Selasa, 26 Februari 2013

Khawarij, Kelompok Sesat Pertama Dalam Islam

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc. dalam Majalah Asy Syariah)

Laa hukma illa lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah). Kata-kata ini haq adanya, karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika kemudian ditafsirkan menyimpang dari pemahaman as-salafush shalih, kebatilanlah yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah, Khawarij, kelompok sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya mereka mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin.

Siapakah Khawarij?

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah di akhir masa kepemimpinan Utsman bin ‘Affan yang mengakibatkan terbunuhnya beliau. Kemudian di masa kepemimpinan ‘Ali bin Abu Thalib, keadaan mereka semakin buruk. Mereka keluar dari ketaatan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib, mengafirkannya, dan mengafirkan para sahabat. Ini disebabkan para sahabat tidak menyetujui mazhab mereka. Dan mereka menghukumi siapa saja yang menyelisihi mazhab mereka dengan hukuman kafir. Akhirnya mereka pun mengafirkan makhluk-makhluk pilihan yaitu para sahabat Rasulullah.” (Lamhatun ‘anil Firaqidh Dhallah, hlm. 31).

Cikal-bakal mereka telah ada sejak zaman Rasulullah. Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Ketika kami berada di sisi Rasulullah dan beliau sedang membagi-bagi (rampasan perang), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim, kepada beliau. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, berbuat adillah!’ Rasulullah pun bersabda, ‘Celaka engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.’

Maka Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk memenggal lehernya!’ Rasulullah berkata, ‘Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian merasa bahwa shalat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan puasa mereka. Mereka selalu membaca Al-Qur’an namun tidaklah melewati tenggorokan mereka1. Mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah2. Dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf-nya (tempat masuknya nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat nadhiy-nya (batang anak panah) juga tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada pada anak panah) juga tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah (hewan buruan itu). Ciri-cirinya, (di tengah-tengah mereka) ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payudara wanita atau seperti potongan daging yang bergoyang-goyang. Mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”

Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Aku bersaksi bahwa aku mendengarnya dari Rasulullah. Aku bersaksi pula bahwa ‘Ali bin Abu Thalib yang memerangi mereka dan aku bersamanya. Maka ‘Ali memerintahkan untuk mencari seorang laki-laki (yang disifati oleh Rasulullah, di antara mayat-mayat mereka) dan ditemukanlah ia lalu dibawa (ke hadapan ‘Ali). Aku benar-benar melihatnya sesuai dengan ciri-ciri yang disifati oleh Rasulullah.” (Sahih, HR. al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, “Kitabuz Zakat, bab Dzikrul Khawarij wa Shifaatihim”, 2/744). Asy-Syihristani berkata, “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan Khariji (seorang Khawarij), baik keluarnya di masa sahabat terhadap al-Khulafa ar-Rasyidin maupun terhadap pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.” (al-Milal wan Nihal, hlm. 114).

Mengapa Disebut Khawarij?3

Al-Imam an-Nawawi berkata, “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah: “Akan keluar dari diri orang ini…” (al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 7/145). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.” (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296). 

Mereka juga biasa disebut dengan al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Irak dekat Kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para sahabat Rasulullah) (al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 7/145). Disebut pula dengan al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq (keluar)nya mereka dari din (agama). Disebut pula dengan al-Muhakkimah, karena mereka selalu mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannya kebatilan. Disebut pula dengan an-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib (Firaq Mu’ashirah, 1/68—69, Dr. Ghalib bin ‘Ali al-Awaji, secara ringkas).

Bagaimanakah Mazhab Mereka?

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata bahwa mazhab mereka adalah tidak berpegang dengan As-Sunnah wal Jamaah, tidak menaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin, pen), berkeyakinan bahwa memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini menyelisihi apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah agar senantiasa menaati pemerintah (dalam hal yang ma’ruf/yang tidak bertentangan dengan syariat) dan menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian.” (an-Nisa’: 59). Allah dan Nabi-Nya menjadikan ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka, dan ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hlm. 31—33). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Mereka berkeyakinan atas kafirnya ‘Utsman bin ‘Affan dan orang-orang yang bersamanya. Mereka juga berkeyakinan sahnya kepemimpinan ‘Ali (sebelum kemudian dikafirkan oleh mereka, pen.) dan kafirnya orang-orang yang memerangi ‘Ali dari Ahlul Jamal4” (Fathul Bari, 12/296). Al-Hafizh juga berkata, “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan akidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta, dan keluarganya” (Fathul Bari, 12/297). Beliau juga berkata, “Mereka terpecah dalam banyak kelompok. Namun di antara prinsip yang disepakati oleh mereka semuanya adalah berpegang dengan Al-Qur’an dan menolak segala tambahan yang terdapat di dalam hadits Rasulullah secara mutlak.” (Fathul Bari, 1/502).

Peperangan antara Khawarij dan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib

Setelah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh, maka orang-orang Khawarij ini bergabung dengan pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib. Dalam setiap pertempuran pun mereka selalu bersamanya. Ketika terjadi pertempuran Shiffin (tahun 38 H) antara pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib dengan pasukan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dari penduduk Syam yang terjadi selama berbulan-bulan—dikarenakan ijtihad mereka masing-masing—, ditempuhlah proses tahkim (pengiriman seorang utusan dari kedua belah pihak guna membicarakan solusi terbaik bagi masalah yang sedang mereka alami).

Orang-orang Khawarij tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa hukum itu hanya milik Allah dan tidak boleh berhukum kepada manusia. Demikian pula tatkala dalam naskah ajakan tahkim dari ‘Ali bin Abu Thalib termaktub: “Inilah yang diputuskan oleh Amirul Mukminin ‘Ali atas Mu’awiyah…” lalu penduduk Syam tidak setuju dengan mengatakan, “Tulislah namanya dan nama ayahnya,” (tanpa ada penyebutan Amirul Mukminin). ‘Ali pun menyetujuinya, namun orang-orang Khawarij tetap mengingkari persetujuan itu.

Setelah disepakati utusan masing-masing pihak yaitu Abu Musa al-Asy’ari dari pihak ‘Ali dan ‘Amr bin al-‘Ash dari pihak Mu’awiyah, serta disepakati pula waktu dan tempatnya (Dumatul Jandal), maka berpisahlah dua pasukan tersebut. Mu’awiyah kembali ke Syam dan ‘Ali kembali ke Kufah, sedangkan kelompok Khawarij dengan jumlah 8.000 orang (ada yang menyebutkan lebih dari 10.000 orang dan riwayat lain 6.000 orang), memisahkan diri dari ‘Ali dan bermarkas di daerah Harura yang tidak jauh dari Kufah.

Pemimpin mereka saat itu adalah Abdullah bin Kawwa’ al-Yasykuri dan Syabats at-Tamimi. Maka ‘Ali mengutus sahabat Abdullah bin ‘Abbas untuk berdialog dengan mereka yang lantas banyak dari mereka yang kemudian rujuk. Lalu ‘Ali keluar menemui mereka, maka mereka pun akhirnya menaati ‘Ali, dan ikut bersamanya ke Kufah, bersama dua orang pemimpin mereka. Kemudian mereka membuat isu bahwa ‘Ali telah bertaubat dari masalah tahkim. Hal itulah yang membuat mereka kembali bersama ‘Ali. Sampailah isu ini kepada ‘Ali, lalu ia berkhutbah dan mengingkarinya. Maka mereka pun saling berteriak dari bagian samping masjid (dengan mengatakan), “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” ‘Ali pun menjawab, “Kalimat yang haq (benar) namun yang dimaukan dengannya adalah kebatilan!”.

Kemudian ‘Ali berkata kepada mereka, “Hak kalian yang harus kami penuhi ada tiga: kami tidak akan melarang kalian masuk masjid, tidak akan melarang kalian dari rezeki fai’, dan tidak akan pula memulai penyerangan selama kalian tidak berbuat kerusakan.” Secara berangsur-angsur pengikut Khawarij akhirnya keluar dari Kufah dan berkumpul di daerah al-Mada’in. ‘Ali senantiasa mengirim utusan agar mereka rujuk. Namun mereka tetap bersikeras menolaknya sampai ‘Ali mau bersaksi atas kekafiran dirinya dikarenakan masalah tahkim atau bertaubat. Lalu ‘Ali mengirim utusan lagi (untuk mengingatkan mereka), namun justru utusan tersebut hendak mereka bunuh. Mereka bahkan bersepakat bahwa yang tidak berkeyakinan dengan akidah mereka maka dia kafir, halal darah dan keluarganya.

Aksi mereka kemudian berlanjut dalam bentuk fisik, yaitu menghadang dan membunuh siapa saja dari kaum muslimin yang melewati daerah mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin al-Art —yang saat itu menjabat sebagai salah seorang gubernur ‘Ali bin Abu Thalib—berjalan melewati daerah kekuasaan Khawarij bersama budak wanitanya yang tengah hamil, mereka pun membunuhnya serta merobek perut budak wanitanya untuk mengeluarkan janin dari perutnya.

Sampailah berita ini kepada ‘Ali, maka ia pun keluar untuk memerangi mereka bersama pasukan yang sebelumnya dipersiapkan ke Syam. Akhirnya mereka berhasil ditumpas di daerah Nahrawan beserta para gembong mereka seperti Abdullah bin Wahb ar-Rasibi, Zaid bin Hishn ath-Tha’i, dan Harqush bin Zuhair as-Sa’di. Tidak selamat dari mereka kecuali kurang dari 10 orang, dan tidaklah terbunuh dari pasukan ‘Ali kecuali sekitar 10 orang. Sisa-sisa Khawarij ini akhirnya bergabung dengan simpatisan mazhab mereka dan sembunyi-sembunyi semasa kepemimpinan ‘Ali, hingga salah seorang dari mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh ‘Ali yang saat itu hendak melakukan shalat subuh (diringkas dari Fathul Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, 12/296—298, dengan beberapa tambahan dari al-Bidayah wan Nihayah, karya al-Hafizh Ibnu Katsir, 7/281).

Kafirkah Khawarij?

Kafirnya Khawarij masih diperselisihkan di kalangan ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sebagian besar ahli ushul dari Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya Khawarij adalah orang-orang fasiq dan hukum Islam berlaku atas mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan selalu melaksanakan rukun-rukun Islam. Mereka dihukumi fasiq, karena pengafiran mereka terhadap kaum muslimin berdasarkan takwil (penafsiran) yang salah, yang akhirnya menjerumuskan mereka pada keyakinan akan halalnya darah dan harta orang-orang yang bertentangan dengan mereka, serta persaksian atas mereka dengan kekufuran dan kesyirikan.” (Fathul Bari, 12/314). Al-Imam al-Khaththabi berkata, “Ulama kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya Khawarij dengan segala kesesatannya tergolong firqah dari firqah-firqah muslimin, boleh menikahi mereka, memakan sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama masih berpegang dengan pokok keislaman.” (Fathul Bari, 12/314). Al-Imam Ibnu Baththal berkata, “Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Khawarij tidak keluar dari kumpulan kaum muslimin (masih muslim, red.).” (Fathul Bari, 12/314).

Sebab-Sebab Kesesatan Khawarij

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Yang demikian itu disebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam, bersamaan dengan wara’ (sikap kehati-hatian), ibadah, dan kesungguhan mereka. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi bencana bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hlm. 35). Demikan pula, mereka enggan untuk mengambil pemahaman para sahabat (as-Salafush Shalih) dalam memahami masalah-masalah din ini, sehingga terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.

Anjuran Memerangi Mereka5

Rasulullah bersabda: “Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij, pen.), perangilah mereka! Karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (Sahih HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747, dari sahabat ‘Ali bin Abu Thalib). Beliau  juga bersabda: “Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum ‘Aad.” (Sahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri). Dalam lafadz yang lain, beliau bersabda: “Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum Tsamud.” (Sahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri). Al-Imam Ibnu Hubairah berkata, “Memerangi Khawarij lebih utama dari memerangi orang-orang musyrikin. Hikmahnya, memerangi mereka merupakan penjagaan terhadap ‘modal’ Islam (kemurnian Islam, pen.), sedangkan memerangi orang-orang musyrikin merupakan ‘pencarian laba’, dan penjagaan modal tentu lebih utama.” (Fathul Bari, 12/315).

Samakah Musuh-Musuh ‘Ali bin Abu Thalib dalam Perang Jamal dan Shiffin dengan Khawarij?

Pendapat yang menyatakan bahwa musuh-musuh ‘Ali bin Abu Thalib sama dengan Khawarij ini tentunya tidak benar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun jumhur ahli ilmu, mereka membedakan antara orang-orang Khawarij dengan Ahlul Jamal dan Shiffin, serta selain mereka yang terhitung sebagai penentang dengan berdasarkan ijtihad. Inilah yang ma’ruf dari para sahabat, keseluruhan ahlul hadits, fuqaha, dan mutakallimin. Di atas pemahaman inilah, nash-nash mayoritas para imam dan pengikut mereka dari murid-murid Malik, asy-Syafi’i, dan selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 35/54).

Nasihat dan Peringatan

Mazhab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak akidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu, asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati mazhab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hlm. 37). Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Padanya terdapat dua pengertian: Pertama, hati mereka tidak memahami Al-Qur’an tersebut dan tidak pula mengambil manfaat dari apa yang mereka baca. Mereka tidak melakukan kecuali hanya sebatas bacaan mulut dan tenggorokan yang dengannya keluar potongan-potongan huruf. Kedua, amalan dan bacaan mereka tidak diterima di sisi Allah.” (Ta’liq Shahih Muslim, 2/740, Muhammad Fuad Abdul Baqi).
2 Al-Imam al-Mubarakfuri berkata, “Ar-Ramiyyah adalah hewan buruan yang dipanah. Keluarnya mereka (Khawarij) dari agama ini diumpamakan dengan anak panah yang mengenai buruan lalu masuk hingga tembus. Karena begitu cepatnya laju anak panah tersebut (dikarenakan kuatnya si pemanah) maka tidak ada sesuatu pun dari jasad (darah ataupun daging) hewan buruan itu yang berbekas pada anak panah.” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/426).
3 Kata “Khawarij” merupakan bentuk jamak dari “kharij” yang artinya “orang yang keluar”.
4 Ahlul Jamal adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah, az-Zubair bin al-’Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan orang-orang yang bersama mereka yang menuntut dihukumnya para pembunuh Utsman bin Affan, setelah mereka membai’at ‘Ali bin Abu Thalib (pen).
5 Adapun memerangi mereka bukanlah urusan perseorangan atau kelompok tertentu namun di bawah naungan pemerintah, sebagaimana dijelaskan para ulama tentang aturannya dalam kitab-kitab fiqih.