikit dari mereka yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami, sebagaimana dalam kitab-kitab tarikh. Ini semua sebagai bukti bahwa poligami merupakan bagian dari syariat Islam yang mulia.
Yang lain menimpali, “memang benar poligami itu syariat ilahi, tapi ngono yo ngono ning ojo ngono (gitu ya gitu tapi jangan gitu).” Artinya, walaupun poligami itu termasuk dari syariat Islam yang mulia, tetapi perasaan kaum wanita juga harus diperhatikan. Lebih dari itu, banyak rumah tangga yang berantakan karena poligami! Perceraian tak dapat dihindari, anak-anak pun hidup tak menentu. Wallahul musta’an. Para pembaca sekalian, semoga hidayah dan taufik Allah Subhanahu wata’ala selalu mengiringi kita, tak dimungkiri bahwa pandangan dan pembicaraan tentang poligami sangat beragam di tengah umat ini. Namun, ada kaidah penting yang harus diperhatikan oleh setiap insan yang beriman dalam menyikapi berbagai permasalahan hidup, termasuk poligami. Yaitu, menerima segala syariat dan ketetapan yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lapang dada dan berbaik sangka kepada syariat-Nya, tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati.
Atas dasar itu, setiap mukmin dan mukminah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keimanan tidak boleh menolak syariat dan ketetapan yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’alal dan Rasul-Nya. Tidak boleh pula mendahulukan perasaan, logika, ataupun hawa nafsu atas segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Itulah di antara konsekuensi keimanan yang harus selalu dipegang erat-erat oleh setiap insan yang beriman. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36).
Dengan menerima segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya akan terwujud kehidupan yang berbahagia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala, “Hai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (al- Anfal: 24). Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratul Basyar Ilaiha mengatakan, “Maka Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sikap menyambut seruan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan sikap enggan menyambut seruan tersebut sebagai kematian. Sehingga jelaslah bahwa syariat Islam merupakan kehidupan bagi umat dan pangkal kebahagiaan mereka. Sungguh tidak ada kehidupan dan kebahagiaan bagi mereka tanpa itu semua.”
Sungguh berbeda kondisi orang-orang yang Allah Subhanahu wata’ala lapangkan dadanya untuk menerima agama Islam dengan segala syariat dan ketetapannya, dengan orang-orang yang telah membatu hatinya dan berkesumat benci terhadapnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Maka apakah orang-orang yang Allah lapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22). Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Apakah sama orang yang Allah Subhanahu wata’ala lapangkan dadanya untuk menyambut agama Islam, siap menerima dan menjalankan segala hukum syariat yang dikandungnya dengan penuh kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah makna firman Allah Subhanahu wata’ala, ‘ia mendapat cahaya dari Rabbnya’), sama dengan selainnya?! Yaitu orang-orang yang membatu hatinya terhadap Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala, dan berat hatinya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, kondisinya selalu berpaling dari ibadah kepada Rabbnya dan mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Subhanahu wata’ala. Merekalah orang-orang yang ditimpa kecelakaan dan kejelekan yang besar.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 668).
Para pembaca yang mulia, bila kita perhatikan dengan saksama, sungguh ketetapan tentang poligami yang sedang dipermasalahkan itu telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketetapan tentang poligami dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3. Demikian pula dalam as-Sunnah, ketetapan tentang poligami dijelaskan dengan praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga beliau dan sejumlah hadits yang berisi aturan penting bagi siapa saja yang menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami. Dari sini terkandung pelajaran berharga bahwa poligami tidak lain adalah syariat ilahi yang ditetapkan dalam kitab suci al-Qur’an dan as- Sunnah. Setiap muslim dan muslimah harus membenarkan syariat tersebut dan menerimanya dengan lapang dada tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati. Terlepas apakah ada kemampuan untuk menjalaninya ataukah tidak. Mengingat, poligami itu sendiri hukum asalnya adalah sunnah atau mubah, bukan wajib.
Bahkan, bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja, sebagaimana yang dibimbingkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas. Adapun kasus-kasus kelabu seputar poligami: keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana, maka itu bukan karena syariat poligaminya. Penyebab utamanya adalah oknum yang menjalani poligami tersebut. Sama halnya dengan kasus-kasus kelabu seputar pernikahan yang tidak poligami atau perselingkuhan suami/istri: keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana. Penyebab utamanya adalah oknum yang bersangkutan, bukan syariat pernikahannya. Maka dari itu, pernikahan baik dengan poligami maupun tidak poligami tetaplah sebagai syariat ilahi yang mulia. Yang mencemarkannya adalah para oknum yang menjalaninya. Wallahul musta’an.
Di Balik Syariat Poligami
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya di balik syariat poligami terdapat hikmah yang sangat besar dalam ranah sosial kemasyarakatan. Diantara hikmah tersebut adalah:
1. Poligami adalah sebab terbesar populasi umat Islam.
Dengan jumlah yang besar, umat Islam akan disegani oleh musuh-musuhnya. Lebih-lebih jika mereka berpegang teguh dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta bimbingan para sahabat yang mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senang dan bangga bila umat Islam banyak jumlahnya, sebagaimana dalam sabda beliau, “Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak keturunan (subur), karena aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian terhadap umat selain kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dan an- Nasa’i no. 3227. Asy-Syaikh al-Albani menilainya hasan sahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 1789, Shahih Sunan an-Nasa’i no. 3227, dan al- Irwa’ no. 1784).
2. Seorang istri dalam kehidupan rumah tangga pasti mengalami sakit.
Setiap bulannya secara normal mengalami haid, bahkan terkadang mengalami nifas di hari-hari melahirkan. Masih tersisa berbagai kondisi yang menjadi penghalang baginya untuk melayani kebutuhan biologis suaminya. Padahal lelaki (suami) selalu berhasrat dan siap untuk memperbanyak keturunan sebagaimana yang dihasung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas. Jika istrinya hanya satu orang, maka mau tidak mau harus menyesuaikan sang istri dalam segala kondisinya. Dengan demikian, dia terhalang untuk sementara waktu dari maslahat memperbanyak keturunan. Berbeda halnya jika mempunyai istri lebih dari satu. Maslahat itu akan tetap didapat dari istrinya yang lain.
3. Di antara para istri ada yang tak dikaruniai anak karena mandul atau yang lainnya, padahal kehidupan rumah tangganya tergolong harmonis.
Ketika sang suami berkeinginan untuk mempunyai anak lalu menikah dengan wanita yang lain, maka termasuk sikap bijak mempertahankan istri pertama dengan dipoligami dan tidak menceraikannya.
4. Di antara para istri ada yang menderita sakit berat yang menahun, seperti stroke dan sejenisnya, sehingga tidak mampu memenuhi mayoritas hak suami.
Termasuk sikap bijak dari sang suami, bersabar dengan kondisi istrinya yang sakit tersebut dan tidak menceraikannya. Sebagai solusinya adalah poligami. Dengan poligami, kebutuhan vital rumah tangganya dapat terpenuhi, dalam hal ini dengan adanya istri yang kedua. Di sisi lain, istri yang pertama tetap mendapatkan perhatian dan tidak terabaikan begitu saja.
5. Di antara ketetapan Allah (sunnatullah) di muka bumi ini bahwa jumlah kaum lelaki lebih sedikit dibandingkan jumlah kaum wanita.
Lebih dari itu, jenis akivitas kaum lelaki secara umum lebih berisiko daripada aktivitas kaum wanita. Dengan itu, jumlah mereka bisa semakin berkurang. Jika seorang lelaki dibatasi hanya satu orang istri, akan didapati banyak wanita yang hidup tanpa suami. Hal ini pun akan menjadi problem tersendiri bila mereka tak kuasa menjaga kesucian dirinya. Hubungan gelap, selingkuh, dan praktik asusila lainnya pun sebagai jalan pintasnya. Kehormatannya dijual dengan kenistaan, bahkan diberikan begitu saja kepada orang yang tak berhak mendapatkannya. Wallahul musta’an.
6. Secara umum, kaum wanita lebih siap menikah dibandingkan kaum lelaki.
Bisa jadi, karena beban seorang istri tak seberat beban suami, terkhusus dalam hal tanggung jawab pembinaan dan nafkah keluarga. Karena itu, tak sedikit dari kaum lelaki yang “takut” menikah. Sebabnya pun beragam, termasuk faktor finansial. Dari sini dapat diketahui bahwa jumlah kaum lelaki yang siap menikah jauh lebih sedikit dibandingkan kaum wanita. Oleh karena itu, jika seorang lelaki yang siap menikah dibatasi hanya satu orang istri saja, akan tersia-siakan nasib kaum wanita yang sudah siap menikah itu. Akibatnya, mereka akan hidup tanpa suami dan rawan menjadi sebab “kotornya” lingkungan.
7. Bersih lingkungan dari praktik asusila (zina) adalah harapan bersama dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Di antara solusi terbaik untuk menjaga kebersihan lingkungan tersebut adalah syariat poligami. Dengan poligami, akan tersalurkan kebutuhan masing-masing pihak secara halal dan terhormat. Dengan poligami pula, akan terjalin hubungan rumah tangga yang sah dan menjadi sebab terjaganya nasab keturunan.
8. Umat Islam membutuhkan kader yang sangat banyak untuk mengemban misi dakwah Islam yang mulia.
Di antara sistem pengkaderan yang alami dan efektif adalah dengan berpoligami. Terkhusus bagi orang-orang saleh, ulama, dan para tokoh muslim. Anak cucu mereka yang sekaligus sebagai para kader itu biidznillah akan banyak berperan dalam menopang perjuangan Islam. Semakin banyak jumlah mereka, tentu semakin diharapkan oleh umat. Jika orang-orang saleh, ulama, dan para tokoh muslim itu dibatasi menikah dengan satu orang istri saja, berjalannya kaderisasi di tengah umat ini kurang efektif. Berapa banyak kader mulia yang muncul dari keluarga yang berpoligami?! Masih ingatkah Nabi Ishak dan Nabi Ismail serta para nabi keturunan mereka? Bukankah mereka muncul dari keluarga yang berpoligami?
9. Syariat poligami dapat menjadi sebab terjalinnya hubungan kekerabatan dengan banyak pihak.
Dengan itu, akan diraih kemaslahatan yang besar. Adapun anggapan bahwa poligami adalah penyebab permusuhan dan kekacauan di tengah keluarga, maka tidak bisa dibenarkan secara mutlak. Sebab, permusuhan dan kekacauan di tengah keluarga itu bisa terjadi kapan saja: antara orang tua dan anaknya, menantu dan mertuanya, kakak dan adiknya, bahkan antara suami dan istrinya yang hanya satu orang saja. Jadi, jika dalam kehidupan berpoligami muncul permusuhan dan kekacauan di tengah keluarga, hal itu tergolong lumrah dan efeknya lebih kecil dibandingkan hikmah yang besar di balik syariat poligami yang menjaga kehormatan kaum wanita, memudahkan proses pernikahan untuk mereka semua, dan memperbanyak populasi umat Islam yang dapat menggentarkan musuh-musuh Islam (Disarikan dari Adhwaul Bayan karya asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi 3/22—23 dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta’ seri 1, 19/175—178 fatwa no. 3166, dengan beberapa tambahan).
Para pembaca yang mulia, dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan penting, di antaranya:
• Amalan poligami adalah syariat ilahi, sehingga setiap muslim dan muslimah harus menerimanya dengan lapang dada tanpa ada ganjalan sedikit pun di hati.
• Nabi Muhammad bukanlah rasul pertama yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan poligami. Demikian pula agama Islam yang beliau bawa, bukan yang mengawali syariat poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan.
• Syariat poligami dalam agama Islam tertata, adil, dan jauh dari perbuatan zalim. Oleh karena itu, apabila seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu orang istri saja, sebagaimana yang dibimbingkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3.
• Di balik syariat poligami terdapat hikmah yang sangat besar dalam ranah sosial kemasyarakatan. Dengan poligami, berbagai permasalahan umat terkhusus problem rumah tangga dapat dipecahkan. Akhir kata, demikianlah selayang pandang tentang poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin, ya Rabbal Alamin…