Selasa, 26 Februari 2013

Kisah Nabi Shalih

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits dalam Majalah Asy Syariah)

Bangsa Tsamud dapat dikatakan sebagai bangsa ‘Aad yang kedua. Mereka tinggal di daerah Hijr (sekitar 300 km utara Madinah arah Jordania) dan sekitarnya. Bangsa ini memiliki peternakan dan pertanian yang demikian berlimpah. Kenikmatan demi kenikmatan datang silih berganti. Mereka mampu mengubah bumi yang datar menjadi istana yang mempunyai hiasan begitu indah. Juga gunung-gunung cadas menjulang mereka ubah menjadi gedung-gedung yang indah. Namun mereka tidak mengakui bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah. Mereka mengingkari itu semua. Yang lebih parah lagi, mereka melakukan peribadatan kepada selain Allah. Allah kemudian mengutus kepada bangsa Tsamud, saudara mereka yang berasal dari kabilah mereka sendiri, yakni Nabi Shalih. Mereka telah mengenal silsilah keturunan dan kedudukan Nabi Shalih, juga keutamaan, kemuliaan, kejujuran, serta sikap amanahnya. Beliau menyeru bangsa Tsamud untuk kembali kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya semata. Mereka juga diseru Nabi Shalih agar meninggalkan segala yang mereka sembah selain Allah. Nabi Shalih mengingatkan kaum Tsamud, akan nikmat-nikmat Allah dan hari-hari-Nya serta umat-umat yang bertetangga dengan mereka. Namun dakwah Nabi Shalih tidak ada yang mengikutinya kecuali sangat sedikit.

Pada waktu beliau memberi peringatan kepada mereka serta menegakkan dalil dan bukti atas wajibnya mentauhidkan Allah, mereka justru merasa jijik, lari, dan menyombongkan diri. “Mereka berkata, ‘Wahai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan’.” (Hud: 62). Yakni, kami harapkan dirimu melebihi kami semua karena kemuliaan akhlak dan adabmu yang menyenangkan. Inilah pengakuan mereka sebelum keluar berbagai tuduhan keji dari mulut mereka. Dan tidaklah jatuh martabat Nabi Shalih di tengah-tengah kaumnya kecuali hanya karena beliau mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Pencipta semata serta meninggalkan peribadatan terhadap sesama makhluk, menyeru mereka kepada kebahagiaan abadi. Tidak ada “dosa” beliau kepada mereka kecuali karena beliau menyelisihi bapak-bapak moyang mereka yang sesat, bahkan mereka sendiri jauh lebih sesat dari pendahulunya. Kemudian Nabi Shalih memberikan keterangan yang demikian jelas. Beliau paparkan ayat-ayat, bukti-bukti, dan na’mah (kemewahan) kepada seluruh kabilah.

Nabi Shalih berkata, “Ini adalah unta Allah yang tidak sama dengan unta lain, baik bentuk, keutamaan, maupun manfaatnya. Ia adalah satu tanda bukti kekuasaan Allah bagi kalian akan kejujuranku dan luasnya rahmat Rabb kalian. Maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, Allah yang menjamin rezekinya, dan kalian boleh memanfaatkannya. Kalian boleh mengambil air bergantian dengan unta ini setiap satu hari dan kalian boleh memerah air susu unta tersebut serta memenuhi bejana kalian. Dan hal ini terus berlanjut sampai waktu yang dikehendaki Allah.” Sementara di dalam kota itu sendiri terdapat sembilan tokoh yang menjadi setan di tengah-tengah bangsa Tsamud. Mereka selalu menentang dengan keras segala yang dibawa Nabi Shalih. Mereka menghalangi manusia dari jalan Allah dan berbuat kerusakan di muka bumi. Nabi Shalih telah memperingatkan bangsa Tsamud untuk tidak menyembelih unta tersebut tatkala melihat kesombongan dan penentangan mereka terhadap al-haq.

Pertama kali yang dilakukan orang-orang jahat ini adalah bermusyawarah mencari kesepakatan untuk bersama-sama menyembelih unta itu. Mereka pun setuju. Lalu bangkitlah salah satu kabilah paling celaka di antara mereka. Allah mengatakan, “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (asy-Syams: 12). Yakni, sesudah mereka bersepakat dan menghasut, mereka mengirim seseorang untuk menangkap dan menyembelih unta tersebut. Semuanya merestui bahkan memberikan semangat. Unta itu pun disembelih dan akhirnya menjadi sebab kebinasaan seluruh kabilah. Ketika Nabi Shalih mengetahui hal itu dan melihat keadaan yang demikian mengerikan, beliau pun tahu bahwa azab pasti datang. Karena kejahatan mereka sudah demikian memuncak dan tidak ada harapan untuk diperbaiki atau diluruskan. Maka Nabi Shalih pun berkata, “Bersukarialah kalian di rumah kalian selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan” (Hud: 65).

Dengan perkataan ini beliau memberikan peringatan kepada mereka semua, yang jauh ataupun yang dekat. Selama tiga hari itu, kesembilan pemimpin yang durhaka ini bersepakat untuk melakukan suatu urusan yang lebih buruk dari penyembelihan unta tadi. Yaitu mereka berusaha membunuh Nabi Shalih. Mereka pun membuat perjanjian dan menyiapkan sumpah yang berat serta menyimpan makar ini agar tidak diketahui dan dicegah oleh kerabat Nabi Shalih, karena keluarga beliau adalah orang yang terpandang di negeri itu. Mereka mengatakan, “Sungguh kami benar-benar akan menyerang dia dan keluarganya tiba-tiba di malam hari.” (an-Naml: 49). Kemudian kalau keluarganya mengira kita yang membunuhnya, kita siap bersumpah di hadapan mereka bahwasanya: “Kami tidak menyaksikan kematian keluarganya itu dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.” (an-Naml: 49). Mereka segera melaksanakan makar yang besar ini. Akan tetapi walaupun mereka berbuat makar, Allah membalas makar itu untuk Nabi Shalih. Di saat mereka bersembunyi di balik-balik gunung mencari kesempatan untuk menyergap Nabi Shalih, Allah mulai mengazab mereka. Jadilah mereka sebagai pelopor bagi kaumnya masuk ke dalam neraka Jahannam. Allah mengirimkan kepada mereka shakhrah (batu besar) dari atas gunung dan menghancurkan mereka sampai terbunuh dengan cara yang sangat mengerikan.

Setelah berakhirnya batas waktu tiga hari itu, datanglah sebuah teriakan mengguntur dari atas dan gempa dahsyat dari bawah mereka. Akhirnya bangsa Tsamud mati bergelimpangan. Allah selamatkan Nabi Shalih dan orang-orang yang beriman bersama beliau. Beliau pun meninggalkan mereka seraya berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepada kalian risalah Rabb-ku dan aku telah memberi nasihat kepada kalian, akan tetapi kalian tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat.” (al-A’raf: 79).

Faedah dari Kisah Nabi Shalih

1. Dakwah para nabi itu semuanya adalah satu. Barang siapa mendustakan salah satu dari mereka berarti mendustakan seluruh nabi dan rasul, karena artinya mereka mendustakan al-haq yang disampaikan oleh masing-masing rasul tersebut. Oleh karena itu, disebutkan dalam setiap kisah para nabi: kaum Nabi Nuh telah mendustakan para rasul, kaum ‘Aad telah mendustakan para rasul, kaum Tsamud telah mendustakan para rasul, dan seterusnya.

2. Faedah lainnya adalah bahwa siksa Allah itu datang menimpa umat-umat yang melampaui batas di saat kedurhakaan dan kejahatan mereka sudah demikian memuncak. Kekafiran dan pendustaan mereka benar-benar pantas untuk dibinasakan. Kepastian kebinasaan mereka adalah ketika kejahatan mereka benar-benar sudah demikian parah.

3. Sesungguhnya Allah benar-benar mengawasi dan memberi tangguh kemudian sekali lagi memberi tangguh sampai ketika Dia ingin mengazab mereka, Allah mengazab dengan azab dari Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa.

4. Suatu keyakinan yang sesat namun berurat akar adalah sikap yang diwarisi dari orang-orang yang mereka berprasangka baik terhadapnya, baik nenek moyang maupun orang lain, yang merupakan penghalang terbesar bagi seseorang untuk menerima al-haq. Yaitu sikap menerima kebenaran hanya datang dari nenek moyang atau bapak-bapak mereka. Oleh karena itulah, alasan utama bangsa Tsamud menentang seruan Nabi Shalih adalah perkataan: “Apakah kamu melarang kami menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?” (Hud: 62). Umat-umat yang mendustakan seruan para rasul itu semua mengatakan hal yang sama. “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (az-Zukhruf: 23).

5. Jalan ini tidak pernah sepi dari orang-orang sesat yang melintasinya. Sesungguhnya jalan tersebut adalah jalan para setan yang senantiasa merintangi manusia dari jalan Allah. Sebagaimana telah diketahui bahwa jalan para rasul itu adalah jalan petunjuk dan kebenaran, maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. Wallahu a’lamu bish-shawab.