Jumat, 01 Maret 2013

Pembahasan Tentang Perang Shiffin

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc dalam Majalah Asy Syariah)

Celaan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dimunculkan pula dari sebuah peristiwa besar, Perang Shiffin. Peperangan dua barisan kaum muslimin itu dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk mencela generasi terbaik, tanpa memahaminya dengan pemahaman salaful ummah. Mereka menuduh Mu’awiyah berkehendak merebut kekhilafahan Ali bin Abi Thalib dalam perang itu. Mereka juga mengatakan bahwa perang antara Ali dan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin sama dengan peperangan antara Ali dan kaum Khawarij. Mereka, kaum zindiq berkesimpulan, Mu’awiyah adalah pemberontak sebagaimana kaum Khawarij. Benarkah tuduhan itu? Bagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah menyikapi fitnah Perang Shiffin?

Perang Itu Akan Terjadi

Debu Shiffin membumbung ke angkasa. Perang besar antara dua barisan besar kaum muslimin tidak mungkin dielakkan sebagai ketetapan Rabbul ‘Alamin. Perang Shiffin adalah perang fitnah dua barisan kaum mukminin. Allah menakdirkan perang itu dengan hikmah yang sangat mendalam. Di antaranya, sebagai ujian bagi manusia dalam menyikapinya, apakah dia menyikapinya sesuai dengan bimbingan Rasulullah dan mengikuti jalan salafus saleh atau ia binasa mengikuti gelombang kerusakan. Allah berfirman: “Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Anfal: 37). Perang Shiffin telah dikabarkan Rasulullah dalam sabdanya: “Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari, Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah” dari sahabat Abu Hurairah).

Dua kelompok besar yang dimaksud dalam hadits ini—sebagaimana diterangkan oleh para ulama—adalah sahabat Ali bersama barisannya dari penduduk Irak dan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan bersama barisannya dari penduduk Syam1. Berita gaib dari Rasulullah ini benar-benar terwujud sebagai salah satu mukjizat beliau yang terjadi pada masa awal Islam (yakni di saat para sahabat masih hidup)2. Shiffin adalah sebuah daerah yang berdekatan dengan negeri Riqqah di tepian sungai Efrat (=Furat, sungai di Irak). Di sanalah terjadi perang antara penduduk Irak di barisan sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib dan penduduk Syam di barisan sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pada bulan Shafar 37 H. Sangat besar jumlah kaum muslimin yang terbunuh dalam Perang Shiffin. Tujuh puluh ribu muslimin, bahkan dikatakan lebih dari itu, harus mengembuskan napas terakhirnya di sahara Shiffin. Semoga Allah merahmati mereka.

Sikap Ahlus Sunnah dalam Perang Shiffin

Tidak diragukan, Perang Shiffin adalah ujian berat bagi kaum muslimin saat itu dan yang sesudahnya hingga hari kiamat. Perang Shiffin, dalam tarikh Islam ibarat pedang bermata dua yang sangat tajam. Siapa yang berhati-hati memegangnya, ia akan selamat dan memperoleh kemenangan. Akan tetapi, siapa yang gegabah dan menzalimi dirinya dalam mencerna dan menyikapinya, pedang itu akan berbalik menusuk dadanya, merobek jantungnya hingga dia terkapar, binasa, dan terempas badai fitnah sembari membawa kemurkaan Allah, Rabbul ‘Alamin. Bagaimana seorang muslim menyikapi Perang Shiffin? Jawaban atas pertanyaan ini adalah: Wajib bagi seorang mukmin mengikuti bimbingan Rasulullah dan menyusuri jejak para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam menyikapi fitnah Shiffin. Allah berfirman: “Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115).

Ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menegaskan bahwa salah satu akidah yang dengannya seorang berbenteng dari terpaan fitnah adalah menahan diri membicarakan persengketaan yang terjadi di antara para sahabat. Sesungguhnya, apa yang ditegaskan dan disepakati oleh salaf adalah bagian dari wasiat Rasulullah dalam banyak sabda beliau. Di antaranya: “Jika disebut-sebut tentang (perselisihan) sahabatku, tahanlah diri kalian (dari mencela mereka).” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34]). Demikian pula sabda beliau: “Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan menandingi satu mud sedekah mereka atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim).

Inilah adab yang diajarkan oleh Allah kepada kita dalam bersikap terhadap para sahabat Rasulullah. Kita tidak berkata tentang mereka selain kebaikan dan kita selalu mendoakan mereka. Allah berfirman: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10). Suatu saat, al-Imam Ahmad ditanya tentang apa yang terjadi antara dua sahabat mulia, Ali dan Mu’awiyah. Beliau pun menjawab dengan membacakan firman Allah: “Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 141). Benar, mereka adalah kaum yang telah berlalu membawa amalan-amalan yang menyebabkan Allah ridha. Mereka telah mencurahkan segala kemampuan untuk kebaikan Islam. Adapun kesalahan yang terjadi pada diri mereka adalah hal yang bisa terjadi, karena tidak ada seorang sahabat pun yang maksum. Hanya saja, Allah telah mengampuni dan meridhai mereka semua.

Alasan Wajibnya Menahan Diri Membicarakan Fitnah antara Sahabat

Kewajiban menjaga diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat adalah prinsip Ahlus Sunnah yang sangat mendasar. Siapa yang melanggar prinsip ini, ia telah keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ada beberapa sebab yang mendasari kewajiban menahan diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat—termasuk Perang Shiffin, peperangan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah—di antaranya:

1. Rasulullah memerintahkan kita untuk diam dan menahan diri ketika sahabat-sahabat Rasul dibicarakan. Rasulullah bersabda: “Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri kalian!” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34]).

2. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat—tanpa diiringi ketakwaan dan akidah yang sahih—tidak memberikan faedah, baik ilmu maupun amal. Lihatlah al-Khawarij dan Rafidhah, misalnya. Khawarij memandang dua kelompok yang berperang, yaitu sahabat Ali dan Mu’awiyah kafir. Adapun Rafidhah mengkafirkan Mu’awiyah. Padahal dengan tegas Rasulullah menyifati kedua kelompok itu dengan keimanan. Demikian pula, salaf bersepakat bahwa dua barisan tersebut adalah kaum muslimin. Perhatikan sabda beliau: “Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin).” (HR. al-Bukhari).

3. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat boleh jadi justru mengantarkan seseorang kepada akibat buruk yang tidak diharapkan, seperti pencelaan terhadap para sahabat Rasul. Hal ini menyebabkan dia tergelincir dengan munculnya kebencian terhadap sebagian atau banyak sahabat hingga ia pun binasa. Maka dari itu, hendaknya pintu ini ditutup. Di samping itu, termasuk pokok-pokok syariat adalah saddu adz-dzari’ah, menutup jalan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan.

4. Tarikh (sejarah) fitnah yang terjadi di tengah-tengah sahabat telah disusupi kebatilan oleh ahlul bid’ah, kaum munafik, Rafidhah, dan musuh-musuh Islam. Hal ini sebagaimana telah kita gambarkan dalam Kajian Utama Konspirasi Mencabik Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kenyataan ini tentu membuat seseorang khawatir untuk masuk kepada pembahasan fitnah. Boleh jadi, ia membangun sebuah kesimpulan atau keyakinan (i’tiqad) di atas berita yang dusta atau lemah sehingga rusaklah agamanya.

5. Fitnah di antara sahabat telah terjadi di zaman yang sangat jauh dari zaman kita. Sangat susah bagi kita sampai kepada hakikat sesungguhnya dari fitnah yang terjadi, bahkan mustahil kita mengetahui kejadian itu secara detail. Tidakkah kita renungkan sejarah negeri kita, sejarah perjuangan kemerdekaan misalnya atau sejarah gerakan komunis PKI yang tidak jauh dari masa kita, tahun 60-an. Untuk mengetahui segala rentetan peristiwa dengan detail adalah perkara yang rumit. Lalu apa pendapat Anda tentang sejarah Perang Shiffin yang telah berlalu empat belas abad silam, dalam keadaan sejarah telah dimasuki oleh berita-berita dusta. Tidakkah seorang mengkhawatirkan diri dan agamanya ketika gegabah masuk ke dalamnya? Inilah beberapa sebab yang mengharuskan seseorang tidak masuk dalam pembahasan fitnah melainkan jika diperlukan. Itu pun harus diiringi dengan akidah yang benar, akhlak mulia, dan rambu-rambu yang selalu diikuti dengan melihat penjelasan ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, serta selalu menimbang berita dengan timbangan dan kaidah ulama.

Sepintas Kronologi Perang Shiffin

Orang-orang yang bodoh dari penduduk Mesir terhasut bujukan Ibnu Saba’ al-Yahudi untuk berserikat menggulingkan Utsman bin ‘Affan dari kekhilafahan hingga berakhir dengan pembunuhan Khalifah ar-Rasyid3. Wafatnya Utsman bin Affan menjadi awal cobaan dan fitnah bagi kaum muslimin, sebagaimana dikabarkan beritanya oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat4.” Kondisi daulah menjadi genting dan sangat mencekam. Musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan, seperti munafikin dan orang kafir, semakin mengintai. Demikian pula kelompok-kelompok sempalan yang sesat, seperti sekte Khawarij dan Syiah Rafidhah, memanfaatkan keadaan yang semakin tidak menentu. Hari-hari fitnah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah pun datang bergelombang.

Semenjak wafatnya Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib menjadi manusia termulia di muka bumi dengan kesepakatan sahabat. Kaum muslimin, sahabat Muhajirin dan Anshar, berbai’at kepada Ali sebagai Amirul Mukminin, menggantikan Utsman bin Affan5 di tengah-tengah kondisi negeri yang membutuhkan kesabaran. Setelah Ali bin Abi Thalib menjadi amirul mukminin, sekelompok sahabat menginginkan agar kasus pembunuhan Utsman bin Affan segera dituntaskan dengan menegakkan qishash atas para pembunuh beliau karena mereka telah mencoreng kehormatan darah, kehormatan tanah haram, dan kehormatan bulan haram. Apalagi, manusia yang dibunuh adalah sahabat Utsman bin Affan. Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ummul Mukminin Aisyah. Berbeda halnya dengan Ali bin Abi Thalib. Beliau berpandangan untuk menunda kasus pembunuhan Utsman hingga kondisi negara membaik.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan—sebagai wali Utsman bin ‘Affan secara syariat—berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33). Mu’awiyah memandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda. Ijtihad Mu’awiyah berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu, beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman diserahkan untuk ditegakkan qishash. Ketika itu, Mu’awiyah adalah gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin Affan. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah bai’at Mu’awiyah dan penduduk Syam. Ibnu Katsir berkata, “Ketika bai’at telah kokoh untuk Ali bin Abi Thalib, beberapa sahabat seperti Thalhah, az-Zubair, dan para pemuka sahabat mengunjungi Ali. Mereka meminta Ali segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas darah Utsman. Namun, Ali menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan qishash, -pen.) karena pembunuh-pembunuh Utsman memiliki bala bantuan dan kroni-kroni, sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu (al-Bidayah 7/239).

Kondisi daulah semakin diperparah dengan terjadinya Perang Jamal, yang sesungguhnya adalah bagian dari makar orang-orang Khawarij dan konspirasi para pembunuh Utsman bin Affan. Perang Jamal juga semakin menunjukkan betapa bahayanya kondisi daulah karena makar para penyulut fitnah. Perang Jamal terjadi pada 36 H. Sebab terjadinya perang ini diawali oleh keinginan baik Ummul Mukminin Aisyah untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-‘Awwam, dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Berjumpalah dua barisan besar kaum muslimin—barisan Ali dan Aisyah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Malam itu pun menjadi malam yang sangat indah dan tenang karena terwujudnya perdamaian. Namun, para penyulut fitnah tidak tinggal diam. Mereka melakukan makar dengan membuat penyerangan dari dua kubu sekaligus. Akhirnya, pecahlah kekacauan. Khalifah Ali bin Abi Thalib menyangka beliau diserang sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah, ia menyangka diserang sehingga harus membela diri. Terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui, tidak ada sahabat yang ikut dalam fitnah tersebut melainkan beberapa orang saja6. Kondisi yang semakin parah dan fitnah yang semakin meruncing, demikian pula makar Khawarij, Syiah Rafidhah, dan kaum munafik yang terus diembuskan, membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib semakin berat menegakkan qishash dan semakin kokoh mempertahankan ijtihad beliau demi kemaslahatan kaum muslimin.

Perlu menjadi perhatian, Ali bin Abi Thalib sesungguhnya tidak menyelisihi keinginan wali Utsman dan para sahabat yang menghendaki ditegakkannya qishash. Beliau sepakat dan berniat untuk menegakkan qishash. Namun, masalahnya tidak sesederhana yang dibayangkan—menangkap pembunuh Utsman lalu memenggalnya. Tidak sesederhana itu. Orang-orang yang mengepung rumah Utsman bin Affan dan berperan dalam pembunuhan beliau sangat banyak dan berpencar di tubuh kaum muslimin. Ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak sejalan dengan ijtihad sahabat Ali bin Abi Thalib. Ali memiliki sisi pandang yang berbeda dengan Mu’awiyah. Beliau melihat bahwa masa itu adalah zaman fitnah. Pembunuhan Utsman bin ‘Affan benar-benar merupakan fitnah yang demikian besar. Keadaan dan kondisi daulah benar-benar rumit dan membahayakan, baik internal maupun eksternal. Musuh-musuh Islam dari luar selalu mengintai dan melihat kelengahan kaum muslimin. Di samping itu, kaum munafik yang berada di dalam tubuh kaum muslimin juga mengintai dan menanti saat untuk menghancurkan Islam.

Dengan latar belakang kondisi daulah yang seperti ini, ‘Ali melihat untuk memperbaiki kondisi daulah lebih dahulu agar situasi menjadi tenang dan normal setelah kepiluan dan mendung kelabu menimpa kaum muslimin. Baru setelah itu qishash atas darah Utsman berusaha ditegakkan apabila memang wali Utsman menghendaki atau mungkin memaafkan dan diganti dengan diyat. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah: 178).

Terjadilah surat-menyurat antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Beliau mengutus Jarir bin Abdilah al-Bajali mengantar surat kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang berisi pemberitahuan bahwa sahabat Muhajirin dan Anshar telah memberikan bai’at kepada Ali. Beliau sangat mengharap Mu’awiyah segera berbai’at kepada Ali sebagaimana manusia yang lain. Sesampainya surat ke tangan Mu’awiyah, dipanggillah Amr bin al-Ash dan pemuka-pemuka Syam untuk dimintai pendapat. Berakhirlah musyawarah Mu’awiyah dengan tetap menolak bai’at sampai Ali membunuh para pembunuh Utsman bin Affan atau menyerahkannya kepada penduduk Syam. Kembalilah Jarir bin Abdillah dengan hasil ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan tersebut….

Dua hari berlalu kedua sahabat mulia tidak melakukan surat-menyurat. Ali bin Abi Thalib mengutus Basyir bin ‘Amr al-Anshari, Sa’id bin Qais al-Hamdani, dan Syabts bin Rib’i at-Tamimi menemui Mu’awiyah. “Pergilah kalian kepadanya. Ajak dia dalam ketaatan dan jamaah. Kalian dengarkan jawaban Mu’awiyah.” Setelah mereka bertemu Mu’awiyah, perbincangan tetap berakhir pada kekokohan Mu’awiyah di atas ijtihad beliau untuk menuntut darah pembunuh Utsman sebelum memberikan bai’at kepada Ali bin Abi Thalib7. Akhirnya, kedua pasukan bertemu. Perang tidak dapat dielakkan. Terjadilah seperti apa yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen.).”

Akhir Peperangan

Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yang terbunuh sangat besar, seperti berita ar-Rasul puluhan tahun silam. Di tengah peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah binasa. Lantas siapa yang akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam? Siapa pula yang akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”. Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa perang yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya untuk bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al-Ash dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Musa al-‘Asy’ari dari pihak Ali bin Abi Thalib. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih. Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah. Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Khalifah Ali bin Abi Thalib terus menyibukkan diri mengemban amanat sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah Rasulullah hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar memberantas kaum Khawarij.

Tahun Jama’ah, Kemuliaan al-Hasan & Keutamaan Mu’awiyah

Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam al-Khariji8. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin membai’at al-Hasan bin Ali menggantikan posisi ayahandanya. Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan masih terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan pertolongan Allah, pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yang sangat membahagiakan. Kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Bersatu pula hati mereka yang sebelumnya berselisih. Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Terwujudlah berita Rasulullah tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah. Al-Hasan berkata: Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan mendamaikan dengan sebab dia dua kelompok besar dari kaum muslimin’.” (HR. al-Bukhari no. 6692–2557). Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan kalimat Allah ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal. Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” (al-Bidayah wan Nihayah 8/122).

Syubhat Terkait dengan Perdamaian al-Hasan bin Ali dan Mu’awiyah

Lembaran tarikh yang sangat indah ini dikotori oleh para pendengki kebaikan dari kalangan Rafidhah dan yang semisalnya dengan tuduhan keji kepada al-Hasan. Mereka mengatakan bahwa al-Hasan terpaksa melakukan perdamaian karena dikhianati para pengikutnya. Digambarkan bahwa pasukan al-Hasan meninggalkan beliau sehingga terpaksa ia memberikan kekhilafahan kepada Mu’awiyah. Tidak, demi Allah. Perdamaian yang diberikan oleh al-Hasan adalah karena kedalaman ilmu dan ketakwaan beliau yang luar biasa. Ilmu dan ketakwaan seorang yang telah ditetapkan sebagai pemimpin para pemuda surga. Beliau memberikan perdamaian untuk menjaga darah kaum muslimin dan untuk meninggikan kalimat Allah, bukan karena takut. Terwujudlah sabda Rasul bahwa al-Hasan adalah sayyid (pemuka). Riwayat al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak mempertegas keadaan sesungguhnya dari perdamaian al-Hasan dengan Mu’awiyah. Al-Hasan berkata: “Sungguh kekuatan Arab ada pada tanganku. Mereka siap memerangi orang yang ingin aku perangi. Mereka pun akan memberikan jaminan keamanan kepada orang yang aku beri jaminan. Namun, aku meninggalkannya demi mengharap wajah Allah dan mencegah tertumpahnya darah umat Muhammad….” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 4795. Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini sahih menurut syarat Syaikhain dan disepakati oleh adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.”).

Kesimpulan dan Hakikat Penting yang Harus Dimengerti

Ahlus Sunnah meyakini bahwa sahabat tidaklah maksum. Akan tetapi, keutamaan, ibadah, dan istighfar mereka, serta sebab-sebab lainnya menjadikan dosa mereka gugur terpendam dalam lautan kemuliaan. Mu’awiyah sama sekali tidak bermaksud mencabut ketaatan kepada Ali atau merebut tampuk kekhilafahan. Beliau hanya berijtihad menunda bai’at hingga ditegakkan qishash. Beliau pun tidak menyangka bahwa ijtihad tersebut mengakibatkan terjadinya peperangan besar yang memakan banyak korban. Perang Shiffin sama sekali tidak diinginkan, baik oleh Ali maupun Mu’awiyah. Dua sahabat yang mulia berijtihad dengan ijtihad yang mereka pandang paling baik bagi kaum mukminin. Dengan demikian, mereka semua mendapatkan pahala dari ijtihad mereka sesuai dengan sabda Rasulullah, “Yang benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala atas ijtihadnya.” Abu Bakr Ibnu Abid Dunya berkata, “Abbad bin Musa bercerita kepadaku, Ali bin Tsabit al-Jazari berkata kepadaku, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Umar bin Abdul Aziz, beliau berkata: Aku melihat Rasulullah dalam mimpi duduk bersama Abu Bakr dan Umar. Aku ucapkan salam kepada beliau lalu duduk. Ketika aku duduk, dihadapkan Ali dan Mu’awiyah. Keduanya lantas dimasukkan ke dalam sebuah rumah dan ditutuplah pintunya. Aku pun menanti. Tidak lama kemudian keluarlah Ali seraya berseru, “Urusanku dibenarkan, demi Rabb Ka’bah.” Tidak selang lama keluarlah Mu’awiyah seraya berseru, “Aku telah diampuni, demi Rabb Ka’bah.”

Sahabat yang berselisih tidak saling merendahkan satu dengan lainnya, bahkan mereka tetap saling mencintai di atas kecintaan kepada Allah.9 Dalam Perang Shiffin, tidak ada sahabat yang ikut serta melainkan sangat sedikit. Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, Abu Musa al-Asy’ari, Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-Anshari, dan sahabat lainnya. Sa’d bin Abi Waqqash berkata ketika diajak berperang: “Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti siapa yang kafir dan siapa yang mukmin.” (HR. al-Hakim 4/444. Ia berkata, “Hadits ini sahih sesuai dengan syarat Syaikhain.” Ini disepakati oleh adz-Dzahabi).

Dua Kelompok yang Bertikai Adalah Kaum Mukminin

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah di atas. Hadits yang lebih tegas menunjukkan bahwa kedua pasukan adalah kaum mukminin, adalah hadits Abi Bakrah tentang keutamaan al-Hasan bin Ali. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin) dan Allah akan mendamaikan dengan sebab ia dua kelompok besar dari kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 6692 – 2557). Perang di antara mukminin mungkin terjadi sebagaimana firman Allah: “Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah keduanya.” (al-Hujurat: 9). Dua golongan besar kaum muslimin bersatu pada 41 H, yang dikenal sebagai ‘Amul Jama’ah (tahun persatuan), atas jasa al-Hasan bin Ali, cucu Rasulullah, pemimpin pemuda ahlul jannah.

Catatan Kaki:
1 Lihat Fathul Bari (13/92).
2 Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (18/13).
3 Sejarah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan dapat dilihat kembali pada Majalah Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah.
4 HR. Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no. 3952, serta dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1773.
5 Selain Mu’awiyah sebagai gubernur Syam, demikian pula penduduk Syam menunda bai’at hingga ditegakkan qishash atas para pembunuh Utsman.
6 Lihat Tasdid al-Ishabah fima Syajara Bainash Shahabah, oleh Dziyab bin Sa’d al-Ghamidi dengan pengantar asy-Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan.
7 Lihat Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ibnu Jarir ath-Thabari (4/573) dan al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (7/280).
8 Kisah meninggalnya Ali bin Abi Thalib z dapat dilihat kembali pada Majalah Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik Kajian Utama berjudul Manusia Paling Celaka adalah Pembunuhmu, Wahai Ali!
9 Al-Intishar lish Shahabatil Akhyar, asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hlm. 173—178.