Kamis, 28 Februari 2013

Menemani Anak Berteman

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran dalam Majalah Asy Syariah)

Anak-anak tak selamanya berada dalam buaian orang tua. Seiring dengan tumbuh kembangnya, dia pun akan merambah ke dunia yang lebih luas. Pada saatnya, dia mulai memiliki teman. Entah di lingkungan rumah atau sekolahnya. Ketika mulai berteman, anak mungkin akan bertemu dengan anak lain yang memiliki karakter dan latar belakang yang berbeda dengan dirinya. Terkadang, hal ini membawa ketidakcocokan yang berujung perselisihan. Maklum, anak-anak belum cukup matang jiwa dan akalnya untuk menolerir perbedaan itu.

Begitu pula egosentrisme yang memang ada pada anak. Sifat yang membuat seorang anak belum bisa tepa salira, toleransi dengan yang lain. Karena sifat ini, seringkali anak belum bisa memahami orang lain dan belum mengerti akibat sikap dan perbuatannya terhadap diri orang lain. Sementara itu, dia harus berhadapan dengan hak-hak temannya. Membawa pulang mainan teman, misalnya. Terkadang jika kita telusuri, dia tak punya maksud sama sekali untuk mencuri. Dia hanya ingin memenuhi hasrat hatinya untuk bermain dengan mainan itu di rumahnya. Dia tidak menyadari perasaan temannya yang kehilangan dan tidak memahami bahwa itu terlarang. Contoh yang lain, anak memukul teman yang enggan membagi makanan miliknya. Terkadang sumbernya adalah pikiran kanak-kanaknya bahwa si teman melarangnya untuk mencicipi makanan yang membuatnya berselera itu. Dia belum tahu, makanan itu adalah hak milik temannya. Ujung-ujungnya, keributan terjadi.

Demikianlah… Ternyata tugas kita belum selesai. Sebagai orang tua atau pendidik di sekolah, kita harus bisa menemani mereka, memberi bimbingan dan arahan agar mereka tak salah bersikap terhadap teman. Tentu, arahan yang kita pakai adalah tuntunan syariat yang mulia. Yang perlu kita ingat, anak-anak belum sempurna akalnya dan belum mapan jiwanya. Kadang hari ini kita ajari atau kita beri peringatan, besok dia ulangi lagi. Oleh karena itu, dia selalu butuh bimbingan kita. Terus-menerus arahan kita berikan agar adab-adab yang baik itu melekat dan terwujud dalam pribadinya.

Mengarahkan Anak untuk Berteman dengan Teman yang Baik

Meniru. Ini adalah perilaku yang amat menonjol pada anak. Sering sepulang bermain ada tingkah atau kata-kata ‘aneh’ yang tak biasanya dia lakukan atau ucapkan. Usut punya usut, ternyata dia meniru teman bermainnya. Hal seperti ini harus kita waspadai. Tanggung jawab kita sebagai orang tua dan pendidik untuk mengoreksinya jika memang hal itu adalah suatu kejelekan. Rasulullah bersabda: “Barang siapa melihat suatu kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49). Awal kali tentunya dengan kelemahlembutan. Kadang peringatan ini harus datang berkali-kali manakala si anak mengulanginya lagi. Jika sekian kali masih berulang, dibutuhkan peringatan yang lebih keras. Apabila kita mengetahui ada di antara teman yang sering memberikan pengaruh buruk pada anak, kita beri mereka arahan untuk tidak berteman dengannya. Hendaknya kita bisa memberikan pengertian kepada mereka tentang jeleknya perilaku temannya itu. Selanjutnya, mereka dibimbing dan diarahkan untuk memilih siapa di antara teman-temannya yang pantas dijadikan teman.

Pengawasan akan hal ini amatlah penting apabila kita ingin anak-anak menjadi anak yang saleh. Rasulullah bersabda: “Seseorang itu berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap orang melihat siapa yang dia jadikan teman.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 127). Beliau juga memberikan permisalan: “Permisalan teman yang baik dan teman yang jelek seperti pembawa minyak wangi dan pandai besi. Adapun pembawa minyak wangi, bisa jadi dia akan memberimu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mencium bau yang wangi. Sementara itu, pandai besi, bisa jadi dia membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang tidak enak.” (HR. al-Bukhari no. 2101 dan Muslim no. 2628). Anak dengan akal yang belum sempurna belum mampu selektif memilih teman. Oleh karena itu, dia amat membutuhkan bantuan kita untuk memilihkan teman yang baik bagi dirinya.

Mengajari Anak untuk Mencintai Temannya

Seorang muslim harus mencintai saudaranya sesama muslim. Banyak keutamaan yang Allah dan Rasul-Nya janjikan manakala dia mencintai saudaranya. Di antaranya adalah kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah yang disampaikan oleh Abu Hurairah: “Kalian tidak akan masuk surga hingga beriman, dan tidak sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim no. 54). Oleh karena itu, anak harus diajari untuk mencintai teman-temannya, terutama teman yang baik, dengan harapan dia akan meraih nilai-nilai keutamaan. Di samping itu, dia akan senantiasa membina hubungan baik dengan temannya.

Bisa pula kita tuturkan kepada mereka kisah yang dinukilkan oleh Abu Hurairah dari Rasulullah: “Ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di negeri lain. Allah mengutus malaikat di belakangnya. Tatkala malaikat itu sampai kepadanya, bertanyalah malaikat, ‘Engkau mau kemana?’ Orang itu menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di negeri itu.’ Malaikat itu bertanya lagi, ‘Apakah ada utang budi (atau harta) yang engkau inginkan darinya?’ Dia menjawab, ‘Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah.’ Malaikat itu pun berkata, ‘Aku adalah utusan Allah yang diutus kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintai temanmu di jalan-Nya’.” (HR. Muslim no. 2567).

Mengucapkan Salam Ketika Bertemu Teman

Ini adalah satu hal yang banyak dilupakan oleh anak-anak kaum muslimin. Saat datang atau bertemu teman, jarang ditemui mereka saling mengucapkan salam. Bahkan, kadang justru lebih terbiasa dengan sapaan lain, seperti ‘hai’, ‘halo’, dan sebagainya. Padahal ini bukan dari ajaran Islam, ini kebiasaan orang kafir. Alangkah baiknya jika kita hidupkan syiar Islam ini. Kita dorong anak-anak mengucapkan salam ketika bertemu teman. Hal seperti ini juga akan menambah kecintaan di antara mereka. Abu Hurairah menyampaikan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Maukah aku tunjukkan kalian satu amalan yang jika kalian amalkan niscaya kalian akan saling mencintai? (Yaitu) sebarkan salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54). Mengucapkan salam adalah amalan yang mudah dilakukan, bahkan oleh anak-anak sekalipun. Abu Hurairah pernah mengatakan: “Orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil untuk mengucapkan salam.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 795, “Shahihul isnad mauqufan wa shahha marfu’an”). Hendaknya anak diajari pula agar memberi salam kepada teman yang lebih tua. Begitu pula jika dia sedang berjalan melewati teman-temannya. Demikian yang diajarkan oleh Rasulullah dalam ucapan beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah: “Yang kecil memberi salam kepada yang besar, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.” (HR. al-Bukhari no. 6234 dan Muslim no. 2160).

Menghindari Hasad Terhadap Teman

Melihat teman memiliki mainan baru atau sesuatu yang menarik, terkadang menimbulkan rasa iri pada anak. Rasa iri atau hasad yang terpendam itu kadang muncul dalam bentuk perilaku negatif. Bisa jadi, dengan mencela mainan si teman, atau bahkan sampai merusak mainan tersebut. Tak jarang, anak dicap sebagai anak nakal karena perilakunya yang seperti ini. Tentu kita tak ingin anak-anak memupuk sifat tercela seperti ini. Sifat hasad amat dibenci oleh syariat. Allah banyak menyebutkan tercelanya sifat ini dalam Kitab-Nya yang mulia.

Sebelum anak menindaklanjuti rasa hasad yang mucul di hatinya, ketika melihat gejala-gejala hasad muncul pada perilaku anak, hendaknya kita mengingatkannya tentang kenikmatan-kenikmatan Allah yang telah diberikan kepadanya. Misalnya, dia memiliki mainan lain yang bagus pula. Diingatkan pula tentang temannya yang lain yang tidak memiliki mainan sebagaimana yang dimilikinya. Diajarkan anak untuk bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Demikian yang dituntunkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah: “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat kepada orang yang ada di atas kalian, karena hal ini lebih layak agar kalian tidak mengingkari nikmat Allah.” (HR. Muslim no. 2963). Seiring dengan itu, kita ajari anak agar turut merasa senang dengan segala sesuatu yang dimiliki temannya, karena hal itu adalah tanda kesempurnaan iman seseorang.

Mengingatkan Anak Agar Tidak Mengganggu Teman

Terkadang, ada saja tingkah anak yang dia perbuat untuk mengganggu teman, bisa jadi dengan perbuatan atau ucapan. Akhirnya hubungan dengan teman-temannya pun terganggu. Mereka bertengkar, saling mendiamkan dan berjauhan, atau bahkan berkelahi. Kita harus selalu berusaha mengingatkan mereka untuk tidak mengganggu temannya. Rasulullah telah mengingatkan kita dalam sabdanya: “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Muslim).

Membantu Kesulitan Teman

Menyaksikan teman jatuh saat lari-lari atau memanjat, melihat teman diusili teman yang lain, terkadang anak tidak bereaksi. Si teman mengaduh atau menangis, mereka hanya menjadi penonton. Mengetahui keadaan semacam itu, hendaknya kita bisa mendorong anak mengulurkan bantuan dan pertolongan kepada temannya. Kita ingatkan mereka, jika kita menolong teman, Allah akan menolong kita di saat kesulitan. Rasulullah telah menjanjikan hal itu dalam sabda beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan satu kesulitan dunia dari orang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesulitan hari kiamat. Barang siapa memudahkan orang yang kesulitan, pasti Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim no. 2699).

Begitu pula jika suatu ketika anak bercerita melihat ada teman yang kekurangan. Hendaknya kita bisa mendorong mereka untuk memberikan apa yang dibutuhkan si teman apabila memungkinkan. Jika mereka membantu teman, niscaya Allah akan memberikan ganti dari apa yang dia berikan. Demikian yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa beliau bersabda: “Tidak ada suatu hari yang dimasuki oleh seorang hamba melainkan pada hari itu ada dua malaikat yang turun. Salah seorang dari mereka berdoa, ‘Ya Allah, berikan ganti pada orang yang menginfakkan hartanya.’ Yang lainnya berdoa, ‘Ya Allah, berikan kemusnahan harta pada orang yang tidak mau memberi’.” (HR. al-Bukhari no. 1442). Sikap seperti ini juga akan menumbuhkan kedermawanan dalam diri anak dan mengikis sifat bakhil dari dirinya.

Memberikan Hadiah kepada Teman

Suatu saat, mungkin anak kita memiliki kue, cokelat, atau barang yang berlebih. Kita bisa memberi gagasan kepadanya untuk memberikan hadiah kecil untuk temannya. Kita jelaskan pula bahwa yang seperti ini akan membuat dia dicintai teman-temannya. Rasulullah pernah bersabda: “Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Baihaqi, dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3004).

Memberikan Pengertian kepada Anak tentang Hak Milik Orang Lain

Anak harus mengerti, tak semua yang dia inginkan harus dia dapatkan. Khususnya jika berkaitan dengan milik orang lain. Sesuatu yang bukan miliknya tak boleh dia ambil seenaknya, baik dengan maksud memiliki maupun hanya main-main. Dia harus meminta izin kepada pemiliknya. Rasulullah  telah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari Abdullah bin as-Sa’ib bin Yazid dari ayahnya dari kakeknya: “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik untuk main-main maupun sungguhan. Siapa yang mengambil tongkat saudaranya, hendaknya dia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud no. 5003, dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud). Begitu pula jika dia meminjam sesuatu, dia harus menjaga barang pinjaman itu sebaik-baiknya dan mengembalikannya. Ini adalah perwujudan sikap amanah pada dirinya, sebagaimana yang Allah perintahkan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (an-Nisa’: 58). Demikianlah, masih panjang tugas kita sebagai orang tua sekaligus pendidik anak-anak kita. Tugas berat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Rabb seluruh alam. Karena itulah, kita senantiasa berendah hati menerima tuntunan syariat dalam menjalankan tugas mulia ini. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.