Selasa, 26 Februari 2013

Kerancuan Seputar Hukum Selain Dengan Hukum Allah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi Al-Atsari dalam Majalah Asy Syariah)

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44).

Penjelasan mufradat ayat

Asal makna kufur adalah menutupi sesuatu. Dikatakan petani itu 'kafir' karena menutupi biji (dengan tanah). Dan dinamakan malam dengan 'kafir' karena ia menutupi segala sesuatu (dengan kegelapan). Pengertian kufur secara bahasa ini seperti yang terdapat dalam Surat Al-Hadid ayat 20. Adapun makna secara istilah syar'i adalah bahwa kekafiran itu terbagi menjadi dua, yaitu: 
  1. Kufur Akbar yaitu yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.
  2. Kufur Ashgar yaitu kekafiran yang menyebabkan pelakunya berhak mendapatkan ancaman tanpa dikekalkan (dalam neraka) (Al-Qaulul Mufid, hal. 103).
Sebab Turunnya Ayat

Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini: Allah menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha. Mereka berdamai (mengikat perjanjian) dengan ketentuan bahwa bila ada orang dari kelompok yang mulia membunuh (seseorang) dari kelompok yang hina maka (dia) diharuskan membayar diyat sebesar 50 wasq (1 wasq kurang lebih 130 kg, pen). Sementara bila ada orang dari kelompok yang hina membunuh (seseorang) dari kelompok yang mulia maka diyat-nya sebesar 100 wasq.

Mereka tetap memegangi hukum (perjanjian) ini sampai Rasulullah tiba di Madinah. Kedua kelompok tersebut merasa hina dengan kedatangan Rasulullah (padahal) beliau belum mengetahui di saat (mereka) melakukan perjanjian damai. (Suatu ketika) ada orang dari kelompok yang hina membunuh seseorang dari kelompok yang mulia. Maka kelompok yang mulia mengirim utusan kepada kelompok hina agar mereka membayar 100 wisq. Berkata yang hina: “Beginikah cara dua kampung yang agamanya satu, nasab keturunannya satu, negerinya satu? Sedangkan diyat sebagian mereka setengah diyat sebagian yang lain?! Sesungguhnya kami hanya memberikan kamu (jumlah diyat tersebut) karena penganiayaan kalian terhadap kami dan kami takut terhadap kalian. Adapun jika Muhammad telah datang, maka kami tidak memberikan ini kepada kalian.” (Sikap kelompok yang hina ini) hampir menyebabkan peperangan berkobar di antara mereka. Kemudian mereka memutuskan untuk menjadikan Rasulullah (sebagai hakim) di antara mereka.

Kelompok yang mulia (di antara mereka) berkata: “Demi Allah, Muhammad tidak akan memberikan kepada kalian dari mereka (kelompok hina) dua kali lipat dari apa yang diberikan mereka kepada kalian (selama ini). Sungguh mereka telah benar, mereka tidaklah memberikan kepada kita (diyat tersebut) melainkan karena penganiayaan kita dan kekuasaan kita atas mereka. Maka hendaklah kalian menyelidiki Muhammad untuk mengecek pendapatnya. Jika dia memberikan kepada kalian apa yang kalian inginkan maka kalian boleh mengangkatnya jadi hakim. Dan jika dia tidak memberikan kepadamu, maka kalian waspada dan jangan kalian jadikan dia sebagai hakim.” Maka mereka pun menyusupkan beberapa orang dari kalangan munafiqin kepada Rasulullah untuk mengecek pendapat Rasulullah. Ketika Rasulullah datang, Allah mengabarkan Rasul-Nya tentang seluruh perkara mereka dan apa yang mereka kehendaki. Allahpun menurunkan firman-Nya: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44). Ibnu ‘Abbas berkata: “Demi Allah, untuk mereka turun ayat ini dan mereka yang dimaksud oleh Allah.” (Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Ash-Shahihah, 6/109-110).

Penafsiran Ayat

Ayat Allah yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan shahabat Rasulullah yaitu Abdullah bin ‘Abbas. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Dengan perbuatan itu adalah kekafiran, namun bukan kafir terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya.” Dalam riwayat lain beliau berkata: “Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran yang mereka inginkan. Sesungguhnya maksud (ayat ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran, yaitu tidak mengeluarkan dari Islam).” (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan berkata: sanadnya shahih, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Terdapat jalan lain, silakan lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah karangan Al-’Allamah Al-Albani, 6/113-114).

Berhukum dengan Selain Hukum Allah

Telah menyebar di kalangan sebagian kaum muslimin dan orang-orang yang terkena penyakit kelompok Hamas (yaitu semangat tapi tanpa ilmu), suatu fikrah (pemikiran) bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Dengan alasan ini, mereka berkesimpulan bahwa mayoritas bahkan seluruh pemerintahan di negara-negara Islam adalah pemerintahan kafir. Dengan demikian para pejabatnya pun kafir, orang-orang (dalam hal ini rakyat) yang tidak turut mengkafirkan mereka pun kafir. Muncullah fitnah yang disebut dengan fitnah at-takfir (fitnah pengkafiran) yang sampai kepada tingkat pengkafiran masyarakat muslim. Kelompok ini yang masyhur sebagai kelompok Khawarij.

Terjerumusnya mereka ke dalam kesesatan ini disebabkan oleh dua hal: Pertama, sedikitnya ilmu. Kedua, mereka tidak memahami kaidah-kaidah syariat yang benar yang merupakan asas dakwah Islam. Setiap orang dari kalangan kelompok sesat, yang keluar dari asas tersebut maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman: “Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah ia kuasai itu. Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115).

Allah memberikan penekanan yang sangat tegas dengan firman-Nya: “Mengikuti selain jalan kaum mukminin.” Kalimat ini merupakan poin yang sangat penting untuk membedakan antara orang-orang yang benar-benar memiliki komitmen terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Yaitu mereka yang senantiasa mengikuti jalan kaum mukminin dari kalangan para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang mengikutinya dengan baik, dengan kelompok yang “mengaku” berpegang di atas Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka menyelisihi jalan kaum mukminin tersebut. Orang-orang demikian mendapat ancaman kesesatan dan siksaan yang pedih. Ayat ini menjadi pemisah antara golongan yang jujur dengan kelompok sempalan yang menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah hanya sebagai slogan semata. Kandungan ayat tersebut sangat mirip dengan apa yang disabdakan Rasulullah dalam hadits tentang perpecahan umat dan yang selamat hanya satu yaitu “Siapa yang berjalan di atas jalanku dan jalan para shahabatku.” (lihat perkataan Al-’Allamah Al-Albani dalam kitab Fitnatut Takfir, hal. 14-18).

Jika mereka memperhatikan dengan seksama penafsiran dari Ibnu ‘Abbas  yang lalu, akan nampak bagi mereka bahwa sesungguhnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tidaklah memiliki makna kafir secara mutlak yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun tergantung dari keadaan mereka ketika menjadikannya sebagai hukum selain dari hukum Allah tersebut. Apakah mereka melakukan hal tersebut karena menganggap halal berhukum dengan selain hukum Allah atau disebabkan karena mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka?!

Fatwa Ulama tentang Berhukum dengan selain Hukum Allah

Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan: “Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh menerapkan ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia. Saya berkata: tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Sebab walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah).”

Beliau berkata pula: “Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i’tiqadi dan amali. Adapun i’tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani. Barangsiapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i’tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya. Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafirannya adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni.” (lihat Silsilah Ash-Shahihah karya Al-’Allamah Al-Albani, 6/111-112).

Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkan atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Di antara mereka adalah orang-orang yang berperan dalam pembuatan undang-undang yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai sistem yang dianut masyarakat. Sebab, tidaklah mereka membuat undang-undang yang menyelisihi syariat melainkan karena mereka yakin bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah diketahui secara fitrah dan dengan logika yang pasti, tidaklah manusia berpaling dari suatu sistem ke sistem lain yang bertentangan, melainkan dia meyakini adanya keutamaan sistem (baru) yang dia cenderungi dan adanya kelemahan dari sistem yang dia anut sebelumnya. Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah namun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya, maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.

Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih bermanfaat bagi makhluknya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotis terhadap yang dihukum, atau karena suap, atau kepentingan dunia yang lainnya, maka dia fasiq dan tidak kafir. Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.”

Kemudian beliau berkata: “Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di jaman ini. Hendaklah seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–. Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada siapapun, karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum mukminin.” (Lihat Syarah Tsalatsatul Ushul, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 158-159. Lihat pula kitab Fitnatut Takfir, hal. 98-103).

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah

Mereka ditanya: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah apakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?’

Mereka menjawab:
Allah berfirman:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 44).
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah: 45).
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47).

Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini kebolehannya, maka ini kufur akbar, dzalim akbar, dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama. Adapun jika dia melakukan itu karena suap atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.

Atas nama:
Ketua: Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Abdullah Ghudayyan
(Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105). Wallahul muwaffiq.