Sabtu, 30 Maret 2013

Kesesatan Haddadiyyah dan Sururiyyah

(sumber: darussalaf.or.id)

Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu
Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah

Diantara perkara yang telah disepakati umat ini, bahwa tidak seorang pun di kalangan para ulama yang terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Namun seorang mujtahid – apabila dia telah berusaha mengeluarkan fatwa untuk mencocoki al-haq dan berjalan di atas rel Al-Qur’an dan As-Sunnah – lalu ternyata setelah itu terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan. Maka sikap seorang muslim terhadap kesalahan tersebut agar tidak bersikap ifrath (berlebih-lebihan) hingga sampai merendahkan kedudukan seorang alim tersebut, apalagi menghajrnya (mengucilkannya, red). Seyogyanya pula seorang muslim tidak bersikap tafrith (meremehkan, red), menerima setiap apa yang keluar dari pendapatnya (mujtahid tersebut), tanpa peduli salah atau tidak, tanpa memperhatikan dalil yang dibawakannya. Walau demikian selayaknya kita tetap mengakui adanya kekeliruan, tanpa harus mencerca dan merendahkan kedudukannya sebagai seorang ‘alim. Sebab seorang mujtahid, tetap akan diganjar pahala oleh Allah Azza wa Jalla dengan ijtihadnya, baik ijtihad tersebut benar atau pun salah.

Inilah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash dan juga datang dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang hakim ingin menetapkan hukum, lalu dia berijtihad, (apabila) benar maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia memberi hukum lalu berijtihad namun salah, maka dia mendapat satu pahala.” (Muttafaq ‘alaihi). Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah Ta’ala berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331). Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala berkata: “Dan mereka berkata: “Pendapat inilah yang ma’ruf dari para Shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan para imam agama, bahwa mereka tidak mengkafirkan, juga tidak menyatakan fasiq, tidak pula menganggap berdosa seseorang dari kalangan mujtahid yang keliru, baik dalam permasalahan amalan maupun keyakinan”. (Minhajus Sunnah: 5/87). Berbeda halnya dengan seorang yang mengikuti sesuatu dengan hawa nafsu – bukan seorang mujtahid -, akan tetapi membangun amalannya di atas sikap fanatik terhadap sesuatu, apakah fanatik terhadap seseorang, atau madzhab tertentu atau kelompok tertentu. Ataukah seseorang yang ingin mencari mana fatwa yang lebih ringan (tidak keras) atau yang semisalnya, maka amalan yang semacam inilah yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al Baqoroh: 170). Dan firman-Nya: “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS Al Baqoroh: 145). Dan firman-Nya: “…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. [QS Al Maaidah: 48]. Dan firman-Nya: "dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik" (QS Al Maaidah: 49). Dan firman-Nya: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Maaidah: 77). Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih sangat banyak.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala: “Orang yang mengikuti sesuatu dari kalangan manusia ada dua bagian. Bagian pertama: seorang yang alim yang membahagiakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Beliau adalah yang mengenal kebenaran dengan dalil bukan dengan taqlid dan mengajak manusia untuk mengenal kebenaran dengan dalilnya, bukan untuk taqlid kepadanya. Bagian kedua: orang yang membinasakan dirinya sendiri dan membinasakan orang lain, dia adalah orang yang taqlid kepada orang tuanya, kakeknya, terhadap apa yang mereka yakini dan yang mereka anggap baik dan meninggalkan untuk menimbang sesuatu dengan akalnya. (Dia) mengajak manusia untuk taqlid kepadanya, orang buta tidak dapat menuntun orang yang buta pula. Maka apabila taqlid terhadap para tokoh tercela, bukan perkara yang dibolehkan dalam perkara aqidah, maka taqlid terhadap kitab-kitab pun -lebih pantas dan lebih utama – tercelanya. Sesungguhnya hewan yang digiring lebih baik daripada seorang muqallid (yakni orang yg mengekor, red) yang ikut (tanpa dalil). Sesungguhnya ucapan para ulama dan orang shalih bertentangan dan berselisih dalam banyak perkara. Maka memilih dan mengikuti (pendapat) salah satu darinya dengan tanpa dalil adalah batil, sebab itu adalah menguatkan sesuatu tanpa ada (alasan) yang menguatkan dan ini bertentangan.” (Qowa’id at-Tahdits, Al-Qasimi: 360).

Dari apa yang telah kita jelaskan ini, maka kita mengetahui bahwa terjadi perbedaan hukum antara seorang mujtahid dengan seorang pengekor hawa nafsu, yang mengikuti ucapan seseorang tanpa hujjah. Seorang mujtahid bila keliru, tidak menyebabkan dia tercela, apalagi untuk dihajr dan dihukumi mubtadi’. Berbeda akan halnya seorang muqollid – yang mengikuti hawa nafsunya – dalam keadaan dia memiliki kemampuan untuk melihat permasalahan secara jernih, namun disebabkan karena hawa (nafsunya) yang lebih mendominasi, maka orang yang demikian ini sudah sepantasnya mendapat celaan. Apabila kita telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa apa yang disebutkan oleh Al-Akh Abdullah bin Taslim dalam makalahnya, ketika menjelaskan tentang perselisihan ulama dalam hal berhubungan dengan Yayasan Ihya At-Turots: “Kalau seandainya masalah ini menyebabkan seseorang dicela, maka mestinya para ulama yang membolehkan mengambil bantuan tersebut yang harus lebih dahulu dicela. Karena orang-orang yang mengambil bantuan tersebut menyandarkan hal ini kepada fatwa para ulama tersebut!”, demikian ucapan beliau (Jawaban dari pertanyaan Abah Umair, Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE) – artikel ID 338, alinea ke 7, baris ke 13).

Semestinya Al-Akh Abdullah bin Taslim –semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan kepada kita semua- mengetahui bahwa seorang alim, yang keliru dalam berijtihad tidak dapat disamakan dengan seorang yang mengikuti hawa nafsunya, lalu lebih memilih cara taqlid buta, tanpa peduli apa yang akan menjadi akibat dari perbuatannya tersebut. Seorang yang nikah mut’ah karena mengikuti hawa nafsunya, harus dicela walaupun dengan alasan dia mengikuti pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sebab telah sampai kepadanya hujjah dan hadits yang melarang hal tersebut. Dan ini tidak menyebabkan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma lebih berhak untuk dicela hanya karena beliaulah yang menfatwakannya. Seorang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah harus dicela dan ditahdzir saat telah sampai kepadanya ilmu tentang hal tersebut. Walaupun dia beralasan mengikuti perbuatan Aisyah radhiallahu anha, Tholhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam radhiallahu anhuma dalam peristiwa Perang Jamal. Atau beralasan mengikuti pendapat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma dalam Peristiwa Shiffin. Dan ini tidak menyebabkan mereka (para shahabat radhiallahu anhum) harus dicela dan ditahdzir, disebabkan karena kesalahan mereka tersebut dibangun di atas ijtihad. Dan masih banyak lagi perkara yang lain yang dapat diqiyaskan kepada apa yang telah kita sebutkan ini.

Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah Ta’ala: “Ketahuilah bahwa keumuman para pengikut madzhab, sangat besar keinginan dalam diri mereka untuk mau memeriksa dalil-dalil imam mereka, lalu mereka pun mengikuti pendapat imamnya. Maka seseorang sepantasnya untuk melihat kepada ucapannya, bukan kepada orang yang mengucapkannya. Sebagaimana yang diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu kepada Harits bin Abdullah Al-A’war, ketika ia (Harits) berkata kepadanya: “Apakah engkau menyangka bahwa Thalhah dan Zubair berada di atas kebatilan?”. Beliau menjawab: ”Wahai Harits, sesungguhnya tersamarkan olehmu (perkara ini). Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal dengan para tokoh, (namun) kenalilah kebenaran, niscaya engkau mengetahui pemiliknya.” (Qawa’id At-Tahdits: 357). Demikian pula tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan perbedaan antara kaum bughat (pemberontak) dengan kaum Khawarij, bahwa tidak setiap orang yang bughat disebut sebagai kaum Khawarij. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu membedakan antara kesalahan yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu anha bersama para shahabat yang lainnya – tatkala mereka menentang Ali radhiyallahu anhu karena menuntut darah Utsman radhiallahu anhu dari para pembunuhnya – dengan kaum Khawarij yang melakukan sikap penentangan dan pemberontakan terhadapnya. Silahkan lihat jawaban rinci dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah jilid: 35, hal: 54-57.

Sikap Ahlussunnah dalam menyikapi kesalahan seorang alim, antara sikap berlebihan ‘kaum Haddadiyyah’ dan sikap meremehkan ‘kaum Sururiyyah’. Kaum Haddadiyyah yang getol menyerang para ulama serta menyikapi kesalahan mereka, seperti penyimpangan yang dilakukan oleh para pengekor hawa nafsu. Haddadiyyah, nisbah kepada seorang asal Mesir yang bernama Mahmud Al-Haddad Al-Mishri, yang dahulu pernah tinggal di Madinah. Awal munculnya gerakan ini dimulai dengan mengkritik Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dalam majelis-majelisnya, lantas dia mengajak manusia untuk menghukuminya (kedua imam tersebut) sebagai seorang mubtadi’. Lalu kemudian berlanjut hingga mencela siapapun dari kalangan para ulama yang dianggapnya memiliki kesalahan –menurut persangkaannya- seperti Syaikh Bin Baaz rahimahullah, Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah, Syaikh Al-Luhaidan hafidhahullah, Syaikh Al-Albani rahimahullah dan yang lainnya. Bagi siapa yang ingin mengetahui, Syaikh Rabi’ hafidzahullah telah menyebutkan dalam tulisan beliau “Manhaj Al-Haddadiyyah” 12 poin dari pemikiran Al-Haddadiyyah, yang ringkasannya sebagai berikut:
  1. Kebenciannya terhadap para ulama Salafi di zaman sekarang, menisbahkan/mencap kesesatan pada mereka dan merendahkan kedudukan mereka.
  2. Menuduh mubtadi’ (ahli bid’ah) terhadap setiap orang yang jatuh ke dalam bid’ah.
  3. Menuduh mubtadi’ terhadap orang yang tidak mau mentabdi’ (mencap mubtadi) orang yang terjatuh ke dalam bid’ah.
  4. Mengharamkan untuk mendo’akan rahmat kepada ahli bid’ah.
  5. Mentabdi’ orang yang mendo’akan rahmat kepada ulama seperti Abu Hanifah, Asy-Syaukani.
  6. Permusuhan yang sengit terhadap Salafiyyin, walaupun terhadap orang yang telah bersungguh-sungguh dalam memerangi hizbiyyah dan kesesatannya.
  7. Bersikap berlebih-lebihan terhadap Mahmud Al-Haddad dan mengangkatnya sebagai seorang yang alim.
  8. Menodai kehormatan ulama Salafiyyin, baik yang di Madinah dan yang lainnya, serta menuduh mereka sebagai pendusta.
  9. Mereka punya kebiasaan melaknat, meremehkan, menteror sampai pada tingkatan mengancam untuk memukul Salafiyyin.
  10. Mereka melaknat secara ta’yin, hingga diantara mereka ada yang melaknat Abu Hanifah, bahkan mengkafirkannya.
  11. Bersifat sombong dan suka membangkang yang akhirnya menjurus kepada penolakan terhadap al-Haq.
  12. Mereka selalu menyandarkan ucapannya kepada Imam Ahmad, namun setelah dijelaskan sikap Imam Ahmad yang menyelisihi Al-Haddad, maka mereka pun menuduh dan mengingkari penisbatan tersebut kepada Imam Ahmad. Lalu Al-Haddad mengatakan: “… walaupun itu benar dari Imam Ahmad, maka kita tidak bertaqlid kepadanya.” (Lihat: Manhaj Al-Haddadiyyah, tulisan Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkhali).

Sebaliknya, kebalikan dari Al-Haddadiyyah, mereka yang disebut sebagai Sururiyyah. Kelompok ini berciri khas bersikap bermudah-mudahan dalam memberi gelar kepada orang yang dianggap tokohnya, berusaha membelanya dan menyelamatkannya dari berbagai tuduhan. Seperti Sayyid Quthb, Yusuf Al-Qaradhawi dan yang semisalnya dari para penyeru kesesatan. Walaupun seakan-akan mereka menghargai para ulama dan fatwanya, namun dari sisi lain mereka melakukan sindiran terhadap beberapa masyaikh Ahlus Sunnah di zaman sekarang. Ada yang menuduh sebagian ulama dengan tuduhan tidak mengerti fiqhul waqi’, ada yang menuduh sebagian mereka memiliki pemikiran Murji’ah, ada lagi yang menuduh bahwa Syaikh Rabi hafidzahullah Ta’ala diusir dari Madinah, sehingga keadaan Kota Madinah sudah semakin kondusif dengan kepergian beliau, atau ucapan yang semisalnya berupa tuduhan dan fitnah yang dilontarkan kepada para ulama Ahlus Sunnah. Insya Allah -bila ada waktu – pada edisi mendatang akan kita jabarkan sedikit tentang hal ini. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka berada pada sikap pertengahan, mereka mengakui bahwa para ulama bukanlah orang yang ma’shum – setinggi apapun kedudukan dan ilmu yang mereka miliki-. Namun kewajiban bagi seorang muslim adalah, memuliakan mereka, tidak melecehkan, ataupun merendahkan kedudukan mereka, apalagi sampai mencelanya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala: “Wajib atas kaum muslimin –setelah bersikap loyal terhadap Allah Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam – untuk bersikap loyal terhadap kaum mukminin, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, khususnya para Ulama – orang-orang yang telah menjadi pewaris para nabi – yang Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka memiliki kedudukan seperti bintang-bintang, (bintang) yang dijadikan sebagai pembimbing dalam kegelapan di darat dan lautan. Sungguh telah sepakat kaum muslimin atas hidayah dan pengetahuan mereka. Tatkala setiap umat–sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam-, meyakini maka ulama merekalah yang paling jahat. Berbeda dengan kaum muslimin, maka sesungguhnya Ulama mereka adalah orang-orang pilihan diantara mereka. Sebab mereka – para ulama – adalah para pengganti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam pada umatnya. Mereka berupaya menghidupkan apa yang telah mati dari Sunnahnya. Bersama merekalah al-Kitab ditegakkan dan dengan Al-Qur’anlah mereka tegak, bersama mereka al-Kitab dinyatakan dan dengan al-Kitab sajalah mereka menyatakan (sesuatu). Dan hendaklah diketahui bahwa tidak seorangpun dari kalangan para mam –yang diterima di kalangan umat dengan penerimaan secara umum- yang sengaja menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terhadap sesuatu dari sunnahnya, baik yang samar maupun yang jelas. Sesungguhnya mereka – para ulama – seluruhnya sepakat dengan kesepakatan yang meyakinkan atas wajibnya mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dan setiap orang dari manusia bisa diambil dan bisa ditolak kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Akan tetapi jika didapati ucapan salah seorang dari mereka, dimana telah datang hadits yang shahih menyelisihinya, maka harus diberi udzur (sebab) dia meninggalkan (hadits tersebut) (Raf’ul Malaam ‘an al-Aimmatil A’laam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: 8-9).

Dan beliau juga berkata: “Adapun para shiddiq, syuhada, orang-orang shalih, mereka bukan ma'shum (terpelihara dari kesalahan). Dan dalam hal dosa-dosa yang jelas. Adapun apa yang mereka berijtihad padanya, maka terkadang mereka benar dan terkadang pula mereka keliru. Maka jika mereka berijtihad lalu benar maka mereka mendapat dua pahala dan jika mereka berijtihad lalu keliru, maka mereka mendapat satu pahala atas ijtihadnya. Dan kesalahan mereka diampuni. Adapun orang yang sesat maka mereka menjadikan kesalahan dan dosa sebagai perkara yang menjadi keharusan antara keduanya“ (Majmu’ al-Fatawa: 35/69). Beliau juga berkata: “Sesungguhnya orang yang mulia yang di dalam Islam memiliki peranan yang baik dan pengaruh yang baik dan dia – di mata Islam dan pemeluknya – memiliki kedudukan yang tinggi. Terkadang ia memiliki kesalahan dan kekeliruan. Maka padanya diberi udzur, bahkan mendapat pahala, dan tidak boleh diikuti dalam hal itu, dengan tetapnya kedudukan dan harga dirinya dalam hati kaum mukminin” (al-Fatawa al-Kubra: 3/178). Berkata Imam Dzahabi rahimahullah Ta’ala tatkala menjelaskan biografi Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Yahya Al-Utsmani yang terjatuh ke dalam pemikiran Asy’ariyyah: “Dan kami cinta kepada Sunnah dan pemeluknya. Dan kami cinta kepada seorang alim atas apa yang dimilikinya dari sifat yang terpuji, namun kami tidak suka apa yang diperbuatnya dari perbuatan bid’ah dengan ta’wil yang ditolerir. Sesungguhnya yang dipandang adalah kebaikannya yang banyak.” (Siyar A’laam an-Nubalaa, biografi mufti Muhammad bin Ahmad bin Yahya: 20/45-46).

Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan tentang biografi Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullah Ta’ala: “Kalau sekiranya kita, setiap imam salah dalam ijtihadnya dalam beberapa perkara berupa kekeliruan yang diampuni, lalu kita menyikapinya, mentabdi’nya dan menghajrnya, maka tidak ada yang selamat bagi kita, tidak Ibnu Nashr, tidak pula Ibnu Mandah, dan tidak pula yang lebih besar dari keduanya. Dan Allah yang memberi hidayah kepada manusia kepada kebenaran, Dialah Dzat yang Maha Pengasih. Maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan kekerasan” (Siyaru A’laam an-Nubalaa’, biografi Muhammad bin Nashr Al-Marwazi: 14/40). Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan biografi Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah Ta’ala: “Dan kalau sekiranya setiap orang yang keliru dalam ijtihadnya, dengan keimanannya yang benar dan usahanya dalam mengikuti al-Haq, kita membuang (kebaikannya) dan mentabdi’nya, maka sedikit orang yang selamat dari para imam. Semoga Allah merahmati semuanya dengan anugerah dan kemuliaannya.” (As-Siyar, biografi Ibnu Khuzaimah: 14/376).

Dan beliau juga berkata, tatkala menjelaskan biografi Qotadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullah Ta’ala: “Semoga Allah memberi udzur kepada orang-orang yang semisalnya yang (amalannya) dicampuri dengan bid’ah, yang dia menginginkan untuk mengagungkan sang Pencipta, dan mensucikannya dan mengerahkan segala kemampuannya. Dan Allah adalah hakim yang Maha Adil, Pengasih terhadap para hamba-Nya. Dia tidak ditanya terhadap apa saja yang dilakukan-Nya. Seorang yang besar dari para imam – apabila banyak kebenarannya dan diketahui usahanya dalam mencari kebenaran, luas ilmunya, nampak kepandaiannya, diketahui keshalihan, sikap wara’ (kehati-hatiannya, red) dan ittiba’nya – maka diampuni kekeliruannya. Dan kita tidak menyesatkannya, lalu kita membuangnya dan lupa akan kebaikan-kebaikannya. Iya, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya dan kita mengharapkan taubat dari hal tersebut.” (As-Siyar: 5/271). Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala: “Diantara kaidah syariat dan hikmahnya pula, bahwa siapa yang banyak dan melimpah kebaikannya dan memiliki pengaruh yang nampak dalam Islam, maka sesungguhnya dia diberi udzur (dengan sesuatu yang tidak diberi udzur terhadap yang lainnya) dan dimaafkan baginya (sesuatu yang tidak dimaafkan bagi yang lainnya). Sesungguhnya kemaksiatan itu najis dan air apabila telah mencapai dua qullah, maka tidak terpengaruh dengan adanya najis tersebut, berbeda dengan dengan air yang sedikit, tidak mampu memikul sedikit pun najis (yang bercampur dengannya).” (Miftahu Dar as-Sa’adah: 1/218).

Demikian pula ketika Lajnah Daimah ditanya: “Apa pendirian kita dari para Ulama yang menta’wil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi, Ibnul Jauzi dan selain mereka. Apakah kita menganggapnya dari para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau bagaimana? Apakah kita mengatakan bahwa mereka keliru dalam penakwilan, ataukah mereka orang-orang yang sesat?” Maka Lajnah menjawab: “Pendirian kami dari Abu Bakar Al-Baqilani, Al-Baihaqi, Abul Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakaria An-Nawawi, Ibnu Hajar dan yang semisal mereka, dari orang-orang yang menta’wil sebagian sifat-sifat Allah Ta’ala, atau yang mentafwidh pada asal maknanya, – mereka menurut pandangan kami – termasuk pembesar ulama kaum muslimin yang Allah memberi manfaat kepada umat dengan ilmu mereka. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan terhadap apa yang telah ia berikan kepada kita. Dan mereka termasuk dari Ahlus Sunnah terhadap apa yang mereka mencocoki para Shahabat radhiallahu anhum dan para Imam Salaf – pada tiga kurun yang telah disaksikan oleh Rasulullah dengan kebaikan-. Dan bahwa mereka bersalah terhadap apa yang mereka ta’wil dari nash-nash sifat dan menyelisihi pendahulu umat ini dan para Imam Sunnah rahimahumullah. Sama saja apakah mereka menta’wil sifat Dzatiyyah dan sifat Fi’liyyah atau sebagiannya.” (Lajnah Daimah no 5082: 3/178. Al-Adillah Asy-Syar’iyyah, Abu Abdis Salaam Hasan bin Qasim: 156-157).

Lajnah juga ditanya: “Apakah kekufuran pada sifat-sifat Allah? Apakah ada perbedaan antara seorang alim dengan seorang pembangkang dan yang mentakwil dalam hal tersebut?” Mereka menjawab: “Pertama, kekufuran dalam sifat-sifat Allah adalah mengingkari apa yang telah diketahui sesuatu yang tsabit (benar) setelah disampaikan kepadanya (hujjah), atau mengingkarinya dengan cara merubahnya dari asalnya – tidak ada syubhat – yang dengannya orang itu diberi udzur. Kedua, barangsiapa yang menyelisihi kebenaran dalam hal itu dengan cara membangkang setelah adanya penjelasan dan penegakan hujjah, maka dia kafir dan tidak ada udzur. Dan barangsiapa yang menyelisihi hal tersebut dengan menta’wil karena adanya syubhat – yang seseorang diberi udzur dengannya-, maka dia keliru dan dia mendapat pahala atas ijtihadnya.” (Fatawa Lajnah Daimah no 9272: 1/128. Al-Adillah Asy-Syar’iyyah: 157).

Demikian pula Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Ta’ala tentang dua Hafidz yakni Ibnu Hajar dan An-Nawawi rahimahumallah. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya dua hafidz (An-Nawawi dan Ibnu Hajar), keduanya memiliki andil dari amalan yang shalih dan manfaat yang besar pada umat Islam, walaupun terjadi pada keduanya kesalahan dalam mentakwil sebagian nash-nash sifat. Sesungguhnya itu tertutupi dengan apa yang dimiliki keduanya dari berbagai keutamaan dan manfaat yang banyak. Dan kita tidak menyangka tentang (kesalahan) yang ada pada keduanya melainkan muncul dari sebab ijtihad, dan adanya sisi penta’wilan walaupun menurut pendapat keduanya. Dan aku berharap kepada Allah agar termasuk diantara kesalahan yang diampuni. Dan apa yang keduanya telah menyumbangkan kebaikan dan manfaat dari amalannya yang disyukuri. Pada keduanya (Al-Hafid Ibnu Hajar dan Imam Nawawi) diterapkan firman Allah: “Sesungguhnya kebaikan menghapuskan kesalahan” (QS. Hud: 114). Pandangan kami bahwa keduanya termasuk dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan yang menjadi saksi atas hal tersebut, usaha keduanya dalam mendukung sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Serta semangatnya untuk menjernihkan apa yang dinisbahkan kepada Sunnah dari berbagai kotoran, dan menetapkan secara teliti apa yang telah ditunjukkan atasnya dari hukum-hukum. Namun keduanya menyelisihi ayat-ayat sifat dan haditsnya, atau sebagiannya dari metode Ahlus Sunnah, berdasarkan ijtihad yang keduanya telah keliru padanya. Maka kita berharap agar Allah memberi ampunan padanya.” (Kitab Al-Ilmu, kumpulan Nashir bin Fahd: 212-223).

Berkata pula Syaikh Al-Fauzan hafidzahullah Ta’ala: “Siapa yang memiliki kesalahan dalam ijtihad yang dia menta’wil padanya, seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi dan apa yang kadang terjadi pada keduanya – dalam hal menta’wil sebagian sifat – maka tidak dihukumi dia sebagai ahli bid’ah. Namun dikatakan: yang terjadi pada keduanya adalah kesalahan yang diharapkan ampunan bagi keduanya, berdasarkan apa yang telah disumbangkannya berupa dukungan yang besar terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Maka keduanya adalah imam yang mulia, yang dipercaya di kalangan ahli ilmu.” (Al-Muntaqa: 2/181). Sungguh benar ucapan seorang penyair:

          Jika seorang tercinta melakukan satu dosa,
          kebaikannya datang dengan seribu syafa’at

Apabila kita telah memahami hal ini –semoga Allah senantiasa memberi rahmat dan anugerahnya kepada kita sekalian-, maka seorang muslim wajib untuk menghormati ulamanya, mengenal kedudukan yang mulia yang Allah berikan kepada mereka. (Akan tetapi) bukan berarti mengharuskan seseorang untuk meninggalkan nasehat bagi kaum muslimin, tatkala terlihat adanya penyimpangan, kesalahan harus (diluruskan), agar kaum muslimin tetap berjalan di atas agamanya yang lurus, dengan petunjuk dan bimbingan Allah Azza wa Jalla, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para ulama Salafus Shalih. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala: “Agama Islam dapat sempurna dengan dua perkara: Pertama, mengenal keutamaan para imam, hak-hak mereka, kedudukan mereka dan meninggalkan sesuatu yang mengantarkan celaan terhadap mereka. Kedua, nasehat bagi Allah Azza wa Jalla, kitab-Nya, rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin. Dan menjelaskan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla berupa penjelasan dan hidayah. Dan tidak ada pertentangan –insya Allah- antara dua poin tersebut bagi orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah Azza wa Jalla. Hanya saja yang merasa sempit dadanya salah satu dari dua orang: seorang yang jahil tentang kedudukan dan udzur yang diberikan kepada mereka dan seorang yang jahil tentang syari’at dan prinsip-prinsip dalam hukum (Islam).” (al-Fatawa al-Kubra: 3/177-178).

Ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti tentang hakikat dakwah Ahlus Sunnah, lalu melontarkan berbagai tuduhan kepada Ahlus Sunnah dengan gelar “Dakwah Haddadiyyah”, lalu mentahdzir kaum muslimin darinya. Namun sebaliknya mereka memberikan pujian kepada para pembela Ihya At-Turots, mentazkiyahnya, bahkan menggelarinya dengan gelar “Buku Emas”. Hal ini disebabkan karena orang yang menuduh tersebut tidak mengerti tentang prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sendiri. Semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya.