Senin, 06 Mei 2013

Poligami Dalam Ranah Sosial Kemasyarakatan

(oleh: al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi dalam Majalah Asy Syariah)


Fakta Unik Poligami

Poligami adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mempunyai istri lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Dalam Bahasa Arab, poligami disebut ta’addud az-zaujat. Bagi kaum pria, pembahasan tentang poligami acap kali menjadi bunga hati. Cobalah amati saat mereka bergumul membicarakan masalah yang satu ini. Bukankah mayoritas mereka mengikutinya dengan antusias? Seakan jiwa mereka terfitnah (baca: terfitrah) dengan poligami. Meskipun pada praktiknya, tidak semua pria siap menjalaninya.

Berbeda halnya dengan kaum wanita, khususnya para istri. Kata poligami tergolong sensitif bagi mereka. Bahkan untuk mendengarnya saja berat, apalagi dipoligami. Mungkin karena persepsi mereka bahwa poligami adalah monopoli kaum pria atau diskriminasi terhadap hak-hak kaum wanita. Tak heran, bila poligami sering dijadikan bahan curhat (curahan hati) di antara kaum hawa. Semakin runyam, manakala gerakan para ulama Islam terkemuka menyatakan bahwa di antara keindahan Islam dan perhatiannya yang besar terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan serta penanganannya terhadap berbagai problematika umat adalah adanya syariat poligami (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 21/248).

Emansipasi wanita dan hak asasi manusia mulai merebak di tengah umat. Akibatnya, berbagai syubhat (kerancuan berpikir) antipoligami pun menjadi konsumsi harian para istri. Karena itu, tak sedikit para istri yang dipoligami merasa jengkel dan tersulut emosi. Ibarat api dalam sekam. Baranya terus menjalar, perlahan namun pasti. Luapan kemarahan akhirnya menjadi solusi. Para suami dihujat dan digugat. Tak sedikit dari mereka yang tercemar nama baiknya bahkan terempas dari kedudukannya. Seakan telah melakukan dosa besar yang tak bisa diampuni lagi. Lain masalah ketika para suami itu berbuat serong, punya wanita idaman lain (WIL) yang tak halal baginya alias selingkuh. Reaksi sebagian istri justru tak sehebat ketika dipoligami.

Bahkan, tak sedikit dari mereka yang diam seribu bahasa. Yang penting tidak dimadu! Itulah sekira letupan hati mereka. Tak heran, bila di antara para suami “bermasalah” itu lebih memilih berbuat selingkuh daripada poligami. Bisa jadi karena pengalaman mereka bahwa selingkuh itu “lebih aman” daripada poligami. Sampai-sampai ada sebuah pelesetan, selingkuh itu “selingan indah keluarga utuh”. Padahal selingkuh itu menjijikkan. Selingkuh adalah zina. Selingkuh diharamkan dalam agama dan tak selaras dengan fitrah suci manusia. Demikianlah di antara ragam fakta unik yang terjadi dalam ranah sosial kemasyarakatan kita. Memang aneh, tapi nyata.

Sejarah Poligami

Menilik sejarahnya, poligami bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan umat manusia. Sejak dahulu kala umat manusia telah menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Bahkan, di antara mereka adalah para nabi dan rasul yang mulia. Cobalah ingat kembali sosok Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bukankah beliau berpoligami?! Dari Sarah istri beliau yang pertama, lahir Nabi Ishak ‘Alaihissalam yang menurunkan para nabi dan rasul di kalangan Bani Israil. Adapun dari Hajar istri beliau yang kedua, lahir pula Nabi Isma’il ’Alaihissalam yang menurunkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sepenggal kisah dari kehidupan mereka yang mulia telah diabadikan dalam beberapa surat dari al-Qur’an.

Demikian pula Nabi Dawud ’Alaihissalam dan Nabi Sulaiman ’Alaihissalam serta sejumlah nabi yang lain, mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Ketika orang-orang mulia dari kalangan nabi dan rasul telah menjalaninya, berarti poligami itu tidaklah tercela. Kalaulah poligami itu tercela dan berefek negatif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, pasti Allah Subhanahu wata’ala melarangnya. Para pembaca yang mulia, dari sejarah poligami di atas dapat diambil pelajaran berharga bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah rasul pertama yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Demikian pula agama Islam yang beliau bawa, bukan yang mengawali syariat poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Bedanya, syariat poligami yang terdapat dalam agama Islam tertata, adil, dan jauh dari perbuatan zalim. Pada zaman dahulu, jumlah istri dalam praktik poligami tidak dibatasi. Siapa saja boleh memperbanyak istri tanpa ada batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, jumlah itu dibatasi, maksimal empat orang istri saja. Pada zaman dahulu, orang bebas berpoligami sekehendak hatinya. Dengan hanya modal semangat pun bisa. Setelah kedatangan Islam, orang yang berpoligami tidak cukup hanya dengan modal semangat, tapi juga harus dengan pertimbangan yang matang. Bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja. Pada zaman dahulu, amalan poligami dijalani berdasarkan “kebijakan” suami. Setelah kedatangan Islam, amalan poligami harus dijalani berdasarkan aturan syariat. Yaitu, dengan menegakkan prinsip keadilan dan kehati-hatian terkait dengan hak para istri dalam hal: nafkah, tempat tinggal, waktu menginap (giliran bermalam), dan kewajiban lainnya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi  telah berpoligami dengan sembilan orang istri. Allah Subhanahu wata’ala menjadikan mereka bermanfaat bagi umat. Melalui merekalah sejumlah ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia, dan budi pekerti luhur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (terutama saat berada di tengah-tengah keluarganya, pen.) dapat tersampaikan kepada umat. Nabi Dawud ’Alaihissalam dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam juga telah berpoligami dengan para istri yang banyak jumlahnya dengan seizin Allah Subhanahu wata’ala. Demikian pula tidak sedikit dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi setelah mereka yang berpoligami. Sungguh, amalan poligami ini telah dijalani oleh umat terdahulu yang telah mencapai kemajuannya, sebagaimana pula telah dijalani oleh Bangsa Arab jahiliah sebelum Islam. Datanglah Islam dengan memberikan berbagai batasan padanya dan menentukan jumlah maksimal untuk umat Islam dengan empat orang istri, sedangkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dibolehkan lebih dari empat orang istri sebagai kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam karena hikmah, rahasia, dan maslahat di balik itu semua.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 21/239).

Ada Apa dengan Poligami?

Poligami tergolong topik yang kontroversial di tengah umat. Tarik ulur bahkan perdebatan sengit sering terjadi seputarnya. Setiap pihak berbicara sesuai dengan strata/tingkatannya. Mulai kelas bawah yang “kampungan”, seperti “satu istri saja nggak habis, apalagi banyak.” Yang lain menimpali, “satu istri saja enak, apalagi banyak.” Hingga kelas atas yang pembicaraannya bernuansa ilmiah, seperti poligami itu syariat ilahi yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Dan jika kalian takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’: 3). Rasulullah selaku teladan terbaik umat manusia, menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami, sebagaimana yang dikisahkan dalam sirahnya. Demikian pula para sahabat beliau yang mulia, tidak sedikit dari mereka yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami, sebagaimana dalam kitab-kitab tarikh. Ini semua sebagai bukti bahwa poligami merupakan bagian dari syariat Islam yang mulia.

Yang lain menimpali, “memang benar poligami itu syariat ilahi, tapi ngono yo ngono ning ojo ngono (gitu ya gitu tapi jangan gitu).” Artinya, walaupun poligami itu termasuk dari syariat Islam yang mulia, tetapi perasaan kaum wanita juga harus diperhatikan. Lebih dari itu, banyak rumah tangga yang berantakan karena poligami! Perceraian tak dapat dihindari, anak-anak pun hidup tak menentu. Wallahul musta’an. Para pembaca sekalian, semoga hidayah dan taufik Allah Subhanahu wata’ala selalu mengiringi kita, tak dimungkiri bahwa pandangan dan pembicaraan tentang poligami sangat beragam di tengah umat ini. Namun, ada kaidah penting yang harus diperhatikan oleh setiap insan yang beriman dalam menyikapi berbagai permasalahan hidup, termasuk poligami. Yaitu, menerima segala syariat dan ketetapan yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lapang dada dan berbaik sangka kepada syariat-Nya, tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati.

Atas dasar itu, setiap mukmin dan mukminah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keimanan tidak boleh menolak syariat dan ketetapan yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’alal dan Rasul-Nya. Tidak boleh pula mendahulukan perasaan, logika, ataupun hawa nafsu atas segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Itulah di antara konsekuensi keimanan yang harus selalu dipegang erat-erat oleh setiap insan yang beriman. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36).

Dengan menerima segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya akan terwujud kehidupan yang berbahagia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala, “Hai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (al- Anfal: 24). Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratul Basyar Ilaiha mengatakan, “Maka Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sikap menyambut seruan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan sikap enggan menyambut seruan tersebut sebagai kematian. Sehingga jelaslah bahwa syariat Islam merupakan kehidupan bagi umat dan pangkal kebahagiaan mereka. Sungguh tidak ada kehidupan dan kebahagiaan bagi mereka tanpa itu semua.”

Sungguh berbeda kondisi orang-orang yang Allah Subhanahu wata’ala lapangkan dadanya untuk menerima agama Islam dengan segala syariat dan ketetapannya, dengan orang-orang yang telah membatu hatinya dan berkesumat benci terhadapnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Maka apakah orang-orang yang Allah lapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22). Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Apakah sama orang yang Allah Subhanahu wata’ala lapangkan dadanya untuk menyambut agama Islam, siap menerima dan menjalankan segala hukum syariat yang dikandungnya dengan penuh kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah makna firman Allah Subhanahu wata’ala, ‘ia mendapat cahaya dari Rabbnya’), sama dengan selainnya?! Yaitu orang-orang yang membatu hatinya terhadap Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala, dan berat hatinya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, kondisinya selalu berpaling dari ibadah kepada Rabbnya dan mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Subhanahu wata’ala. Merekalah orang-orang yang ditimpa kecelakaan dan kejelekan yang besar.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 668).

Para pembaca yang mulia, bila kita perhatikan dengan saksama, sungguh ketetapan tentang poligami yang sedang dipermasalahkan itu telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketetapan tentang poligami dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3. Demikian pula dalam as-Sunnah, ketetapan tentang poligami dijelaskan dengan praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah  dalam kehidupan rumah tangga beliau dan sejumlah hadits yang berisi aturan penting bagi siapa saja yang menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami. Dari sini terkandung pelajaran berharga bahwa poligami tidak lain adalah syariat ilahi yang ditetapkan dalam kitab suci al-Qur’an dan as- Sunnah. Setiap muslim dan muslimah harus membenarkan syariat tersebut dan menerimanya dengan lapang dada tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati. Terlepas apakah ada kemampuan untuk menjalaninya ataukah tidak. Mengingat, poligami itu sendiri hukum asalnya adalah sunnah atau mubah, bukan wajib.

Bahkan, bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja, sebagaimana yang dibimbingkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas. Adapun kasus-kasus kelabu seputar poligami: keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana, maka itu bukan karena syariat poligaminya. Penyebab utamanya adalah oknum yang menjalani poligami tersebut. Sama halnya dengan kasus-kasus kelabu seputar pernikahan yang tidak poligami atau perselingkuhan suami/istri: keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana. Penyebab utamanya adalah oknum yang bersangkutan, bukan syariat pernikahannya. Maka dari itu, pernikahan baik dengan poligami maupun tidak poligami tetaplah sebagai syariat ilahi yang mulia. Yang mencemarkannya adalah para oknum yang menjalaninya. Wallahul musta’an.

Di Balik Syariat Poligami

Para pembaca yang mulia, sesungguhnya di balik syariat poligami terdapat hikmah yang sangat besar dalam ranah sosial kemasyarakatan. Diantara hikmah tersebut adalah:

1. Poligami adalah sebab terbesar populasi umat Islam.

Dengan jumlah yang besar, umat Islam akan disegani oleh musuh-musuhnya. Lebih-lebih jika mereka berpegang teguh dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta bimbingan para sahabat yang mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senang dan bangga bila umat Islam banyak jumlahnya, sebagaimana dalam sabda beliau, “Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak keturunan (subur), karena aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian terhadap umat selain kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dan an- Nasa’i no. 3227. Asy-Syaikh al-Albani menilainya hasan sahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 1789, Shahih Sunan an-Nasa’i no. 3227, dan al- Irwa’ no. 1784).

2. Seorang istri dalam kehidupan rumah tangga pasti mengalami sakit.

Setiap bulannya secara normal mengalami haid, bahkan terkadang mengalami nifas di hari-hari melahirkan. Masih tersisa berbagai kondisi yang menjadi penghalang baginya untuk melayani kebutuhan biologis suaminya. Padahal lelaki (suami) selalu berhasrat dan siap untuk memperbanyak keturunan sebagaimana yang dihasung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas. Jika istrinya hanya satu orang, maka mau tidak mau harus menyesuaikan sang istri dalam segala kondisinya. Dengan demikian, dia terhalang untuk sementara waktu dari maslahat memperbanyak keturunan. Berbeda halnya jika mempunyai istri lebih dari satu. Maslahat itu akan tetap didapat dari istrinya yang lain.

3. Di antara para istri ada yang tak dikaruniai anak karena mandul atau yang lainnya, padahal kehidupan rumah tangganya tergolong harmonis.

Ketika sang suami berkeinginan untuk mempunyai anak lalu menikah dengan wanita yang lain, maka termasuk sikap bijak mempertahankan istri pertama dengan dipoligami dan tidak menceraikannya.

4. Di antara para istri ada yang menderita sakit berat yang menahun, seperti stroke dan sejenisnya, sehingga tidak mampu memenuhi mayoritas hak suami.

Termasuk sikap bijak dari sang suami, bersabar dengan kondisi istrinya yang sakit tersebut dan tidak menceraikannya. Sebagai solusinya adalah poligami. Dengan poligami, kebutuhan vital rumah tangganya dapat terpenuhi, dalam hal ini dengan adanya istri yang kedua. Di sisi lain, istri yang pertama tetap mendapatkan perhatian dan tidak terabaikan begitu saja.

5. Di antara ketetapan Allah (sunnatullah) di muka bumi ini bahwa jumlah kaum lelaki lebih sedikit dibandingkan jumlah kaum wanita.

Lebih dari itu, jenis akivitas kaum lelaki secara umum lebih berisiko daripada aktivitas kaum wanita. Dengan itu, jumlah mereka bisa semakin berkurang. Jika seorang lelaki dibatasi hanya satu orang istri, akan didapati banyak wanita yang hidup tanpa suami. Hal ini pun akan menjadi problem tersendiri bila mereka tak kuasa menjaga kesucian dirinya. Hubungan gelap, selingkuh, dan praktik asusila lainnya pun sebagai jalan pintasnya. Kehormatannya dijual dengan kenistaan, bahkan diberikan begitu saja kepada orang yang tak berhak mendapatkannya. Wallahul musta’an.

6. Secara umum, kaum wanita lebih siap menikah dibandingkan kaum lelaki.

Bisa jadi, karena beban seorang istri tak seberat beban suami, terkhusus dalam hal tanggung jawab pembinaan dan nafkah keluarga. Karena itu, tak sedikit dari kaum lelaki yang “takut” menikah. Sebabnya pun beragam, termasuk faktor finansial. Dari sini dapat diketahui bahwa jumlah kaum lelaki yang siap menikah jauh lebih sedikit dibandingkan kaum wanita. Oleh karena itu, jika seorang lelaki yang siap menikah dibatasi hanya satu orang istri saja, akan tersia-siakan nasib kaum wanita yang sudah siap menikah itu. Akibatnya, mereka akan hidup tanpa suami dan rawan menjadi sebab “kotornya” lingkungan.

7. Bersih lingkungan dari praktik asusila (zina) adalah harapan bersama dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Di antara solusi terbaik untuk menjaga kebersihan lingkungan tersebut adalah syariat poligami. Dengan poligami, akan tersalurkan kebutuhan masing-masing pihak secara halal dan terhormat. Dengan poligami pula, akan terjalin hubungan rumah tangga yang sah dan menjadi sebab terjaganya nasab keturunan.

8. Umat Islam membutuhkan kader yang sangat banyak untuk mengemban misi dakwah Islam yang mulia.

Di antara sistem pengkaderan yang alami dan efektif adalah dengan berpoligami. Terkhusus bagi orang-orang saleh, ulama, dan para tokoh muslim. Anak cucu mereka yang sekaligus sebagai para kader itu biidznillah akan banyak berperan dalam menopang perjuangan Islam. Semakin banyak jumlah mereka, tentu semakin diharapkan oleh umat. Jika orang-orang saleh, ulama, dan para tokoh muslim itu dibatasi menikah dengan satu orang istri saja, berjalannya kaderisasi di tengah umat ini kurang efektif. Berapa banyak kader mulia yang muncul dari keluarga yang berpoligami?! Masih ingatkah Nabi Ishak dan Nabi Ismail serta para nabi keturunan mereka? Bukankah mereka muncul dari keluarga yang berpoligami?

9. Syariat poligami dapat menjadi sebab terjalinnya hubungan kekerabatan dengan banyak pihak.

Dengan itu, akan diraih kemaslahatan yang besar. Adapun anggapan bahwa poligami adalah penyebab permusuhan dan kekacauan di tengah keluarga, maka tidak bisa dibenarkan secara mutlak. Sebab, permusuhan dan kekacauan di tengah keluarga itu bisa terjadi kapan saja: antara orang tua dan anaknya, menantu dan mertuanya, kakak dan adiknya, bahkan antara suami dan istrinya yang hanya satu orang saja. Jadi, jika dalam kehidupan berpoligami muncul permusuhan dan kekacauan di tengah keluarga, hal itu tergolong lumrah dan efeknya lebih kecil dibandingkan hikmah yang besar di balik syariat poligami yang menjaga kehormatan kaum wanita, memudahkan proses pernikahan untuk mereka semua, dan memperbanyak populasi umat Islam yang dapat menggentarkan musuh-musuh Islam (Disarikan dari Adhwaul Bayan karya asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi 3/22—23 dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta’ seri 1, 19/175—178 fatwa no. 3166, dengan beberapa tambahan).

Para pembaca yang mulia, dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan penting, di antaranya:

• Amalan poligami adalah syariat ilahi, sehingga setiap muslim dan muslimah harus menerimanya dengan lapang dada tanpa ada ganjalan sedikit pun di hati.

• Nabi Muhammad bukanlah rasul pertama yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan poligami. Demikian pula agama Islam yang beliau bawa, bukan yang mengawali syariat poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan.

• Syariat poligami dalam agama Islam tertata, adil, dan jauh dari perbuatan zalim. Oleh karena itu, apabila seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu orang istri saja, sebagaimana yang dibimbingkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3.

• Di balik syariat poligami terdapat hikmah yang sangat besar dalam ranah sosial kemasyarakatan. Dengan poligami, berbagai permasalahan umat terkhusus problem rumah tangga dapat dipecahkan. Akhir kata, demikianlah selayang pandang tentang poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin, ya Rabbal Alamin…


Rabu, 01 Mei 2013

Emansipasi, Propaganda Musuh-Musuh Islam

(sumber: Majalah Asy Syariah)

Hakikat Emansipasi Wanita

Emansipasi wanita tentu bukan lagi 'barang' yang asing saat ini. Terlebih istilah itu sering diserukan dan didengungkan baik melalui media cetak, media elektronik, ataupun forum-forum seminar. Emansipasi itu sendiri merupakan gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita (Lihat Kamus Ilmiah Populer). Lantas siapakah pengusungnya dan apa targetnya? Pengusungnya adalah musuh-musuh Islam. Sementara targetnya adalah untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dengan menampilkan potret yang bukan sebenarnya. Mereka kesankan bahwa Islam adalah agama yang memasung hak-hak kaum wanita, membelenggu kebebasannya serta mengubur segala potensinya. Target berikutnya adalah untuk menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan, manakala terpengaruh dengan syubhat emansipasi tersebut dan melepaskan dirinya dari rambu-rambu dan bimbingan Islam yang suci.

Demikianlah salah satu gerakan propaganda (usaha untuk memanipulasi persepsi) yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga amat tepat bila gerakan ini disebut dengan GPK (Gerakan Pengacau Keimanan), karena demikian gencarnya upaya yang mereka tempuh untuk mengacaukan keimanan umat Islam (terkhusus kaum wanitanya) dengan intrik manipulasi tersebut. Menyikapi hal ini umat Islam tak perlu kecil hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk menjaga agama Islam dari rongrongan para musuhnya. Bahkan Dia akan senantiasa menyempurnakan cahaya agama Islam tersebut dan memenangkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya: “Mereka berupaya untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (Ash-Shaff: 8-9). Di antara bentuk penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penyempurnaan-Nya terhadap cahaya agama Islam adalah dengan dimunculkannya para ulama yang senantiasa menjaganya dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang keliru yang dilakukan oleh orang-orang jahil.

Sejarah Kaum Wanita dalam Peradaban Umat Manusia

Catatan sejarah menunjukkan bahwasanya kehidupan kaum wanita di masa jahiliah amat memprihatinkan. Di kalangan orang Arab jahiliah, kaum wanita amatlah hina. Betapa marah dan malunya mereka bila diberi kabar tentang kelahiran anak wanitanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59). Demikian pula pada seluruh umat –selain umat Islam– baik di zaman dahulu maupun di masa kini, kaum wanita (mereka) tak mendapatkan kehormatan yang sepadan dengan nilai-nilai kewanitaannya bahkan kemanusiannya (Lebih rincinya lihat Al-Huquq wal Wajibat ‘Alar Rijal wan Nisa` fil Islam, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, www.rabee.net dan Tanbihat Ala Ahkam Takhtashshu bil Mu`minat, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan).

Para pembaca yang mulia, lalu bagaimanakah kaum wanita dalam sejarah peradaban Islam? Benarkah haknya dipasung, kebebasannya dibelenggu dan potensinya dipangkas, sebagaimana yang dipropagandakan para pengusung emansipasi? Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Adapun agama Islam, maka ia telah membebaskan kaum wanita dari belenggu, melepaskannya dari segala bentuk penindasan, kedzaliman, kegelapan, kenistaan dan perbudakan, serta memosisikannya pada posisi dan kedudukan mulia yang belum pernah didapati pada seluruh umat (selain Islam, pen.), baik dia berstatus sebagai ibu, anak, istri ataupun saudara perempuan. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya dari atas langit yang ketujuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13).

Kaum wanita tak perlu mengadakan muktamar-muktamar, seminar-seminar, atau simposium-simposium, untuk menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya berikut hak-haknya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkannya, dan umat Islam pun mengimaninya. Kaum wanita berhak berhijrah, dan berhak pula mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari kaum mukminin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang berhijrah kepada kalian para wanita yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kalian telah membuktikan bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10).

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa suatu kesalahan yang mereka perbuat. “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58). Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam siapa saja yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada (agama) orang-orang mukmin dan mukminah serta enggan bertaubat dengan siksa Jahannam. “Sesungguhnya orang-orang yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada orang-orang mukmin dan mukminah kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab yang membakar.” (Al-Buruj: 10). Tak luput pula Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memohon ampun dari segala dosanya dan memohonkan ampun bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita. “Maka ketahuilah, bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.” (Muhammad: 19).

Apabila musuh-musuh Islam tersebut ingin melihat secercah posisi wanita dalam agama Islam, maka tengoklah jenazahnya saat di antar ke pekuburan dan saat dishalati. Barangkali orang-orang kafir dan munafik itu akan lebih terheran-heran manakala menyaksikan ratusan ribu kaum muslimin di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang merapikan shafnya saat menshalati seorang wanita atau seorang bayi wanita. Demikianlah berbagai keistimewaan dan anugerah Islam untuk wanita mukminah yang tak akan didapati pada agama (selainnya) yang telah menyimpang. Agama baru yang diada-adakan ataupun aturan-aturan semu yang diklaim telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita. Lebih-lebih di era modern yang dikendalikan oleh Yahudi dan Nashara ini, kaum wanita benar-benar direndahkan dan dihinakan. Mereka dijadikan sebagai komoditas murahan dan obyek kesenangan kaum lelaki. Baik di dunia usaha, tempat kerja ataupun di keramaian. Begitupun di jagad mode serta beragam media (cetak, elektronik, hingga dunia maya). Wanita tampil sekadar benda penghias, baik sebagai SPG, bintang iklan, bintang sampul, dll. Kehormatan kaum wanita diinjak-injak dengan ditampilkannya aurat bahkan foto-foto telanjang mereka di sekian banyak media, demi memuaskan nafsu para lelaki hidung belang dengan pemandangan-pemandangan porno itu. Padahal dampak dari kerusakan ini bisa berupa mata rantai yang panjang. Badan statistik pun bisa-bisa bakal kesulitan untuk mensensus kejadian hamil (di luar nikah) dan jumlah anak jadah/haram.

Ini semua merupakan hasil (baca: akibat) dari aturan-aturan yang mengklaim telah berbuat adil terhadap kaum wanita dan telah memberikan segala haknya, termasuk dalam hal kebebasan dan persamaan hak. Juga sebagai akibat dari opini jahat yang selalu disuarakan sebagai bentuk dukungan terhadap segala aturan dan undang-undang yang menyelisihi ketentuan (syariat) Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Bijaksana yang dicakup oleh Islam baik yang terdapat dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, yang telah memberikan untuk masing-masing dari kaum lelaki dan wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, www.rabee.net).

Menyoroti Dalih-Dalih Emansipasi1

Para pembaca, sedemikian bijaknya sikap Islam terhadap kaum wanita dan juga kaum lelaki. Namun para pengusung emansipasi wanita pun masih belum puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Hakim, melalui agama Islam ini. Mereka menyoalnya, menentangnya dan mencemooh Islam dengan slogan-slogan klasik yang acap kali mereka suarakan: “Menuntut persamaan, kebebasan, dan keadilan”. Apapun yang bisa dijadikan dalil diangkatlah sebagai dalil, tak peduli haq ataukah batil. Padahal dengan gamblangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam Al-Qur`an: “Akan tetapi kaum lelaki (para suami), mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum wanita (istrinya).” (Al-Baqarah: 228). “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34). Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang menukilkan perkataan Istri ‘Imran): “Dan anak laki-laki itu tak sama dengan anak wanita.” (Ali ‘Imran: 36). Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yaitu dalam hal kekuatan, kesungguhan/ ketabahan dalam beribadah dan mengurus Masjid Al-Aqsha.” (Tafsir Ibnu Katsir). 

Para pembaca yang mulia, lebih ironi lagi manakala mereka ‘pelintir’ ayat-ayat Al-Qur`an demi melegalkan tuntutannya. Betapa rendahnya jalan yang mereka tempuh itu. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228). Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Islam tidak membedakan antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam semua haknya. Para pembaca, pendalilan tersebut tidaklah bisa dibenarkan, karena:

- Ayat di atas masih ada kelanjutannya yang jelas-jelas menunjukkan keutamaan kaum lelaki (para suami) atas kaum wanita (para istri). Kelanjutan ayat tersebut adalah: “…Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”

- Adanya perbedaan yang mencolok antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam banyak halnya (di antaranya penampilan fisik) yang menjadikan hak dan kewajiban mereka pun berbeda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran?!” (Az-Zukhruf: 18). Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Abd bin Humaid meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir “orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran” bahwa dia adalah kaum wanita. Maka dijadikanlah berbeda antara penampilan mereka (kaum wanita) dengan penampilan kaum lelaki, berbeda pula dalam hal warisan dengan dikuranginya jatah mereka daripada jatah kaum lelaki, demikian pula dalam hal persaksian. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka untuk duduk (tidak ikut berperang), maka dari itu mereka disebut khawalif (orang-orang yang tidak ikut berperang).” (Fathul Qadir, 4/659).

- Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah diciptakannya untuk kaum lelaki para istri dari jenis mereka (manusia) juga, supaya kaum lelaki cenderung dan merasa tentram kepadanya serta Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan antara keduanya rasa kasih dan sayang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21). Manakala kaum wanita diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk (kenikmatan) kaum lelaki dan sebagai tempat untuk merasakan ketentraman dan kasih sayang, maka berarti posisi kaum lelaki di atas kaum wanita. Sehingga ketika seorang wanita (istri) menganggap bahwa dirinya sepadan dengan suaminya dalam segala hak, atau merasa lebih daripada suaminya maka tak akan tercipta lagi suasana tentram dan rasa kasih sayang di antara mereka itu.

- Asal-muasal wanita (Hawa) adalah dari tulang rusuk lelaki (Nabi Adam ‘alaihissalam). Atas dasar itulah, maka kaum lelaki posisinya di atas kaum wanita. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97). Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak yang sama antara laki-laki dan wanita yang beriman dalam hal pahala, atas dasar itulah tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan wanita dalam hak maupun kewajiban kecuali satu kelebihan yaitu memberi nafkah yang merupakan kewajiban laki-laki. Para pembaca, pendalilan mereka tentang ayat di atas tidaklah benar, bahkan bertentangan dengan syariat dan akal yang sehat, sebagaimana penjelasan berikut ini:

- Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita semata-mata karena pemberian nafkah. Bahkan (lebih dari itu) Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkan mereka disebabkan kepemimpinannya atas kaum wanita (para istri). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34).

- Di antara hikmah diciptakannya kaum wanita oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk (kenikmatan) kaum lelaki di dunia dan juga di akhirat. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan dari nikmat (istri) tersebut nikmat yang berikutnya, yaitu dilahirkannya anak dan cucu sebagai permata hati yang tidaklah dinasabkan kecuali kepada ayahnya, fulan bin fulan atau fulanah binti fulan. Hal ini sebagai bukti akan kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Allah menjadikan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari para istri itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rizki dari yang baik-baik.” (An-Nahl: 72).

- Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari (pembagian) orang-orang musyrik yang menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak, dan anak-Nya adalah wanita. Sementara mereka memilihkan untuk diri mereka sendiri anak laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka apakah patut bagi kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza (milik kalian), dan Manat yang ketiga yang paling terkemudian (sebagai anak wanita Allah)?! Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) wanita?! Yang demikian itu tentulah pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22). Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni apakah kalian menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak dan anak-Nya adalah wanita, sementara kalian memilihkan untuk diri kalian sendiri anak laki-laki?! Padahal jika seandainya kalian berbagi (anak) sesama kalian dengan pembagian semacam itu, niscaya itu merupakan pembagian yang tidak adil. Bagaimanakah kalian berbagi dengan Rabb kalian dengan cara seperti itu, sementara bila hal itu diterapkan pada sesama kalian termasuk suatu kejahatan dan kebodohan?!” (Tafsir Ibnu Katsir). Keterangan di atas menunjukkan bahwa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita.

- Di antara balasan mulia bagi orang-orang beriman lagi beramal shalih yang disebutkan dalam Al-Qur`an adalah para istri yang suci di dalam Al-Jannah. Hal ini menunjukkan betapa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal shalih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga (selanjutnya ditulis: Al-Jannah) yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam Al-Jannah itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang dahulu pernah diberikan kepada kami.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalam Al-Jannah tersebut ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 25). “Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu suatu kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya (Al-Jannah) mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (An-Naba`: 31-35).

- Seringkali ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan pahala dan kesudahan mulia bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, dengan mencukupkan penyebutan lafadz laki-laki (mudzakkar) yang dimaukan pula cakupannya untuk kaum wanita. Contohnya: Surat An-Naba` ayat 31-35 di atas, dengan mencukupkan penyebutan lafadz yang hakikatnya mencakup pula orang-orang yang beriman dan bertakwa dari kaum wanita. Cara penyebutan seperti ini menunjukkan bahwa kaum lelaki posisinya di atas kaum wanita.

- Kaum wanita adalah orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal, sehingga tidaklah bisa disamakan dengan kaum lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian kaum wanita, bershadaqahlah! Karena aku melihat bahwa kalianlah orang terbanyak yang menghuni neraka (selanjutnya ditulis: An-Naar). Mereka berkata: ‘Dengan sebab apa wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan seringkali ingkar terhadap kebaikan (yang diberikan oleh para suami). Aku belum pernah melihat di antara orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal yang dapat mengendalikan jiwa seorang lelaki (suami) yang tangguh melainkan seseorang dari kalian.’ Mereka berkata: ‘Sisi apakah yang menunjukkan minimnya agama dan akal kami wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Bukankah persaksian wanita setengah dari persaksian lelaki?’ Mereka berkata: ‘Ya’, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali: ‘Maka itulah di antara keminiman akalnya. Bukankah ketika datang masa haidnya seorang wanita tidak melakukan shalat dan shaum?’ Mereka berkata: ‘Ya’, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menimpalinya: ‘Maka itulah di antara keminiman agamanya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 304 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri). Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Dalam hadits ini terdapat kejelasan tentang minimnya agama dan akal wanita. Dan yang nampak bahwa keminiman ini merupakan salah satu sebab banyaknya melaknat dan terjatuhnya mereka ke dalam perbuatan ingkar terhadap kebaikan yang diberikan para suami. Sebagaimana pula dalam hadits ini terdapat kejelasan bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu orang lelaki, yang di antara sebabnya adalah minimnya akal pada mereka.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, www.rabee.net).

Penutup

Dari bahasan yang lalu dapatlah disimpulkan bahwa:

- Emansipasi wanita adalah gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. Ia merupakan propaganda musuh-musuh Islam yang ditargetkan untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dan menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan.

- Agama Islam benar-benar meletakkan kaum wanita pada posisinya yang mulia. Harkat dan martabat mereka diangkat sehingga tak terhinakan, namun tak juga dijunjung setinggi-tingginya hingga menyamai/ melebihi kedudukan kaum lelaki.

- Semua dalih emansipasi amatlah lemah lagi batil. Bahkan bertentangan dengan norma-norma syariat dan akal yang sehat, sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub judul: Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi. Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Kebanyakan dari bantahan yang ada dalam sub judul ini, disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullah- dalam Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, dengan beberapa perubahan dan tambahan (-pen).


Kesesatan Emansipasi

(sumber: Majalah Asy Syariah)

Emansipasi sejatinya hanyalah salah satu jalan yang digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk mempreteli bahkan mengubur syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur`an dan Hadits ditelikung, dipahami sepotong-sepotong, untuk kemudian ditafsirkan secara sembrono. Syariat bahkan dianggap sebagai ajaran lama yang perlu direkonstruksi atau dikontekstualisasikan. “Ahli” tafsir dan hadits yang menjadi rujukan, siapa lagi kalau bukan kalangan akademisi Barat. Kata emansipasi bukan lagi menjadi kata yang asing di telinga masyarakat. Kata ini menjadi lekat seiring era keterbukaan di setiap lini kehidupan. Slogan emansipasi seakan menjadi taji bagi setiap wanita. Ketertindasan, keterkungkungan, keterbelakangan dan ketiadaan harkat menjadi belenggu kaum wanita. Kehidupan wanita seakan terpasung di tengah eksploitasi kaum Adam terhadapnya. Sebagian wanita pun menjadi gamang menatap rona kehidupan. Hilang keyakinan diri untuk menapaki laju zaman.

Di tengah kepungan kemelut, wanita pun tersulut bangkit. Mendobrak tatanan yang ada, meneriakkan slogan-slogan persamaan. Mencoba memberangus keterpurukan nasibnya. Maka, lamat-lamat teriakan itu terus bergulir. Menggelinding bak bola salju. Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, pun ikut berbicara. Melalui bukunya yang berjudul Sarinah, ia menguak sejarah kelam kehidupan wanita di belahan Eropa, terkhusus Perancis. Dituturkan bahwa 6 Oktober 1789 merupakan tonggak awal munculnya aksi-aksi para wanita. Mereka menyuarakan kesetaraan jender. Menuntut perlakuan yang sama dengan kaum pria. Pemberontakan kaum wanita Perancis dilatari perlakuan sewenang-wenang berbagai pihak terhadap para wanita. Mereka diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang tiada lagi guna. Setelah aksi para wanita Perancis, 6 Oktober 1789, di depan Gedung Balai Kota Paris yang lantas bergeser ke depan istana raja, Versailles, bermunculan organisasi-organisasi kewanitaan. Menjamurnya berbagai organisasi kewanitaan tak semata di Perancis, tapi menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya. Gaung slogan emansipasi pun makin membahana.

Dari kacamata sejarah, gerakan emansipasi kelahirannya berawal dari akibat rasa ‘frustrasi’ dan ‘dendam’ terhadap sejarah kehidupan Barat yang dianggap tidak memihak kaum perempuan. Supremasi masyarakat yang feodal pada abad ke-18 di Eropa, dominasi filsafat dan teologi gereja yang cenderung meremehkan dan melecehkan kaum wanita, telah ikut andil menyulut kemarahan kaum wanita untuk menyuarakan gagasan-gagasan tentang emansipasi. Tuntutan persamaan, kebebasan, dan pemberdayaan hak-hak perempuan terus diletupkan seiring dengan semangat pemberontakan terhadap dominasi dan kekuasaan gereja oleh para pemikir ilmu pengetahuan. Inilah yang dikenal dalam lintasan sejarah sebagai masa renaissance (revolusi ilmu pengetahuan). Masa itu merupakan masa ‘rame-rame’ menggoyang arogansi gereja.

Begitulah awal lahir gerakan emansipasi. Kini, emansipasi telah menjadi bara di mana-mana. Semangat untuk menyetarakan diri dengan kaum Adam sedemikian dahsyat. Hingga melupakan batas-batas kesejatian diri sebagai kaum Hawa. Seakan tak mau peduli, bahwa antara wanita dan pria memiliki beragam perbedaan. Entah perbedaan yang bersifat psikis (kejiwaan), emosional, atau yang berkenaan dengan struktur fisik. Lantaran arus deras gerakan emansipasi, hal-hal mendasar seperti di atas menjadi terabaikan. Maka, gerakan emansipasi yang telah digulirkan menjadi alat perusak masyarakat. Perjuangan untuk menaikkan harkat dan martabat kaum wanita, menjadi perjuangan untuk menggerus sistem sosial yang ada. Ironisnya, sebagian kaum muslimah terprovokasi gerakan ini. Tanpa memahami latar belakang sejarah gerakan emansipasi, mereka ikut-ikutan meneriakkan persamaan hak. Yang lebih tragis, mereka menuntut persamaan hak dalam setiap sisi aturan agama. Bahkan, untuk menjadi khatib Jum’at pun mereka tuntut. Mereka menggugat, bahwa khatib Jum’at bukan monopoli kaum pria semata. Sudah sejauh ini pemahaman emansipasi menggayut di benak sebagian kaum muslimah. Ke depan, bisa saja mereka menggugat agar kaum wanita tidak haid dan nifas.

Gerakan emansipasi wanita yang salah kaprah ini menjadi preseden buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Kehidupan yang karut-marut inilah yang dicitakan Iblis la’natullah alaih. Dengan menyusupkan gagasan-gagasan destruktif (yang merusak), Iblis berupaya menarik kaum hawa ke dalam kubangan kehancuran. Para wanita yang telah rusak pemikiran, perilaku, akidah, akhlak dan paham agamanya inilah yang disukai Iblis. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, yang kali pertama menyerukan nilai-nilai kebebasan wanita adalah Iblis. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata: ‘Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya: ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua’.” (Al-A’raf: 20-21).

Maka Iblis pun memalsukan hakikat senyatanya kepada Adam dan Hawa. Memakaikan sesuatu yang haq kepada sesuatu yang batil dan mengenakan kebatilan terhadap kebenaran. Lantas, apakah buah dari bisikan dan sumpahnya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’.” (Al-A’raf: 22). Dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah anugerahkan kepada bapak kita Adam dan ibu kita Hawa, dengan (keduanya) melakukan taubat nashuha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Keduanya berkata: ‘Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (Al-A’raf: 23). “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37).

Selanjutnya, menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah, seruan (untuk menghancurkan nilai wanita) diistilahkan dengan banyak nama. Seperti Tahrirul Mar`ah (Kebebasan Wanita), yaitu yang arahnya membebaskan dan mengeluarkan muslimah dari Islam. Atau dengan nama An-Nahdhah bil Mar`ah (Kebangkitan Wanita), yaitu mengarahkan sikap membebek terhadap para wanita kafir, Barat atau Eropa. Juga dengan istilah Tathwirul Mar`ah (Pemberdayaan/Pengentasan Kaum Wanita). Istilah-istilah ini sengaja disebar kaum kafir dan orang-orang yang menyimpang dari Islam dan (istilah ini) tidak terkait dengan Islam (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/21-22). Yahudi, sebagai kaki tangan Iblis di muka bumi ini, mengungkapkan pula tekadnya untuk menghancurkan kaum wanita melalui slogan-slogan terkait emansipasi. Ini sebagaimana terungkap dalam Protokolat Para Hakim Zionis, bahwa sesungguhnya kalimat-kalimat yang bersifat meruntuhkan (menghancurkan), yang merupakan syi’ar-syi’ar kami adalah kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (idem, hal. 24).

Maka, gerakan emansipasi memancangkan jargon-jargon perjuangan dengan menggunakan kebebasan wanita dan persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Dengan istilah lain, memperjuangkan penyetaraan jender. Timbul pertanyaan, mengapa kaum wanita dijadikan bidikan Yahudi (bahkan Nasrani) untuk menghancurkan masyarakat Islam? Menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, salah seorang ulama terkemuka Yaman: Pertama, kaum muslimah umumnya lebih minimal dalam urusan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dibandingkan pria. Karena tingkat pemahaman agama yang minim tersebut sehingga mudah terprovokasi untuk menerima hal-hal yang merusak. Kedua, Yahudi dan Nasrani memandang bahwa menghancurkan wanita merupakan dasar bagi kehancuran berbagai sisi lainnya. Sebagaimana pula bila adanya perbaikan terhadap kaum wanita, maka akan membawa dampak kebaikan bagi lainnya. Ketiga, Yahudi dan Nasrani berpendapat, apabila tersingkap wajah kaum wanita, maka akan tersingkap pula aurat lainnya bila kaum wanita itu berbaur dengan kaum pria. Keempat, mereka memandang bahwa muslimah lebih cenderung khianat dan bertindak merusak terhadap suami. Ini sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu (no. 3330 dan 3399) dan Muslim rahimahullahu (no. 1470) dari hadits Abu Hurairah. Ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Dan seandainya bukan (karena) Hawa, seorang istri tidak akan mengkhianati suaminya.”

Pengertian hadits ini bahwa Hawa menerima ajakan Iblis sebelum bapak kita, Adam ‘alaihissalam. Kemudian Adam pun terbujuk, terjatuhlah ia pada tindak maksiat. Ini karena adanya sikap khianat para wanita, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkenaan dengan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah, dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (At-Tahrim: 10) (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/147-148). Kalau manusia mau membuka mata, walau sejenak, akan didapati pelajaran yang demikian berharga. Akan nampak secara transparan, betapa mereka yang termakan dengan gagasan-gagasan emansipasi, justru mengalami keterpurukan. Berapa banyak rumah tangga tidak terbina secara harmonis lantaran salah satu (atau bahkan keduanya) pasangan suami istri terjerat zina di tempat kerja. Berapa banyak pula lapangan kerja yang diisi kaum wanita, padahal bila diisi kaum pria akan dapat mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, berapa juta istri dan anak-anak bisa ternafkahi bila laki-laki mendapatkan pekerjaan. Inilah fenomena sosial yang tentu saja tidak bisa lepas dari dampak gerakan emansipasi. Masih banyak lagi ketimpangan sosial akibat gerakan emansipasi yang liar dan tak terkendali.

Kerusakan-Kerusakan Emansipasi

Gerakan emansipasi yang membuncah di tengah masyarakat, bila ditelisik lebih jauh akan menimbulkan berbagai kerusakan yang tidak ringan. Bagi kalangan muslimah, gerakan ini bisa merusak keyakinan agama yang dipeluknya1. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam telah menyebutkan 66 dampak kerusakan yang diakibatkan paham ini. Dalam tulisan ini hanya akan disebutkan beberapa hal saja. Di antara kerusakan-kerusakan tersebut yaitu:


  1. Sebuah bentuk perang terhadap Islam. Seruan emansipasi menyimpan perseteruan terhadap Islam. Selain itu, melecehkan, mencerca, menumbuhkan kebencian dari berbagai sisi terhadap agama. Termuat dalam gerakan emansipasi: kerusakan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan politik. Secara akibat, gerakan ini memuat seruan terhadap muslim untuk tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sunyi dari rasa takut dan pengagungan kepada-Nya. Menumbuhkan dalam hati sebongkah pelecehan dan olok-olok terhadap kebenaran agama. Menjadikan seseorang bersikap ragu, menentang dan lari dari agama. Dari sisi ibadah, nyata sekali bahwa gerakan ini mengerdilkan, meremehkan terhadap siapa pun yang menjaga berbagai bentuk peribadatan (yang selaras syariat).
  2. Merupakan bentuk seruan yang menyeleweng dari Islam. Bagaimana tidak dikatakan semacam ini, sementara gerakan tersebut melakukan penolakan terhadap sesuatu yang bersifat keimanan pada hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu, hukum syariat terkait pada kekhususan wanita dan pria. Maka, gerakan ini telah secara nyata melakukan pembangkangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Entah dalam bentuk tindakan langsung menolak hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, atau dalam bentuk melakukan berbagai penafsiran yang menyimpang sesuai dengan kepentingan dan selera gerakan emansipasi. Bisa diambil contoh adalah lontaran-lontaran pernyataan mereka, seperti Islam mendzalimi wanita, (atau di Indonesia mencuat istilah rekonstruksi pemahaman agama, yang intinya melakukan aksi penolakan terhadap syariat Islam, pen.). Islam membelenggu wanita dengan menyuruh mereka tinggal di rumah dan ungkapan-ungkapan lainnya.
  3. Menyerukan permisivisme (serba boleh) dan menghalalkan segalanya. Maka bila diperhatikan kata “gender” akan diketahui bahwa makna kata itu terkait wanita dan pria. Sesungguhnya ini bentuk keserbabolehan (permisif) secara mutlak dan bebas tanpa batasan-batasan yang selaras fitrah, agama atau akal sehat. Kebebasan tanpa batas. Inilah yang dikehendaki para pegiat hak-hak wanita dan emansipasi. Mereka yang menyuarakan emansipasi tidak akan mampu menaikkan seruan mereka dari cara hidup binatang ternak. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “….Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12). Bahkan emansipasi telah menurunkan derajat mereka ke tingkatan binatang ternak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179).
  4. Merupakan kumpulan dari berbagai macam kekufuran, baik secara keyakinan, ucapan, atau perbuatan.
  5. Merupakan wujud seruan kekufuran Yahudi dan Nasrani. Karena senyatanya, gerakan emansipasi yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan kaum wanita merupakan (program) dakwah Freemasonry Zionis Yahudi, yang bersenyawa dengan orang-orang Nasrani. Ketahuilah, bahwa para penyeru emansipasi (sadar atau tidak) merupakan orang yang taat kepada Yahudi dan Nasrani. Mulai dari bentuk organisasi, pernyataan, pendidikan (training), penyebaran, dan dakwahnya. Semuanya dilakukan sebagai upaya ke arah kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah beriman.” (Ali ‘Imran: 100). Program mereka bertujuan mengeluarkan muslimin dari agamanya. Ini berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109). Firman-Nya: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup.” (Al-Baqarah: 217).
  6. Meniadakan (menolak) penerapan hukum-hukum syariat.
  7. Membiarkan dan membebaskan perzinaan.
  8. Membolehkan nikah antara muslimah dengan orang kafir (tentunya dengan dalil kebebasan wanita, pen.).
  9. Tukar menukar atau berganti-ganti pasangan hidup.
  10. Terlepasnya hijab Islami (jilbab yang syar’i).
  11. Tersebarnya kemaksiatan secara terbuka.
  12. Tasyabbuh (penyerupaan) antara laki-laki dan wanita (baik dalam cara berpakaian, perilaku dan lain-lain, pen.). Demikian beberapa kerusakan yang ditimbulkan akibat gaung emansipasi (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 2/475-511).

Tidak sepatutnya kaum muslimin mengambil sistem nilai di luar Islam menjadi acuannya. Begitu pula seorang muslimah tidak sepantasnya menceburkan diri menyuarakan nilai-nilai emansipasi. Bila Islam dipelajari secara benar, maka akan memberikan kecukupan dan keadilan. Sebaliknya, bila Islam ditinggalkan maka kehinaan akan meliputi kehidupan kaum muslimah, bahkan masyarakat yang lebih luas. “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.” (Al-Mujadilah: 5). Menurut Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, yang dimaksud “menentang Allah dan Rasul-Nya” adalah menyelisihi serta bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (Taisirul Karimirrahman, hal. 845). Karenanya, sudah tiba masanya bagi kita untuk tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.


Surat An-Nisa, Satu Bukti Islam Memuliakan Perempuan

(sumber: Majalah Asy Syariah)

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah? Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain (Mahasinut Ta`wil, 3/6). Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat: “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1). Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566). Dalam hadits shahih disebutkan: “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632). Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299).

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3). Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127). Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain: “Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127). Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444). Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127). Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447).

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3). Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan: “Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.” Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, “sehingga kalian biarkan yang lain telantar”. Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Maknanya, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317). Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4).

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7). Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579). Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63). Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat: “Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11). Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160).

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini: “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173).

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19). Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.” Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173). Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469). Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58).

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21).

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23). Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16). Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23). Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16). Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.